Dulu, saya terpesona dan menerima bulat-bulat pendapat guru mengaji saya yang, waktu itu, terdengar hebat. Waktu itu, beliau menjelaskan hadits tentang keutamaan berlatih berkuda dan memanah. Menurut beliau, kita harus memahaminya dalam pengertian modern. Kuda harus ditafsir sebagai kendaraan modern (motor, mobil, pesawat), dan memanah harus ditafsir sebagai senjata modern (pistol, nuklir, dll). Saya suka sekali, dan merasa pendapat itu begitu berkemajuan.
Hari ini, setelah belajar banyak, saya harus merombak pandangan saya. Saya sadar, konteks “ekologis” dalam anjuran Nabi tentang berkuda dan memanah itu tidak boleh tercerabut. Motor, mobil, kereta, dan pesawat, memang termasuk transportasi modern. Tapi transportasi bukan sekedar transportasi: ia adalah produk, komoditas, dari sebuah industri besar, yang dijalankan dengan mekanisme sedemikian rupa—yang ternyata punya konsekuensi buruk terhadap alam dan manusia.
Penjelasan sederhananya: bahan produksi suatu komoditas industri diambil dari sumber daya alam. Fakta lapangan menunjukkan bahwa alam kerap dikorbankan dengan mengabaikan manusia dan budaya, sementara izin eksploitasi didapatkan dengan mengakali hukum dan menyuap negara. Proses produksinya (di pabrik) membuang banyak energi dan mencemarkan lingkungan (udara, air, tanah).
Komoditas, kemudian, dipasarkan dengan memacu nafsu berbelanja masyarakat. Negara-negara dunia ketiga (seperti Indonesia) telah sejak lama menjadi wilayah perang dagang—yang artinya, warga negaranya telah sejak lama pula dididik bermental konsumen, yang terbiasa latah-kalap merespon produk-produk baru.
Maksud “dididik bermental konsumen” itu adalah, warga negara tidak dibiarkan cerdas, tidak dibiarkan kritis, tidak dibiarkan berpikir serius. Daripada institusi ilmu, di Indonesia industri hiburan memang lebih laku, bukan?
Nah, Konsumsi tanpa etika terhadap suatu komoditas (lagi-lagi) akan menyumbang semakin banyak persoalan lingkungan, dan mengukuhkan penghancuran kebudayaan luhur akal budi manusia. Konsumerisme dan budaya massa yang riuh-rendah (“riuh” [ramai/gemerlap/seru], tapi “rendah” [dangkal/awam/mudarat) akan semakin langgeng.
Itulah sekelumit kisah dampak buruk industri pada lingkungan dan kemanusiaan. Muslim yang tidak kritis menerima motor sebagai motor, melupakan kerja-kerja industrial di baliknya, dan mengabaikan konsekuensi lingkungan pasca-konsumsinya.
Karena itulah, Nabi dalam hadisnya secara spesifik menyebut “kuda” dan “memanah”. Memang begitulah maksudnya. Bukan saja karena kuda terhitung “wah” sebagai transportasi (kuda lebih elit dibanding unta), namun karena kuda ramah lingkungan. Nabi yang pernah melintas ruang dan waktu dan melihat teknologi buraq tidak akan terkagum-kagum melihat perkembangan teknologi transportasi hari ini. Dan kuda tetap menjadi pilihan Nabi, agar manusia tidak melupakan relasi kasih sayangnya dengan alam.
Kuda lebih dari sekedar transportasi. Ia hidup; makhluk Tuhan yang hidup. Kuda memiliki kompleksitas emosi, sistem bahasa, dan bahkan juga “budaya”. Seringkali kuda menunjukkan persahabatan dengan manusia. Hubungan manusia (sebagai subjek pertama) dan kuda (sebagai subjek kedua) bersifat setara. Ada ketersalingan di antara keduanya, untuk memahami lahir batin satu sama lain. Bukankah ini yang dimaksud rahmatan lil alamin?
Kita patut mengapresiasi “fenomenologi tubuh” Merleau-Ponty yang membantu kita memahami kesetaraan alam dan manusia. “Aku dengan tubuhku,” ujar beliau, “dan kuda dengan tubuhnya, bersinggungan dalam ruang (spacio) dan waktu (tempo).” Bagi Merleau-Ponty, ketika manusia dan kuda bersinggungan, terdapat dua materi yang berbeda dan dua status kecerdasan yang saling membuka diri. Manusia ingin memahami dan dipahami kuda, begitu juga sebaliknya. Buktinya, ketika melihat kuda, yang hadir dalam diri manusia bukan hanya rasa ingin tahu yang bersifat ilmiah-rasional, melainkan juga rasa senang, nyaman, kagum, takzim, dan sejumlah ekspresi emosional. Kuda membuka dirinya pada manusia bukan untuk dieksploitasi, tapi untuk dikasihi, dan kuda akan memberi balik kasih sayang yang sama.
Maka lihatlah: betapa kuat kepekaan ekologis itu dalam hadits Nabi.
Memanah pun demikian. Kuda (fauna) disandingkan dengan memanah (flora). Mengapa? Karena untuk membuat panah, kita butuh pohon. Agar pohon ada, kita perlu menanam dan merawat. Motivasinya sangat ekologis. Hadits itu diucapkan di zaman pra-industri: orang-orang bisa dan mudah membuat busur dan anak panahnya sendiri. Persis seperti gasing tradisional: anak-anak desa membuat gasing kayu dan alit (tali kendali) sendiri.
Mereka tidak harus dan tidak selalu membeli (perilaku konsumsi). Mereka harus berhubungan dengan alam. Mereka harus mengenal potensi sejumlah varietas pohon kayu, tahu cara mengolah kayunya sendiri, dan lain-lain. Ada kebermaksudan untuk menjaga alam lewat gerak budaya manusia, dalam hadits tersebut.
Kepekaan Etis-Kritis itu Perlu
Tafsir guru mengaji saya tadi mungkin nampak usang, namun karena tafsir beliaulah saya tumbuh menjadi kritis terhadap teks Islam (al-Qur’an, hadits), hingga hari ini saya mengkritik beliau.
Dulu, gagasan beliau pun merupakan kritik terhadap kaum literalis (mereka memahami hadits secara harfiah tanpa wacana mendalam). Mungkin beliau geregetan melihat umat Islam mengamalkan hadis itu tanpa menggali makna dan konteks.
Saya sepakat dengan beliau dalam hal itu. Karena, walau kelihatannya saya berakhir pada kesimpulan yang sama dengan kaum (menafsirkan kuda-panah tetap sebagai kuda-panah) saya telah melewati pendadahan wacana.
Saya menganjurkan berkuda dan memanah sebagai sebuah gaya hidup yang syaratnya adalah manusia harus membangun kembali kedekatan, penghayatan, dan keterlibatan merawat alamnya. Konteksnya bukan artifisial (pura-pura dan hura-hura) dan konsumtif (menghabiskan banyak uang untuk membeli pengalaman berkuda dan memanah serta memperkaya pebisnisnya). Konteksnya ril: buanglah motormu, peliharalah kuda di rumahmu.
Meski susah, tapi ya itu maksud hadits Nabi.
Bagi saya, yang terlewat dalam nalar literalistik adalah “kepekaan zaman”. Setiap zaman memiliki perbedaan situasi dan kondisi berbeda. Zaman Nabi adalah zaman sebelum industri menguasai semua lini kehidupan, dan “konsumsi” bukan sebuah gaya hidup yang melanggengkan industri. Hadits Nabi harus juga dilihat sebagai tanda-tanda kebudayaan saat itu. Untuk itu, dibutuhkan kacamata yang kritis.
Lantas, dari mana kepekaan zaman didapatkan? Dari eksplorasi ilmu-ilmu sosial yang terus berkembang. Ilmu-ilmu itu “memotret dan mengkaji” dunia kita dan segala persoalannya dengan lebih jernih. Islam harus dipahami sampai di level etika (bukan sekedar hukum), dan dalam pelaksanaan etika itu Islam harus menimbang nasihat dari ilmu-ilmu kritis. Dengan demikian, kita akan tahu Islam yang mana yang harus kita amalkan, dan bagaimana cara mengamalkannya.
Jangan sampai, kepekaan-kepekaan etis itu malah absen ketika memahami teks-teks Islam (al-Qur’an, hadits). Kajian hadits di atas mencontohkan absennya kepekaan ekologis. Jangan sampai pada etika-etika lain kita kecolongan juga.