KH. Muhammad Faiz Jelaskan Cara Menyikapi Makanan yang Belum Jelas Kehalalannya

KH. Muhammad Faiz Jelaskan Cara Menyikapi Makanan yang Belum Jelas Kehalalannya

KH. Muhammad Faiz Jelaskan Cara Menyikapi Makanan yang Belum Jelas Kehalalannya

Di tengah semangat umat Islam untuk menjalani hidup sesuai tuntunan syariat, persoalan kehalalan makanan menjadi salah satu isu yang tak pernah lekang oleh waktu. Apalagi di era modern seperti sekarang, ketika produk makanan dari berbagai penjuru dunia begitu mudah masuk ke pasar-pasar lokal. Label halal belum tentu menjawab seluruh pertanyaan, apalagi tidak semua yang tidak berlabel otomatis haram. Lantas, bagaimana menyikapi makanan yang status kehalalannya belum jelas?

Isu ini menjadi semakin rumit ketika dihadapkan pada produk hewani yang belum dikenal luas dalam tradisi kuliner Muslim, atau yang berasal dari negara dengan standar penyembelihan yang berbeda. Dalam konteks inilah, istilah syubhat—yang berarti sesuatu yang samar antara halal dan haram—menjadi sangat relevan untuk dibahas.

Muhammad Faiz, Katib Syuriah PBNU sekaligus Ketua MUI DKI Jakarta, dalam sebuah wawancara televisi mengupas tema ini dengan pendekatan fiqih yang penuh kearifan. Beliau menegaskan bahwa dalam Islam, kejelasan hukum sangat penting, tetapi ketika kita berhadapan dengan sesuatu yang berada di wilayah abu-abu, maka sikap hati-hati dan saling menghormati menjadi kunci utama.

“Dalam agama, istilahnya adalah syubhat—sesuatu yang berada di antara halal dan haram,” jelas Kiai Faiz. Ia mencontohkan, ada binatang yang secara eksplisit halal, seperti sapi. Selama proses penyembelihannya memenuhi syarat syar’i, maka tidak ada keraguan dalam mengonsumsinya. Sebaliknya, beberapa jenis hewan telah dinyatakan haram secara jelas dalam Al-Qur’an dan hadits, seperti babi serta hewan buas bertaring atau memiliki paruh mematikan, seperti elang dan burung pemangsa lainnya.

Namun Islam tidak hanya mengandalkan teks dalam penetapan hukum, melainkan juga memperhatikan kesepakatan manusia. Salah satu contohnya adalah binatang yang secara umum dianggap menjijikkan (al-khabā’its). “Misalnya cicak, hampir semua orang akan merasa jijik kalau disuruh makan cicak. Maka, hewan seperti ini dihukumi haram karena kebanyakan orang mengatakan cicak hewan yang menjijikkan,” kata beliau.

Persoalan menjadi lebih kompleks ketika ditemukan hewan-hewan yang memiliki sifat campuran—antara laut dan darat, atau antara halal dan haram. Contohnya anjing laut. “Namanya ‘anjing’, tapi hidup di laut. Bentuknya seperti ikan, tapi wajahnya mirip anjing. Maka statusnya masuk kategori syubhat. Artinya, tidak bisa dikatakan halal, tapi juga tidak serta merta haram,” urai Kiai Faiz.

Dalam menghadapi perkara syubhat, KH. Faiz mengingatkan pentingnya etika dalam menyampaikan kebenaran. Tidak semua yang kita anggap salah boleh langsung dicegah atau disalahkan. “Kalau saya melihat seseorang makan babi—yang jelas haram—saya berhak menegur. Tapi kalau orang itu makan kepiting, yang status hukumnya diperselisihkan ulama, saya tidak boleh serta-merta melarangnya,” ujarnya.

Beliau menekankan bahwa dalam perkara yang diperdebatkan ulama, umat Islam harus belajar saling menghormati pendapat. “Kalau seseorang bilang, ‘Di tempat saya ngaji, guru saya membolehkan,’ maka kita tidak bisa memaksakan pandangan pribadi yang berbeda. Inilah indahnya Islam—ada ruang untuk ijtihad dan perbedaan,” jelasnya.

Lebih jauh, Kiai Faiz juga mengulas kondisi tertentu di mana makanan haram atau syubhat bisa berubah hukum menjadi boleh, yakni dalam keadaan darurat atau untuk keperluan medis. Namun, fatwa semacam itu tidak bisa sembarangan diberikan. “Harus ada penjelasan dari pihak yang ahli dan terpercaya. Tidak cukup hanya katanya atau hasil pencarian di internet. Harus ada rujukan medis dan keilmuan yang kuat,” tegas beliau.