Apakah Kepiting Halal atau Haram? Ini Penjelasan KH. Muhammad Faiz

Apakah Kepiting Halal atau Haram? Ini Penjelasan KH. Muhammad Faiz

Apakah Kepiting Halal atau Haram? Ini Penjelasan KH. Muhammad Faiz

Kepiting merupakan salah satu hidangan laut yang banyak digemari masyarakat, baik karena rasanya yang gurih maupun nilai gizinya yang tinggi. Namun di balik kelezatannya, muncul pertanyaan yang cukup mengusik hati sebagian umat Islam: apakah kepiting halal untuk dikonsumsi?

Pertanyaan ini bukan sekadar soal selera atau budaya, melainkan menyangkut prinsip dasar dalam Islam tentang kehalalan makanan. Dalam sebuah program tanya jawab yang disiarkan oleh salah satu televisi swasta, KH. Muhammad Faiz—Katib Syuriah PBNU dan Ketua MUI DKI Jakarta—memberikan penjelasan mendalam terkait isu ini.

KH. Faiz memulai penjelasannya dengan kisah pribadi yang menunjukkan betapa kuatnya pandangan tradisional terhadap hukum makanan tertentu. “Saya lahir dan besar di keluarga yang mengharamkan kepiting,” ungkapnya. “Kakek, nenek, dan paman-paman saya selalu menganggap kepiting itu haram.”

Pandangan tersebut bukan tanpa dasar. Ia berakar dari warisan keilmuan mazhab-mazhab fikih klasik. Dalam mazhab Hanafi misalnya, kepiting dianggap sebagai hewan yang menjijikkan (mustakhbath) karena bentuk dan perilakunya. Maka, segala sesuatu yang dianggap menjijikkan, meskipun hidup di laut, tetap dinyatakan haram dikonsumsi.

Sementara itu, mazhab Syafi’i memiliki pendekatan yang berbeda. Dalam pandangan madzhab Syafi’i, yang menjadi titik krusial adalah apakah hewan tersebut murni hewan laut atau hewan yang hidup di dua alam (amfibi). Kepiting, yang bisa hidup di darat maupun air, dikategorikan sebagai hewan yang tidak sepenuhnya tinggal di air, sehingga kehalalannya menjadi dipertanyakan. “Itu disebut dengan istilah bar ma’,” jelas KH. Faiz. “Barrun artinya darat, ma’ itu air.”

Perdebatan ini mulai mendapat perhatian lebih serius sekitar tahun 2000-an. Ketika konsumsi kepiting semakin populer, umat Islam pun mulai bertanya lebih dalam: apakah benar kepiting hewan amfibi? Atau sebenarnya dia hanya terlihat seolah bisa hidup di dua alam?

KH. Faiz menjelaskan bahwa pada saat itu, para ulama dan lembaga keislaman seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa perlu melibatkan para pakar  peternakan untuk menjawab pertanyaan ini secara ilmiah. “Ulama tidak bisa memutuskan hukum secara sembarangan. Kita perlu mengetahui fakta dari ahlinya. Apa itu kepiting? Binatang air, darat, atau amfibi?” katanya.

Para pakar kemudian menyimpulkan bahwa kepiting adalah hewan air. Kemampuannya untuk bertahan hidup di darat bukan karena ia benar-benar hidup di dua alam, melainkan karena ia memiliki sistem biologis yang memungkinkan menyimpan air dalam tubuhnya. Ketika cadangan air dalam tubuhnya berkurang, ia akan mengalami dehidrasi dan perlu disiram untuk bertahan hidup.

Fakta ilmiah ini menjadi dasar penting bagi Fatwa MUI yang menyatakan bahwa kepiting adalah halal untuk dikonsumsi, karena termasuk kategori hewan laut.

Dalil Kepiting Halal

Dalam Islam, hukum kehalalan makanan laut memiliki dasar kuat dari Al-Qur’an dan Hadis. Allah SWT berfirman:

“Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu…” (QS. Al-Ma’idah: 96)

Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda tentang air laut:

“Laut itu airnya suci dan bangkainya halal.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya)

Berdasarkan dalil ini, para ulama banyak yang berpendapat bahwa semua hewan yang hidup di laut halal dikonsumsi, kecuali jika ada dalil khusus yang mengharamkannya atau ada unsur membahayakan.

Namun, pertanyaan muncul ketika hewan laut itu memiliki sifat tertentu—misalnya bertaring atau buas. “Kita tahu Nabi Muhammad SAW mengharamkan hewan bertaring, seperti kucing,” kata KH. Faiz. “Tapi, untuk hewan laut seperti hiu atau paus yang bertaring dan bahkan berbahaya, mereka tetap dihukumi halal karena sifat kelautan-nya mengalahkan sifat bertaringnya.”

Dengan pendekatan yang sama, kepiting dinyatakan halal karena ia termasuk makhluk laut sejati, bukan makhluk darat, dan tidak ada dalil khusus yang melarangnya.

KH. Muhammad Faiz mengingatkan, “Ulama hanya bisa menetapkan hukum atas sesuatu yang telah jelas. Jika belum jelas, maka tugas kita adalah mencari kejelasan itu, dari mereka yang ahli di bidangnya.”