
Pada 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan pidato monumental di depan sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang bukan hanya jadi landasan filosofis berdirinya negara Indonesia, tetapi juga menjadi refleksi mendalam tentang jati diri bangsa yang sedang diperjuangkan.
Dalam pidato tersebut, Soekarno menawarkan lima prinsip yang kemudian kita kenal sebagai Pancasila versi 1 Juni: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan. Pidato itu kemudian ia persingkat menjadi Trisila, dan akhirnya diperas menjadi satu asas tunggal yang ia sebut Ekasila, yaitu: Gotong Royong.
Namun, bagaimana makna gotong royong dipahami dalam konteks filsafat politik dan kenegaraan? Apakah ini sebatas retorika atau benar-benar fondasi alternatif dari tata negara modern? Dan sejauh mana pemikiran Soekarno tersebut mendapat resonansi atau kritik dari pemikiran-pemikiran politik kontemporer, baik dalam maupun luar negeri?
Meski demikian, gagasan gotong royong tidak hanya dapat dibaca dari perspektif politik atau budaya lokal. Ia juga punya akar spiritual mendalam, termasuk dalam tradisi Islam. Ketika Soekarno mengusung Negara Gotong Royong, sejatinya ia tengah membumikan nilai-nilai Islam dalam bahasa politik kebangsaan yang inklusif dan pluralistik.
Pancasila Jalan Tengah Antara Individualisme dan Kolektivisme
Soekarno menggali Pancasila sebagai “philosophische grondslag”, dasar filsafat bangsa Indonesia. Sebagaimana diungkap oleh Yudi Latif (2011) dalam Negara Paripurna, Pancasila adalah hasil perjumpaan antara nilai-nilai lokal (seperti musyawarah dan gotong royong) dengan gagasan modern tentang kebangsaan, keadilan sosial, dan kemanusiaan universal. Dalam hal ini, Soekarno tidak meniru model negara liberal Barat yang menekankan hak-hak individu secara ekstrem, juga tidak menyalin negara sosialis totalitarian. Ia mengupayakan jalan tengah: Negara Gotong Royong.
Dalam pengertian ini, Gotong Royong bukanlah slogan kosong. Ia adalah sintesis kreatif melampaui dikotomi kapitalisme vs sosialisme. Soekarno, yang banyak terpengaruh pemikiran sosialisme-demokratis Perancis ala Jean Jaurès dan nasionalisme Asia dari Sun Yat Sen, melihat gotong royong sebagai prinsip kunci membangun solidaritas sosial tanpa meniadakan kebebasan individu. Negara Gotong Royong adalah “negara kerja sama”, bukan “negara kompetisi”.
Antropolog Koentjaraningrat (1985) menjelaskan, gotong royong adalah nilai yang tumbuh dari masyarakat desa di Indonesia, di mana pekerjaan bersama seperti panen, membangun rumah, atau menolong tetangga adalah norma yang mengikat. Namun, seperti ditunjukkan oleh Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960), gotong royong juga memiliki dimensi simbolik: ia menciptakan rasa kebersamaan dan keutuhan sosial dalam masyarakat yang plural.
Soekarno dengan cerdik mengangkat gotong royong dari ranah praksis lokal ke panggung filsafat politik. Ia tidak hanya mengambil nilai lama, tetapi memberinya makna baru dalam membentuk institusi politik modern. Negara, menurutnya, harus menjadi perwujudan prinsip gotong royong, yakni kolektifitas yang tidak menindas, tetapi memperkuat peran rakyat.
Apakah Negara Gotong Royong Mungkin?
Beberapa pengamat dan ahli filsafat politik mempertanyakan apakah konsep negara gotong royong dapat dipraktikkan secara operasional dalam tata kelola negara modern yang kompleks. Ben Anderson dalam Imagined Communities (1983) mencatat, nasionalisme di Asia Tenggara sering kali mengaburkan ketegangan antara homogenitas simbolik dan keragaman struktural. Apakah “gotong royong” bisa menjawab persoalan multikulturalisme, konflik kelas, dan asimetri kekuasaan?
Di sisi lain, Soekarno dituduh utopis dan retoris oleh kalangan liberal dan teknokratik. Dalam pidatonya, ia membangkitkan semangat, tetapi tidak menjelaskan mekanisme kelembagaan yang membumi. Kritik ini ditegaskan oleh Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962) yang mencatat, Soekarno cenderung mengedepankan gaya mobilisasi massa dibanding institusionalisasi dan konsolidasi demokrasi.
Namun, sebagaimana dicatat oleh Achille Mbembe dalam Critique of Black Reason (2017), konsep-konsep politik dari Dunia Ketiga tidak bisa dihakimi dengan logika Barat semata. Mereka lahir dari sejarah kolonial, trauma penjajahan, dan harapan akan keadilan sosial. Dalam kerangka ini, Negara Gotong Royong adalah upaya merumuskan modernitas alternatif, yang humanistik, kolektif, dan cenderung bersifat spiritual.
Dalam pengujung pidatonya, Soekarno berkata dengan penuh semangat:
“Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya Negara Gotong Royong!”
Pernyataan ini disambut tepuk tangan riuh rendah. Ia bukan sekadar mengakhiri pidato, tetapi mengafirmasi harapan kolektif akan bentuk negara yang bekerja bersama, bukan memerintah dari atas. Sebagaimana dikatakan oleh Bung Karno sendiri, demokrasi Indonesia haruslah demokrasi berkepribadian, bukan imitasi Barat. Gotong royong adalah wujud demokrasi asli Indonesia, sekaligus spiritual, etis, dan praksis.
Gotong royong juga senafas dengan konsepsi Islam tentang ta’awun. Semangat gotong royong mendapat legitimasi kuat dalam konsep ta’awun ‘ala al-birr wa al-taqwa (tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan) sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Ma’idah: 2)
Konsep ini tidak sekadar mengajarkan amal individual, melainkan solidaritas sosial sebagai fondasi kehidupan beragama dan bernegara. Ulama tafsir seperti Fakhruddin al-Razi dan al-Qurthubi menekankan, ayat ini bersifat normatif bagi kehidupan bermasyarakat. Umat Islam diperintahkan membangun komunitas yang saling memperkuat satu sama lain, bukan saling menjatuhkan.
Gotong royong dalam tradisi lokal Indonesia merupakan bentuk praksis dari ajaran ta’awun. Maka ketika Soekarno mengangkat gotong royong sebagai Ekasila, ia bukan meniadakan agama, melainkan menerjemahkan nilai-nilai agama ke dalam etika sosial-politik yang kontekstual.
Negara Gotong Royong sebagai negara islami tanpa menjadi negara Islam. Soekarno tidak mengusulkan negara Islam secara formal, tetapi ia mengusulkan negara islami secara aksiologis. Ini sejalan dengan gagasan kemudian banyak dikembangkan pemikir Muslim kontemporer seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Buya Syafii Ma’arif dan Muhammad Abed al-Jabiri di dunia Arab. Negara Gotong Royong tidak mensyaratkan simbol-simbol syariah formal, tetapi menuntut keadilan sosial, persaudaraan, dan perlindungan terhadap yang lemah, semua prinsip utama dalam Islam.
Gus Dur bahkan pernah menyatakan, “memperjuangkan keadilan sosial adalah bagian dari ibadah.” Dalam kerangka inilah Negara Gotong Royong menjadi bentuk konkret dari maqashid al-syari’ah: menjaga jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-‘aql), harta (hifz al-mal), agama (hifz al-din), dan keturunan (hifz al-nasl).
Selain itu, musyawarah dan kesejahteraan sebangun dengan prinsip Islam dalam Pancasila. Sila ketiga dan keempat dari Pancasila 1 Juni, bermufakat (demokrasi) dan kesejahteraan sosial, merupakan bentuk operasional dari prinsip syura dan ‘adl dalam Islam. Al-Qur’an menyatakan:
“Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)
Sementara prinsip keadilan (al-‘adl) menjadi fondasi seluruh hukum Islam:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl: 90)
Dengan demikian, sistem kenegaraan berbasis gotong royong, yang menyaratkan musyawarah, keadilan, dan kerja sama, lebih dekat kepada ideal Islam dibanding model otoriter berbasis kekuasaan tunggal atau kapitalisme liberal berbasis persaingan bebas.
Gagasan Negara Gotong Royong menantang kecenderungan formalisme keislaman yang hanya terpaku pada simbol: nama, jargon, dan institusi. Seperti diingatkan Khaled Abou El-Fadl dalam The Great Theft (2005), terlalu banyak gerakan Islam kontemporer terjebak pada upaya menjadikan negara sebagai mesin pengawal moral, bukan pelayan ummat yang berkeadilan.
Soekarno menolak menjadikan agama sebagai alat politik, tetapi tidak menyingkirkan agama dari ruang publik. Ia justru merangkul agama sebagai etika publik. Bukan sebatas identitas politik. Dalam pidatonya, ia menegaskan bahwa sila terakhir, Ketuhanan, haruslah bersifat “Ketuhanan yang berkebudayaan”, artinya yang membimbing umat manusia kepada kemanusiaan, bukan yang menimbulkan perpecahan dan eksklusivisme.
Gotong Royong di Era Krisis Demokrasi
Negara Gotong Royong bukanlah utopia. Ia adalah sintesis antara nilai-nilai keislaman, kebudayaan lokal, dan pemikiran politik progresif. Dalam situasi politik Indonesia saat ini yang semakin terpolarisasi oleh identitas dan kepentingan kelompok, gagasan ini menawarkan harapan, kekuasaan tidak harus berbasis dominasi, tetapi bisa dibangun di atas musyawarah, tolong-menolong, dan keadilan sosial.
Sebagaimana Islam mengajarkan manusia adalah khalifah di bumi, maka tanggung jawab itu hanya bisa dilaksanakan bila kita bersatu dalam kerja kolektif. Inilah esensi Negara Gotong Royong. Negara yang islami secara nilai, kebangsaan secara bentuk, dan adil secara isi.
Meski dilanda kerapuhan demokrasi elektoral saat ini, dengan maraknya politik transaksional, oligarki, dan pengingkaran terhadap hak minoritas, gagasan Negara Gotong Royong terasa kembali relevan. Ia menjadi pengingat bahwa demokrasi bukan hanya soal prosedur, tetapi soal nilai dan kebersamaan.
Gotong Royong, sebagaimana diajarkan Soekarno, bukanlah nostalgia masa lalu, tetapi tawaran jalan baru. Politik berbasis solidaritas, bukan segregasi. Kekuasaan berbasis musyawarah, bukan dominasi. Pembangunan berbasis kesejahteraan sosial, bukan eksploitasi.
Sebagai bangsa yang lahir dari semangat perjuangan kolektif, apakah kita masih cukup percaya diri membangun kembali cita-cita Negara Gotong Royong?
Referensi:
- Achille Mbembe, Critique of Black Reason, Duke University Press, 2017.
- Ben Anderson, Imagined Communities, Verso, 1983.
- Clifford Geertz, The Religion of Java, University of Chicago Press, 1960.
- Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Equinox, 1962.
- Khaled Abou El-Fadl, The Great Theft, 2005.
- Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, 1985.
- Soekarno, Pidato 1 Juni 1945, dalam Risalah Sidang BPUPKI.
- Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia, 2011.