
Bayangkan sebuah lagu. Ia lahir bukan dari panggung konser, bukan dari studio rekaman, tapi dari rongga dada yang pernah diremukkan oleh sejarah. Lagu itu mungkin tidak pernah diputar di radio, tidak pernah diunggah ke Spotify, tetapi ia hidup.
Di lorong gelap Ramallah, di klub bawah tanah Haifa, di kamp pengungsi Jenin, di antara tembok-tembok beton yang tinggi dan di seberang kawat berduri yang terus diganti setiap malam, lagu itu menembus batas.
Dan di sanalah musik berdiri: bukan sebagai penghibur, bukan sebagai penanda kemajuan industri, tapi sebagai tubuh tanpa kulit yang terus berdarah, yang tahu bahwa menjadi hidup berarti terus didengarkan meski tidak pernah dimafhumi.
Dalam Music in Conflict: Palestine, Israel and the Politics of Aesthetic Production (2021), Nili Belkind tidak sedang menulis buku akademik semenjana. Ia menulis dengan pendengaran nan tajam dan luka yang telanjang.
Ia mengikuti suara—bukan peta, bukan partai, bukan risalah perdamaian. Ia mengikuti anak-anak yang belajar biola di tengah deru drone. Ia duduk bersama ibu-ibu yang menyanyikan lagu nina bobo saat air bersih hanya datang seminggu sekali. Ia mendengarkan bukan hanya nada, tapi jeda. Bukan hanya irama, tapi juga isak.
Musik di Palestina dan Israel bukan hanya wujud estetika. Ia adalah pernyataan eksistensi. Ia adalah bukti bahwa sebelum ada negara, sebelum ada tembok, sebelum ada deklarasi kemerdekaan dan deklarasi perang, manusia menyanyi. Dan selama manusia masih menyanyi, sejarah belum menang.
Di Al-Kamandjâti Conservatory di Ramallah, anak-anak memeluk cello laksana memeluk nasib. Mereka tahu bahwa melodi yang mereka mainkan tidak akan mengusir tentara dari jalanan, tetapi mungkin bisa menyelamatkan diri mereka dari tenggelam dalam kebencian.
Mereka memainkan Bach bukan karena ingin menjadi warga dunia, tetapi karena ingin mengingat bahwa dunia itu masih ada. Bach di tengah blokade adalah tindakan politik. Mozart di tengah razia adalah bentuk perlawanan.
Akan tetapi apa yang terjadi ketika musik menjadi jembatan? Apakah jembatan itu kokoh atau rapuh? Apakah ia bisa dilewati bersama, atau hanya bisa ditatap dari kejauhan?
Belkind menulis tentang proyek-proyek musik kolaboratif antara musisi Yahudi dan Arab, antara yang memiliki paspor dan yang memiliki trauma. Di Jaffa, Voices of Peace Choir menyanyikan lagu dalam bahasa Arab dan Ibrani. Anak-anak menyanyi bersama. Namun ketika panggung dibongkar dan lampu dipadamkan, apakah suara itu tetap hidup?
Atau ia larut dalam statis politik yang menebalkan perbedaan?
Belkind tidak memuji-muji musik sebagai solusi. Ia tahu bahwa musik bisa menipu. Musik bisa dinormalisasi. Proyek-proyek bersama bisa menjadi kosmetik kolonial.
“Lihatlah kami,” kata negara, “kami bernyanyi bersama.” Akan tetapi bernyanyi bersama tidak berarti hidup bersama. Dan hidup bersama tidak berarti adil.
Itulah sebabnya sebagian besar musisi Palestina menolak berkolaborasi. Mereka menolak untuk menjadi latar belakang dari pertunjukan harmoni palsu. Bagi mereka, diam pun bisa menjadi lagu. Lagu yang menolak.
Namun di sisi liyan, ada musisi yang memilih untuk membuka ruang abu-abu. Mereka tidak percaya pada solusi dua negara atau satu negara, tetapi percaya pada satu suara. Mereka tidak ingin mewakili siapa pun, hanya ingin bicara. Dalam bicara itu, ada kemungkinan.
Yair Dalal, musisi Yahudi keturunan Irak, menyebut dirinya Arab-Jew.
Ia memainkan oud dengan rasa rindu pada budaya yang ditekan oleh negara yang dibelanya. Tatkala ia bermain bersama Jowan Safadi, musisi Palestina dari Nazareth, mereka menciptakan bukan harmoni, tetapi tegangan. Dan dalam tegangan itu ada kejujuran.
Musik sebagai jembatan bukan berarti musik sebagai rekonsiliasi.
Ia adalah ruang guncang, tempat dua tubuh berdiri dan tidak tahu harus saling menampar atau saling memeluk. Musik adalah jembatan karena ia tidak pernah sepenuhnya aman.
Di checkpoint antara Bethlehem dan Yerusalem, orkestra kecil pernah tampil. Untuk beberapa menit, peluru berhenti. Tentara menonton. Beberapa tersenyum. Beberapa gelisah. Musik tidak mengubah kebijakan militer. Tapi ia mengubah atmosfer. Dan dalam perubahan sekecil itu, dunia bisa digeser.
Belkind tidak mengatakan bahwa musik akan mengakhiri pendudukan. Ia bahkan ragu apakah musik bisa menyatukan bangsa. Namun ia tahu satu hal: musik menciptakan ruang. Dan ruang adalah awal dari segala sesuatu.
Di ruang itu, orang bisa duduk. Bisa mendengar. Bisa menangis.
Dan siapa tahu, bisa menyanyi bersama.
Musik bukan solusi. Ia bukan peta. Ia bukan strategi. Tapi ia adalah kemungkinan. Dan dalam konflik yang telah mematikan hampir semua kemungkinan. Kemungkinan adalah hadiah terbesar.
Musik adalah satu-satunya yang tidak bisa disensor sepenuhnya. Bahkan ketika konser dibatalkan, bahkan ketika musisi dipenjara, bahkan ketika nada dilarang, musik tetap menemukan jalannya. Ia mengalir dari mulut ke telinga, dari luka ke harapan.
Dan selama masih ada satu anak di Gaza yang mengetuk ember seperti drum, selama masih ada satu gadis di Tel Aviv yang menyanyikan puisi Mahmoud Darwish, selama masih ada satu musisi yang bermain di pos pemeriksaan, maka suara itu belum mati.
Ia belum dikalahkan.
Dan mungkin, dalam waktu yang tak bisa dipastikan, suara itu akan menjadi rumah.
Rumah yang tak bisa dihancurkan. Rumah tanpa tembok. Rumah yang cukup luas untuk semua orang duduk dan menyanyi bersama, bukan karena mereka telah berdamai, tetapi karena mereka telah saling mendengar.
Itulah rumah yang dibangun oleh musik. Dan tidak ada buldoser yang bisa merobohkannya.