Sejarah Haji Wada (Wida’): Kenangan Perpisahan Sang Utusan

Sejarah Haji Wada (Wida’): Kenangan Perpisahan Sang Utusan

Sejarah Haji Wada (Wida’): Kenangan Perpisahan Sang Utusan
Ka’bah dan Makkah al-Mukarramah

Di tengah padang pasir yang luas, di suatu malam yang penuh kedamaian, seorang laki-laki yang telah menua di jalan dakwah mempersiapkan langkah terakhirnya. Nabi Muhammad SAW, yang selama lebih dari dua dekade mengemban amanah dari Allah, merasakan sesuatu yang tak terucapkan dalam hatinya. Dunia yang selama ini menjadi ladang perjuangan, kini semakin menjauh. Suara takdir memanggilnya untuk menyelesaikan misinya di muka bumi. Pada tahun ke-10 Hijriah, beliau memutuskan untuk melaksanakan haji terakhirnya, haji satu-satunya dalam kehidupannya, sebuah haji yang akan dikenang sepanjang sejarah umat manusia sebagai Haji Wada—haji perpisahan.

Demi mempersiapkan ritual perpisahan itu, Nabi ﷺ tidak hanya mempersiapkan diri secara fisik untuk perjalanan jauh, tetapi beliau juga spiritualitas. Hatinya terasa penuh dengan kekhusyukan, seolah ia sudah merasakan bahwa perjalanannya di dunia ini sudah hampir selesai. Sebelum memulai perjalanan, beliau berkata kepada Mu’adz bin Jabal yang akan diutus ke Yaman, “Ya Mu’adz, engkau mungkin tidak akan bertemu dengan aku setelah tahun ini, dan mungkin engkau akan melewati masjidku ini dan makamku.” Kata-kata Nabi kepada Muadz ini seperti mengisyaratkan bahwa perjalanannya bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi perjalanan spiritual yang akan mengakhiri peran beliau sebagai rasul di dunia ini.

Di pagi hari yang cerah, pada hari Sabtu, empat hari sebelum akhir bulan Dzulqa’dah, beliau bersiap untuk berangkat. Dengan langkah tenang, beliau mengenakan ihramnya, dan memulai perjalanan menuju Makkah. Beliau berangkat bersama ribuan umat yang hendak menunaikan haji. Mereka semua ingin mengikuti jejak beliau, menapak tilas langkah kaki sang pemimpin, yang membawa mereka menuju pintu rahmat Allah.

Perjalanan dimulai dari Dzulhulaifah, tempat pertama yang dilalui oleh Nabi SAW. Di sana, beliau berhenti dan melakukan salat, dan wahyu turun mengarahkan beliau untuk menggabungkan umrah dengan haji. Nabi menyampaikan kepada para sahabat,

أتاني الليلة آت من ربي فقال: صل في هذا الوادي المبارك، وقل: عمرة في حجة

“Shalatlah kalian di lembah yang diberkahi ini, dan katakan: ‘Umrah dalam haji.’”

Setelah perjalanan yang penuh dengan doa dan dzikir, Nabi SAW akhirnya tiba di Makkah pada hari Minggu, pada tanggal 4 Dzulhijjah. Umat yang beriman memadati kota ini untuk melaksanakan ibadah haji, dan mereka semua menyambut kedatangan sang nabi dengan penuh cinta dan kerinduan. Sesampainya di Makkah, Nabi ﷺ melakukan tawaf keliling Ka’bah. Setiap langkahnya mengingatkan umatnya akan pengorbanan yang telah beliau lakukan demi menyebarkan wahyu Allah. Walau demikian, beliau tetap dalam keadaan ihram, karena beliau melaksanakan haji dengan cara qiran, yaitu menggabungkan haji dan umrah dalam satu perjalanan.

Satu hal yang memikat perhatian umatnya adalah bagaimana Nabi SAW tidak hanya menjalani ibadah ini dengan penuh kesabaran, tetapi juga dengan penuh kasih sayang kepada para sahabat dan umat Islam yang mengikuti langkah beliau. Setiap perintah yang beliau berikan, setiap nasihat yang beliau sampaikan, adalah untuk memastikan bahwa umat ini tidak akan tersesat setelah beliau pergi.

Ketika tiba hari kedelapan Dzulhijjah, nabi dan rombongannya melangkahkan kaki menuju Mina. Di sana nabi berhenti dan melaksanakan salat lima waktu dari Dhuhur hingga Subuh, bahkan beliau menetap di sana sampai terbit fajar hari Arafah.

Hari yang paling dinantikan pun tiba—Hari Arafah, hari di mana Nabi SAW berdiri di hadapan lebih dari seratus ribu umatnya, memberikan khutbah yang tak terlupakan. Pada puncak haji Wada, di padang Arafah yang luas, beliau berdiri di atas kendaraan beliau, unta Al-Qaswa, dengan tubuh yang penuh keletihan, tetapi dengan hati yang penuh kebesaran. Begitu banyak umat yang berdiri dan duduk, dengan mata yang penuh harapan. Keheningan menyelimuti padang Arafah, seolah waktu pun terhenti.

Nabi SAW memulai khutbahnya dengan kalimat yang menggema,

أيها الناس، اسمعوا قولي، فإني لا أدري لعلي لا ألقاكم بعد عامي هذا بهذا الموقف أبدا

“Wahai manusia, dengarkanlah perkataanku, karena aku tidak tahu apakah aku akan bertemu dengan kalian setelah tahun ini di tempat ini.” Kata-kata ini seolah ingin mengungkapkan perasaan beliau, yang menyadari bahwa ini adalah kali terakhir beliau akan berbicara di hadapan umatnya dalam kesempatan yang begitu besar.

Di hadapan umat yang penuh dengan semangat itu, beliau menegaskan beberapa pesan penting. “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian, seperti haramnya hari ini, bulan ini, dan negeri ini.”

Beliau juga mengingatkan tentang hak-hak wanita, “Takutlah kalian kepada Allah dalam hal wanita, kalian telah mengambil mereka sebagai amanah Allah.”

Khutbah nabi di Arafah itu begitu panjang. Namun dipungkasi dengan perkataan berikut:

أيها الناس، إنه لا نبيّ بعدي، ولا أمة بعدكم، ألا فاعبدوا ربكم، وصلوا خمسكم، وصوموا شهركم، وأدوا زكاة أموالكم، طيبة بها أنفسكم، وتحجون بيت ربكم، وأطيعوا أولات أمركم، تدخلوا جنة ربكم

Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada lagi Nabi setelahku, tidak akan ada umat setelah kalian. Maka ingatlah, sembahlah Tuhanmu, salatlah lima waktu, puasalah di bulan Ramadan, tunaikanlah zakat hartamu dengan itu, jiwa kalian menjadi suci. Berhajilah ke Rumah Tuhanmu. Taatlah pada pemimpinmu dan masuklah ke dalam surga Tuhanmu.

Setelah menyampiakan ujung khutbah tersebut, nabi meminta kepada para sahabat yang hadir untuk bersaksi, bahwa mereka telah menerima semua risalah nabinya. Kesaksian para sahabat itu nampaknya diterima oleh Allah SWT. Setelah itu, turunlah surat al-Maidah ayat 3.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ، وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي، وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ دِينًا

“Pada hari ini, Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan Aku cukupkan nikmat-Ku untukmu, dan Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Ma’idah: 3).

Umar bin Khattab yang mendengarnya pun meneteskan air mata. Saat ditanya alasannya menangis, Umar menjawab bahwa ia memahami betul bahwa setelah kesempurnaan ini, hanya akan ada kekurangan. Umar sadar bahwa ia akan kehilangan Nabi yang dicintainya.

Setelah khutbah di Arafah, perjalanan menuju Muzdalifah pun dimulai. Nabi SAW menyatu dengan ribuan umat, mengingat Allah, memohon ampunan-Nya, dan melanjutkan perjalanan spiritual menuju tempat-tempat suci lainnya. Di Muzdalifah, beliau beristirahat sebentar, dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju Mina untuk melempar jumrah, sebagai simbol dari pejuangan melawan godaan setan.

Hari-hari berikutnya adalah hari-hari yang penuh dengan ibadah, di mana Nabi SAW memimpin umatnya untuk menyelesaikan manasik haji dengan sempurna. Setelah melaksanakan berbagai ibadah, beliau pun melakukan tawaf perpisahan, tawaf wada, sebagai tanda perpisahan dengan kota Makkah yang penuh dengan kenangan. Saat beliau mengelilingi Ka’bah, umatnya dapat merasakan bahwa ini adalah momen terakhir mereka bersama sang nabi. Di tengah kepadatan manusia, beliau tetap menunjukkan keteladanan sebagai seorang pemimpin yang penuh kasih sayang.

Setelah selesai menunaikan haji, Nabi SAW tidak beristirahat seperti biasa. Beliau kembali menuju Madinah, bukan untuk mencari kenyamanan pribadi, tetapi untuk melanjutkan perjuangan dakwah yang belum selesai. Beliau tahu bahwa dunia ini hanyalah tempat sementara. Dalam perjalanan terakhirnya ini, beliau membawa serta semangat dakwah yang tak akan pernah pudar, meskipun tubuhnya akan segera meninggalkan dunia.

Perpisahan itu pun datang. Haji Wada menjadi simbol dari perjalanan panjang Nabi SAW dalam menyebarkan Islam, dan juga menjadi titik akhir dari hidupnya di dunia ini. Namun, warisan yang beliau tinggalkan tidak akan pernah pudar. Haji Wada bukan hanya perjalanan fisik, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang mengajarkan kita untuk hidup dengan penuh ketulusan, pengorbanan, dan ketaatan pada Allah.

Dan seperti itulah, Haji Wada menjadi kenangan abadi, sebuah perpisahan yang bukan hanya menjadi sejarah, tetapi juga pedoman hidup yang akan terus hidup dalam hati umat Islam sepanjang zaman.

(AN)

Disarikan dari al-Rahiq al-Makhtum oleh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri.