
Dalam sebuah majelis di Masjid Sunda Kelapa, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Menteri Agama RI dan Imam Besar Masjid Istiqlal, menyampaikan ceramah yang mendalam tentang keutamaan surah Al-Kahfi serta kaitannya dengan surah An-Nahl dan Al-Isra. Ketiga surah ini, menurut beliau, membentuk sebuah rangkaian spiritual yang kaya makna, yang bisa menjadi bekal penting menghadapi tantangan zaman, terutama fitnah akhir zaman.
“Barang siapa membaca surah Al-Kahfi, maka ia akan diselamatkan dari fitnah Dajjal dan berbagai macam fitnah lainnya,” ujar Prof. Nasaruddin, mengutip sejumlah hadis Rasulullah SAW. Menurutnya, setidaknya terdapat tujuh hadis yang meriwayatkan keutamaan surah ini, terutama jika dibaca secara rutin pada malam Jumat atau hari Jumat, mulai dari pagi hingga sore.
Karena itu, beliau mengimbau jamaah agar membudayakan pembacaan surah Al-Kahfi, tak hanya di masjid, tetapi juga di rumah masing-masing bersama keluarga. “Kalau tidak sempat ke masjid Sunda Kelapa, usahakan tetap membacanya di rumah bersama keluarga. Jadikan ini wirid keluarga, terutama pada malam Jumat,” kata beliau.
Surah Al-Kahfi bahkan digambarkan oleh Rasulullah seolah menjadi benteng spiritual yang mampu menunda datangnya kiamat. Begitu besar nilainya, hingga menurut salah satu riwayat, jika seseorang tidak sempat membaca seluruh surah ini, cukuplah membaca hingga ayat:
وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
“Dan hendaklah dia berlaku lemah lembut, dan jangan sekali-kali memberitahukan tentang kamu kepada siapa pun.” (QS. Al-Kahfi: 19)
Meskipun demikian, bila memiliki waktu yang lebih longgar, membaca surah Al-Kahfi secara lengkap tentu lebih utama, sebagaimana tradisi yang telah berlangsung di Masjid Sunda Kelapa setiap menjelang Maghrib malam Jumat.
Namun, Prof. Nasaruddin menekankan bahwa untuk benar-benar memahami pesan dalam surah Al-Kahfi, umat Islam perlu mendalami dua surah sebelumnya yang disebut sebagai “pendahulu spiritual”: surah An-Nahl dan surah Al-Isra. Ketiganya membentuk satu kesatuan yang beliau sebut sebagai “tiga serangkai kecerdasan” dalam Al-Qur’an.
Surah An-Nahl, menurut beliau, adalah simbol kecerdasan intelektual. Dalam surah ini, Al-Qur’an menyoroti fenomena alam, seperti lebah madu, sebagai bukti kebesaran dan keajaiban ciptaan Allah. Bahkan Nabi SAW bersabda bahwa madu adalah obat bagi segala macam penyakit. Keajaiban lebah ini tidak hanya menjadi bahan renungan spiritual, tetapi juga menjadi bidang penelitian ilmiah. Salah satunya dilakukan oleh Prof. Dr. Andi Mappatoba, seorang akademisi Indonesia yang meneliti manfaat madu secara medis. Hasil penelitiannya merekomendasikan agar orang berusia 40 tahun ke atas rutin mengonsumsi satu sendok madu asli setiap hari—bukan madu campuran yang dicampur air gula. Bahkan, bukan hanya madunya yang berkhasiat, tetapi juga sarangnya, bahkan sengatannya. Di Jerman, terapi menggunakan racun lebah digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu.
Selanjutnya, surah Al-Isra menggambarkan kecerdasan emosional dan spiritual. Di dalamnya, terdapat ayat yang sangat terkenal tentang perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra: 1)
Menurut Prof. Nasaruddin, sebagian dari ayat ini mungkin bisa dijangkau oleh akal manusia. Tapi saat ayat berbicara tentang puncak perjalanan spiritual menuju Sidratul Muntaha atau ke langit tertinggi, itu sudah masuk ke ranah yang tak bisa dijangkau logika. “Di sinilah batas kemampuan akal. Ada wilayah-wilayah dalam Al-Qur’an yang memang bukan untuk dinalar, tetapi untuk diimani,” jelasnya.
Sementara itu, surah Al-Kahfi disebut sebagai simbol kecerdasan spiritual. Isinya penuh kisah luar biasa yang menantang nalar manusia. Salah satunya adalah kisah Ashabul Kahfi, sekelompok pemuda saleh yang tertidur di dalam gua selama 309 tahun, padahal mereka merasa hanya tertidur semalam. Angka 309 tahun jelas jauh di luar jangkauan umur manusia biasa, bahkan tak masuk akal jika dilihat dengan logika modern. Namun, Al-Qur’an menyampaikan ini sebagai bagian dari tanda kekuasaan Allah SWT.
Dalam sejarah Islam, kisah umur panjang tidak hanya muncul pada Ashabul Kahfi. Nabi Nuh AS, contohnya, digambarkan memiliki masa dakwah selama 950 tahun. Itu baru masa dakwahnya—belum termasuk masa kecil, remaja, dewasa, dan masa menjelang wafat. Artinya, usia beliau bisa mencapai lebih dari 1.000 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa umur manusia bisa saja melampaui batas-batas yang kita kenal sekarang, jika Allah menghendaki.
Oleh karena itu, surah Al-Kahfi mengajak kita masuk ke wilayah yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan ilmu pengetahuan. Kisah-kisahnya—dari pemuda gua, pemilik dua kebun, Musa dan Khidir, hingga Dzulqarnain—semuanya memuat hikmah mendalam yang hanya bisa dipahami bila disertai dengan hati yang bersih dan kecerdasan spiritual.
Prof. Nasaruddin juga menggarisbawahi adanya pola dalam struktur awal surah. Surah Al-Isra dimulai dengan “Subhanalladzi” (Maha Suci Allah), sedangkan surah Al-Kahfi dibuka dengan:
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجًا
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia tidak menjadikannya bengkok.”
“Subhanallah” menandai kekaguman dan kesucian mutlak Allah atas peristiwa luar biasa, sementara “Alhamdulillah” menunjukkan rasa syukur dan penghormatan atas turunnya petunjuk yang lurus, yaitu Al-Qur’an. Dua kalimat pembuka ini seakan mengantarkan kita untuk bersiap menghadapi perenungan besar dalam dua surah tersebut.
Ceramah malam itu pun menjadi pengingat kuat bahwa membaca Al-Qur’an bukan hanya soal melafalkan huruf, tetapi juga tentang bagaimana kita menyelami makna dan hikmah di dalamnya. Melalui pendekatan kecerdasan intelektual (An-Nahl), emosional-spiritual (Al-Isra), hingga kesadaran ruhani (Al-Kahfi), Prof. Nasaruddin mengajak umat Islam untuk kembali menjadikan Al-Qur’an sebagai peta kehidupan yang hidup—bukan sekadar bacaan, tapi tuntunan sejati dalam menghadapi fitnah zaman.