
Beberapa waktu yang lalu, di media sosial tengah ramai diperbincangkan oleh khalayak luas perihal polemik konsep nafkah yang ideal dalam Islam.
Narasi yang beredar di media sosial menunjukkan sebuah premis bahwa seluruh kewajiban nafkah dibebankan kepada laki-laki, hal ini juga didukung oleh berbagai fatwa ulama’ yang mengatakan bahwa hal tersebut memang dibenarkan didalam syari’at.
Akan tetapi, justru framing yang dimunculkan di media sosial pada akhirnya menimbulkan permasalahan sosial ditengah masyarakat; seperti halnya ungkapan “uang suami adalah uang istri dan uang istri hanyalah milik istri”.
Ungkapan ini pada akhirnya malah menimbulkan ketimpangan sosial dalam keluarga ditengah masyarakat, seperti munculnya para istri yang menuntut nafkah lebih dari suaminya akibat dari kewajiban tersebut, kemudian terciptanya standarisasi penghasilan yang ditujukan kepada para laki-laki sebelum meminang seorang perempuan. Bukankah fenomena ini dapat dikatakan sebagai suatu faktor dalam menurunnya indeks pernikahan di Indonesia?
Lantas, bagaimana konsep nafkah dalam keluarga yang ideal menurut Islam?.
Dalam Islam, telah masyhur dikenal prinsip dasar yang disebut dengan mu’asyaroh bi al-ma’ruf yakni relasi yang baik dan zawaj yang memiliki arti pasangan.
Berdasarkan pada hal ini, muasyaroh bi al-ma’ruf menuntut kepada suami dan istri untuk membangun hubungan yang baik dengan berasaskan pada keadilan bukan hegemoni dan penguasaan; hal ini sesuai dengan apa yang tertuang dalam al-Quran surat an-Nisa ayat yang ke-19. Namun, belakangan ini relasi dalam rumah tangga dilihat secara hitam putih dan kaku, sebagaimana fenomena pendikotomian antara hak dan kewajiban antara suami dan istri; seringkali hak dan kewajiban ini dianggap sebagai sebuah tuntutan yang mutlak tanpa melihat konteks yang tengah terjadi, seperti halnya fenomena praktik nafkah yang dipahami secara kaku, pada akhirnya memunculkan egoisme dari masing-masing suami dan istri.
Padahal, selain itu terdapat prinsip lain yakni zawaj yang tertuang dalam al-Quran penggalan surah al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi:
“…هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ…”
Artinya: “…Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka…”
Ayat ini secara eksplisit menggambarkan hubungan antara suami dan istri dengan term libas yang berarti pakaian.
Dalam hal ini, term libas dipahami sebagai sikap saling menjaga dan melindungi; seperti halnya yang diterangkan dalam surah an-Nahl ayat 81 yang menggunakan term yang sama meski dengan konteks yang berbeda “…ia menjadikan pakaian bagimu untuk melindungimu dari panas dan pakaian (baju besi) untuk melindungimu dalam peperangan…”. Sehingga, libas (pakaian) dapat dipahami sebagai analogi daripada perilaku menjaga dan melindungi. Secara keseluruhan, ayat ini menunjukkan konsep relasi berumah tangga yang indah ala Islam.
Bagaimana tidak? secara jelas Islam memposisikan suami dan istri sebagaia seorang manusia yang saling membutuhkan satu sama lain. Relasi yang digambarkan merupakan kesalingan dan bukan hegemoni (suami menguasai istri atau istri yang menguasai suami) sehingga tidak akan muncul istilah “suami-suami takut istri”. Hehehehe
Berkaitan dengan persoalan nafkah, telah banyak bermunculan mengenai penafsiran dan rumusan konsep ideal dalam perspektif Islam. Misalnya dalam uraian Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab bahwa kewajiban nafkah mutlak dibebankan kepada suami; dalam hal ini nafkah bukan hanya berupa uang namun dapat juga berbentuk tempat tinggal, makanan, pakaian, pendidikan, dan lain sebagainya.
Selain itu, juga terdapat penafsiran lain mengenai ayat nafkah yang termaktub dalam Qiraah Mubadalah karya Faqihuddin Abdul Qadir yang menggaungkan premis kesalingan antara suami dan istri.
Dalam bukunya, pencarian nafkah juga dapat dibebankan kepada istri; hal ini didasari oleh prinsip zawaj dan mu’asyaroh bi al-ma’ruf. Pemahaman ini, berawal daripada konteks yang mendapati seorang suami dengan penghasilannya masih tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sakit, atau sedang tidak memiliki pekerjaan, mengingat bahwa bahtera rumah tangga merupakan tanggung jawab antara suami dan istri bukan salah satu diantara keduanya.
Tulisan ini bukan bermaksud membenturkan pendapat dan penafsiran diantara para ulama’, melainkan berusaha menunjukkan bagaimana seharusnya cara berfikir setiap manusia yang akan mengarungi bahtera rumah tangga agar dapat lebih bijak dalam menyikapinya; pasalnya, factor ekonomi merupakan salah satu hal yang paling krusial didalamnya.
Seperti halnya yang sudah diketahui tentang maraknya fenomena yang sedang hangat saat ini, mulai dari tuntutan ekonomi yang tinggi dari pihak perempuan hingga laki-laki yang takut untuk menikah karena persoalan ekonomi, dapat diketahui terdapat kesalah pahaman yang beredar luas ditengah masyarakat.
Selama ini, masyarakat memahami bahwa tugas daripada suami adalah mencari nafkah sedangkan istri mengurus anak dan urusan domestik rumah tangga. Tapi, bagaimana kalau pola berfikir itu dirubah dengan menekankan pada premis rumah tangga adalah tanggung jawab bersama; mencari nafkah bukan hanya bisa dilakukan suami saja tetapi juga istri, mengurus anak bukan hanya urusan istri melainkan tanggung jawab bersama; mungkin lirik dalam lagu Mendung Tanpo Udan “aku moco koran sarungan, kowe blonjo dasteran” (aku baca koran sarungan, kamu belanja dasteran) dapat diubah menjadi “dewe blonjo barengan” (kita belanja sama-sama) tentu akan lebih indah bukan?.
Dalam hal ini, tidak akan ada lagi “aku” dan “kamu” dalam rumah tangga melainkan “kita” karena rumah tangga adalah tanggung jawab bersama; termasuk nafkah.
Berkaitan dengan hal ini, tentu dunia terlalu luas jika harus disama ratakan; pasalnya terdapat ratusan konteks yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kompromi merupakan solusi daripada persoalan ini. Jika sang suami memiliki penghasilan yang cukup banyak dan ia berkata pada istrinya. “Cukup aku saja yang bekerja, kamu urus saja anak-anak dirumah” tentu tidak akan terjadi masalah.
Namun, bagaimana jika laki-laki yang berpenghasilan pas-pasan? Sedangkan ia sangat ingin menikah untuk menghindari zina, apakah karena persoalan ekonomi pernikahan tidak akan dilakukan? bukankah akan lebih baik jika perempuan berkata “tidak apa-apa mas, toh kita menikah untuk mencari ridho Allah, kita cari sama-sama ya” sangat menyenangkan untuk didengarkan bukan?
Bukankah relasi seperti ini yang dilakukan oleh baginda Nabi Muhammad SAW dan ibunda Khadijah R.A?
Tentu dalam hal ini, seorang suami harus tetap menyadari bahwa istri memiliki anugrah dari Allah SWT untuk melahirkan anak, tentunya hal tersebut bukan merupakan hal yang mudah, maka sebagai seorang suami dengan kesadaran penuh harus selalu berada disamping sang istri memberikan dukungan dan berusaha lebih keras untuk kesehatan istri dan buah hati; dalam hal ini juga termasuk persoalan nafkah.
Pada akhirnya, segala urusan rumah tangga memang tanggung jawab suami dan istri, termasuk dalam persoalan nafkah. Permasalahan bagaimana penerapannya tentu disesuaikan dengan konteks yang sedang dihadapi.
Alangkah indahnya jika suami dan istri dapat bekerja sama, saling membantu satu sama lain dalam menjaga keutuhan rumah tangga; seperti halnya yang terdapat dalam al-Quran “mereka (perempuan) adalah pakaian bagimu, dan kamu (laki-laki) adalah pakaian bagi mereka (perempuan)” dalam artian seorang suami tidak boleh diam dan lepas tanggung jawab dalam segala urusan rumah tangga termasuk diantaranya mengasuh anak dan mengerjakan pekerjaan rumah (menyapu, mencuci, mengepel, dll).
Begitu juga sebaliknya seorang istri tidak boleh diam dan hanya menuntut kala suaminya sedang dalam kesusahan dalam urusan finansial melainkan memberikan dukungan penuh dan bekerja sama untuk menjaga keberlangsungan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rohmah.