
Apakah Mekah Berubah Menjadi “Las Vegas Spiritual”? Pertanyaan ini jelas terdengar kontroversi. Judul artikel di International Business Times di Inggris tahun 2011 kemarin sempat menjadi perbincangan, bahkan sempat ditulis lebih oleh penulis di Indonesia. Artikel ini menyoroti Transformasi radikal yang dialami Mekah dalam 25 tahun terakhir memantik sebuah pertanyaan mendasar, “Apakah wajah kota suci ini kini lebih menyerupai “Las Vegas religius”?
Mekah, yang dibiayai oleh kekayaan minyak Saudi, kini menjelma menjadi perpaduan unik antara nilai-nilai Islam dan kapitalisme. Banyak gedung pencakar langit, toko-toko perhiasan, tempat kopi mahal, hingga hotel-hotel mahal dengan sangat mudah dijumpai di sekitar pelataran, hotel-hotel, bahkan di radius terbilang jauh.
Sayangnya, pembangunan ini dianggap mengabaikan pelestarian situs-situs bersejarah Islam. Banyak yang prihatin melihat Mekah, di mana Nabi Muhammad pernah menekankan kesetaraan sebagai nilai utama Islam, kini berubah menjadi arena eksklusif bagi kalangan kaya. Meski dimikian nampaknya, Saudi mulai berbenah, situs-situs sejarah mulai di-openi dan revitalisasi.
Kyai saya pernah cerita bahwa bangunan Jam Besar yang hari ini menjadi ikon foto banyak jemaah haji, merupakan benteng peninggalan dinasti Ottoman.
Beberapa sudut kini berubah menjadi hotel-hotel berbintang, mall besar, hingga gedung-gedung pencakar langit. Harga penginapan terdekat bagi jemaah, baik haji atau umrah, tak lagi bisa dibilang murah. Jemaah haji reguler pun tak lagi berjarak 1-2 kilometer. Sebagian besar jemaah haji hari ini diharuskan menaiki bus untuk tiba ke penginapannya.
Hotel atau penginapan terdekat biasanya sudah “dikuasai” para jemaah haji yang mampu membayar lebih mahal, seperti Furoda dan Haji Plus. Kondisi inilah yang digambarkan artikel di International Business Times sebagai perubahan Mekah menjadi Las Vegas versi spiritual.
***
Cerita kegagalan keberangkatan calon jemaah haji dengan visa Furoda jelas menyisakan banyak cerita kesedihan. Travel pun merugi milyaran. Kegagalan terbit visa Haji Furoda disebut-sebut sebagai bagian dari pengetatan pengawasan pelaksanaan haji oleh otoritas Arab Saudi. Negara Arab Saudi benar-benar membenahi pelaksanaan haji lebih ketat ini, tidak lain dikarenakan mereka ingin mengambil keuntungan sebesar-besarnya atas pelaksanaan haji.
Pembahasan tentang kenyamanan dan keamanan jemaah haji mungkin lebih sering terdengar dibandingkan perluasan Masjid Haram dan pembangunan hotel-hotel di sekitarnya. Ini wajar, sebab Arab Saudi terus berupaya memperbaiki diri dan berinovasi demi kemudahan ibadah haji. Namun, di sisi lain, jika kita amati wajah Kota Mekah, khususnya kawasan sekitar Masjid Haram, kemunculan mal dan hotel mewah seolah menunjukkan bahwa pembangunan itu lebih berpihak pada mereka yang sanggup merogoh kocek lebih dalam. Tampaknya, Arab Saudi tidak sekadar membuka kesempatan luas bagi semua orang, melainkan juga memberikan fasilitas lebih bagi mereka yang bersedia membayar mahal.
***
Sekitar tahun 1990-an, Mekah masih terbilang seperti kota penuh sesak, jalan sempit, bangunan terbilang jadul bertebaran, hingga kabel-kabel semerawut terbentang. Bahkan, saya pernah dengar cerita seorang jemaah haji di sekitar tahun itu menggambarkan ada jalan raya dengan kepadatannya di depan pintu Masjid Haram.
Selain itu, bangunan-bangunan di sekitar Masjid Haram tak lebih dari 4-5 lantai. Oleh sebab itu, Masjid Haram yang dibangun begitu megah itu semakin terlihat mengagumkan. Hari ini, wajah kota Mekah telah menjadi kosmopolit, modern, bahkan bisa dibilang bling-bling atau instagramable.
Pemerintah Arab Saudi ingin memaksimalkan jumlah jemaah haji setiap tahunnya. Selaras dengan kondisi ini, terjadi peningkatan jumlah kelas menengah Muslim, sehingga keinginan untuk berangkat ke tanah suci pun semakin membuncah dan jumlah keberangkatan pun turut terdongkrak. Walhasil, kita menyaksikan kepadatan luar biasa di Masjid Haram, terkhusus di lapangan Tawaf.
Tak banyak negara atau institusi bersuara kondisi ini. Sebab, posisi Arab Saudi pemegang keputusan tunggal soal porsi haji setiap negara tentu menempatkan negara lain dalam dilema. Padahal, Mekah sudah seharusnya benar-benar dibatasi untuk memberikan ruang lebih lega bagi jemaah dan bisa menjalani ibadah lebih nyaman.
Perubahan Kota Mekah dalam beberapa dekade terakhir ibarat pedang bermata dua, di satu sisi membawa kemudahan, di sisi lain mengikis esensi spiritualitasnya. Dulu, Mekah adalah kota yang sederhana, di mana kesetaraan jemaah terasa begitu nyata di antara jalan-jalan sempit dan bangunan-bangunan rendah yang mengelilingi Masjid Haram. Kini, kemegahan menara-menara pencakar langit, mal mewah, dan hotel berbintang justru menciptakan hierarki baru: fasilitas mewah untuk jemaah-jemaah yang memiliki previlege (mampu membayar lebih). Padahal, haji sejatinya mengajarkan kesetaraan di hadapan Allah, bukan kompetisi kelas berdasarkan kekayaan.
Jika pembangunan terus mengorbankan kekhusyukan ibadah dan warisan sejarah, akankah Mekah tetap menjadi kota suci atau sekadar destinasi wisata religius eksklusif? Pertanyaan ini menggantung, meninggalkan kegelisahan bagi siapa pun yang masih merindukan Mekah sebagai rumah bersama seluruh umat Islam, bukan arena komersial bagi yang berkocek tebal.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin