Memanah dan Kontekstualisasinya di Zaman Now (Bag. 1)

Memanah dan Kontekstualisasinya di Zaman Now (Bag. 1)

Memanah, tak pelak lagi, menjadi aktifitas baru yang menggiurkan. Bukan sekedar berolahraga, tetapi lebih dari itu, panahan juga menjanjikan pahala.

Memanah dan Kontekstualisasinya di Zaman Now (Bag. 1)

Tiap muslim sepakat; apa yang berasal dari Nabi pastilah sesuatu yang baik. Itulah kenapa kemudian banyak orang jadi rajin menenteng busur. Panahan, terutama akhir-akhir ini, menjadi semacam tren di kalangan kaum muslimin. “Memanah itu sunnah,” kata banyak orang. Saking ramainya, atau saking sunnah-nya, sampai beredar video seorang pesohor berlatih memanah di dalam masjid.

Memanah, tak pelak lagi, menjadi aktifitas baru yang menggiurkan. Bukan sekedar berolahraga, tetapi lebih dari itu, panahan juga menjanjikan pahala. Setidaknya begitulah anggapan umum, atau pandangan kita, tentu saja. Tetapi, bagaimanakah sebetulnya para ulama memahami hujjah-hujjah memanah!? Benarkah gagasan keistimewaan panahan bukan berasal dari imajinasi kita belaka!?

Hujjah-Hujjah

Terdapat banyak kitab yang memuat diksi al-ramyu, yang pada umumnya diterjemahkan sebagai memanah. Beberapa di antaranya bahkan menempatkan istilah tersebut sebagai satu pembahasan khusus.

Dalam Shahih Muslim, umpamanya, terdapat bab berlabel fadhlu al-ramyi wa al-hittsi ‘alaihi (keutamaan al-ramyu dan seruan atasnya). Bab yang serupa juga ditemukan dalam Shahih Bukhari, tetapi dengan pilihan kata yang berbeda, yakni al-tahridh ‘ala al-ramyi (dorongan untuk melakukan al-ramyu).

Salah satu dalil yang ‘sangat menggentarkan’, yang sangat tepat untuk dipakai sebagai legitimasi keistimewaan al-ramyu, adalah hadis dalam Sahih Muslim yang dinukil dari ‘Uqbah ibn ‘Amir, bahwa Nabi Saw bersabda:

مَنْ عَلِمَ الرَّمْيَ، ثُمَّ تَرَكَهُ، فَلَيْسَ مِنَّا أَوْ قَدْ عَصَى

“Barang siapa belajar al-ramyu, kemudian meninggalkannya, maka dia bukan golongan kita atau dia telah bermaksiat.”

Atau hadis Nabi dalam al-Mu’jam al-Shaghir:

مَنْ تَعَلَّمَ الرَّمْيَ ثُمَّ نَسِيَهُ ؛ فَهِيَ نِعْمَةٌ جَحَدَهَا

Barangsiapa yang belajar menembak lalu ia melupakannya, maka itu termasuk nikmat yang ia durhakai.

Tetapi landasan paling penting tentang keistimewaan al-ramyu sebetulnya diperoleh dari Al-Qur’an. Seperti dikisahkan dalam Shahih Muslim, ‘Uqbah ibn ‘Amir dengan khidmat mendengarkan khutbah Nabi Saw. Di atas mimbar tersebut Nabi Saw mengutip ayat:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi.”

Waktu itu, masih menurut ‘Uqbah, Nabi Saw mengulang sebanyak tiga kali penjelasan beliau ihwal makna dari kata al-quwwah:

 أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ، أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ، أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ

“Ketahuilah, bahwa al quwwah (dalam ayat ini) adalah al-ramyu. Ingatlah, bahwa al quwwah (dalam ayat ini) adalah al-ramyu. Camkanlah, bahwa al quwwah (dalam ayat ini) adalah al-ramyu.”

Sebetulnya, masih banyak hadis yang berkaitan dengan istilah al-ramyu. Tetapi beberapa hadis yang dipetik di atas sudah bisa mewakili. Hadis yang memuat penafsiran Nabi Saw atas ayat dalam Surat Al-Anfal, yang disebut belakangan, misalnya, dapat kita temukan di hampir seluruh fan keilmuan Islam, terutama pada  kitab-kitab yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai jihad dan atau qital. Kata kunci untuk memaknai hadis-hadis al-ramyu, terdapat pada lafazh al-quwwah dan lafazh al-ramyu itu sendiri.

 

Al-Quwwah: Keterampilan Militer

Seperti tampak dalam Al-Anfal ayat 60, Allah memerintahkan untuk bersiap-siap. Persiapan untuk apa!? Jelas persiapan perang.

Dengan kata lain, ayat tersebut merupakan turunan saja dari perintah jihad dan atau qital. Hadis-hadis tentang keistimewaan al-ramyu karenanya juga tidak bisa dilepaskan dari konteks jihad.

Menafsiri al-Anfal ayat 60, Al-Thabari menjelaskan:

إِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِإِعْدَادِ الْجِهَادِ وَآلَةِ الْحَرْبِ وَمَا يَتَقَوَّوْنَ بِهِ عَلَى جِهَادِ عَدُوِّهِ وَعَدُوِّهِمْ

 مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ السِّلَاحِ وَالرَّمْيِ وَغَيْرِ ذَلِك

“Allah memerintahkan untuk mempersiapkan jihad dan mempersiapkan peralatan-peralatan perang, atau segala hal yang bisa dipakai untuk mendukung jihad melawan musuh (kaum musyrik), berupa pedang, al-ramyu, dan lain-lain.”

Sebagaimana layaknya suatu persiapan, dan sebagaimana baru saja dapat kita petik dari penjelasan at-Thabari, persiapan perang tidak dibatasi pada kondisi atau alat tertentu belaka. Terutama di dalam peperangan, segala kemungkinan bisa terjadi. Karenanya, seluruh aspek –dari mulai yang sepele sampai yang serius– mesti dijadikan bahan pertimbangan dalam rangka persiapan.

Itulah kenapa kebanyakan ulama tidak membatasi unsur-unsur persiapan pada hanya persiapan peralatan, seperti al-ramyu umpamanya. At-Thabari berkata:

وَلَا وَجْهَ لِأَنْ يُقَالُ: عَنَى بِالْقُوَّةِ مَعْنًى دُونَ مَعْنًى مِنْ مَعَانِي الْقُوَّةِ، وَقَدْ عَمَّ اللَّهُ الْأَمْرَ بِهَا

“Tidak tepat apabila diucapkan bahwa yang dikehendaki dari makna quwwah adalah satu makna saja dan bukan makna-maknanya yang lain. Padahal Allah sendiri meredaksikan perintah tersebut dengan (diksi) umum.”

Bahwa Nabi yang seolah-olah membatasi makna kata al-quwwah sebagai al-ramyu saja dalam sabda beliau إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ, hal itu sebenarnya tak berbeda dari sabda beliau saat memberikan “definisi” atas haji, yakni  الحَجُّ عَرَفَةُ (haji adalah Arafah). Apakah sabda tersebut menunjukkan bahwa haji cukup dilakukan dengan ber-wuquf di Arafah!? Tentu tidak. Al-Razi menjelaskan:

وَقَوْلُهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: «الْقُوَّةُ هِيَ الرَّمْيُ »لَا يَنْفِي كَوْنَ غَيْرِ الرَّمْيِ مُعْتَبَرًا،

كَمَا أَنَّ قَوْلَهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: «الْحَجُّ عَرَفَةُ» وَ «النَّدَمُ تَوْبَةٌ» لَا يَنْفِي اعْتِبَارَ غَيْرِهِ،

“Sabda Nabi Saw ‘Kekuatan adalah al-ramyu’ bukan berarti menafikan bentuk persiapan yang lain, seperti saat Nabi Saw bersabda bahwa ‘Haji adalah Arafah’ dan ‘Penyesalan adalah taubat’.”

Senada dengan Al-Razi, Al-Thabari mengatakan:

إِنَّ الْخَبَرَ وَإِنْ كَانَ قَدْ جَاءَ بِذَلِكَ فَلَيْسَ فِي الْخَبَرِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ مُرَادٌ بِهَا الرَّمْيُ خَاصَّةً دُونَ سَائِرِ مَعَانِي الْقُوَّةِ عَلَيْهِمْ، فَإِنَّ الرَّمْيَ أَحَدُ مَعَانِي الْقُوَّةِ.. . وَمِنَ الْقُوَّةِ أَيْضًا السَّيْفُ وَالرُّمْحُ وَالْحَرْبَةُ، وَكُلُّ مَا كَانَ مَعُونَةً عَلَى قِتَالِ الْمُشْرِكِينَ،

Meskipun demikian, hadis tersebut tidak serta merta menunjukkan bahwa yang dimaksudkan sebagai persiapan perang adalah al-ramyu secara khusus, dan bukan makna-makna quwwah yang lain. Al-Ramyu sebetulnya hanya salah satu makna saja dari banyak makna quwwah. Termasuk dalam makna quwwah di antaranya pedang, tombak, sangkur, dan segala sesuatu yang bermanfaat untuk berperang melawan kaum musyrik.”

Al-hasil, yang perlu dipersiapkan untuk menghadapi sebuah peperangan adalah segala hal yang dianggap mampu menunjang keberhasilan peperangan tersebut. Dengan redaksi lain, faktor penunjang peperangan secara umum adalah segala yang berkaitan dengan keterampilan militer. Karenanya Abu Zahrah mengemukakan:

فلا بد من التربية على الجندية، وإعداد عدة القتال، وذلك بالمستطاع بل بأقصى ما يستطاع،

ومن هنا بيانية في قوله (مِّن قُوَّةٍ) وهي تدل على عموم القوى

“Tidak bisa tidak, diperlukan pendidikan kemiliteran serta mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan perang. Hal itu disesuaikan dengan kemampuan, sampai pada batas minimal kemampuan seseorang. Di sinilah sebetulnya letak makna dari Firman Allah min quwwah, yang menunjukkan arti kekuatan secara umum.”