
Pada 15 Agustus 2020, atas inisiatif Presiden Trump, dilaksanakan penandatanganan The Abraham Accords oleh Amerika Serikat (AS), Israel, UEA, Bahrain, disusul kemudian Sudan dan Maroko beberapa bulan setelahnya.
Dalam nada normatif, kesepakatan tersebut bertujuan untuk mendorong dialog antaragama dan antarbudaya dari tiga agama Abrahamik (Yahudi, Kristen dan Islam), dengan keyakinan bahwa kerja sama dan dialog merupakan cara terbaik untuk menyelesaikan personalan di kawasan. Karenanya, perlu diperkuat hubungan persahabatan antarnegara demi terciptanya perdamaian di Timur Tengah.
Beberapa pihak seperti American Jewish Committee (AJC), kelompok Evangelis pendukung Trump dan Global Imams Council (GIC) memberi tepuk tangan diplomatis, terutama mengingat Timur Tengah merupakan kawasan yang dilanda konflik berkepanjangan.
Di sisi lain, tidak sedikit pihak yang memandang secara skeptis seperti Arab Center Washington DC, kelompok Pro-Palestina dan Marshall Center. Bagi mereka, alih-alih mengakhiri konflik, kesepakatan tersebut lebih sebagai upaya membuka koridor bagi Israel menjalin hubungan diplomatik dengan beberapa negara Arab.
Di era pemerintahan Joe Biden, semangat Abraham Accords semakin dikukuhkan lewat Negev Summit pada 27–28 Maret 2022 di Side Boke, Israel Selatan, dengan tambahan peserta Mesir, sedangkan Yordania dan Palestina menolak mengikutinya.
Pertemuan tersebut membahas implementasi praktis dari Abraham Accords dalam bentuk kerjasama dalam bidang pendidikan, toleransi, air bersih dan pangan. Namun, agenda politiknya justru ditunjukkan oleh Menlu Israel saat itu, Yair Lapid.
“Arsitektur baru ini, kemampuan bersama yang sedang kita bangun, mengintimidasi dan menghalangi musuh-musuh bersama kita – terutama Iran dan proksi-proksinya,” katanya (Anadolu, 28/03/2022).
Namun, sejak Oktober 2023 malapetaka besar terjadi di Palestina. Respon Isreal terhadap Hamas merupakan bentuk kekejaman terhadap Gaza hingga peradaban modern, yang telah susah payah dibangun dalam rentang sejarah yang panjang, tiba-tiba seperti kembali ke zaman monster Leviathan menguasai alam pikiran manusia.
Lembaga seperti Amnesty International (4/12/204) dan Human Rights Watch 19/12/2024) menyebut tindakan Israel sebagai bentuk kejahatan perang dan bahkan genosida. Dan ini membentuk argumentasi yang mempersoalkan Abraham Accords baik secara etis maupun politis.
Palestina sebagai Beban
Selama lebih dari tujuh dekade, isu Palestina selalu menjadi poin penting solidaritas dunia Arab dan Islam.
Dalam Inisiatif Perdamaian Arab di Beirut 2002 yang dipelopori Arab Saudi—dengan dukungan Liga Arab, negara-negara Arab mensyaratkan normalisasi dengan Israel dapat dilakukan hanya jika Israel mundur dari wilayah yang diduduki sejak 1967.
Wilayah itu adalah Tepi Barat, Jalur Gaza, Dataran Tinggi Golan dan Yerusalem Timur, mengakui negara Palestina dengan Yerussalem Timur sebagai ibu kotanya, dan mematuhi Resolusi PBB 194 yang mengharuskan Israel menyepakati solusi adil atas masalah jutaan pengungsi Palestina yang terusir sejak 1948. Namun, inisiatif tersebut perlahan memudar.
Pertama, Israel sebagai pihak yang terlibat langsung tidak menyetujui keputusan tersebut, baik mundur dari wilayah yang diduduki maupun solusi pengungsi yang akan menimbulkan ketimpangan demografis di wilayahnya.
Kedua, kesepakatan tersebut bernuansa deklaratif dengan tanpa kekuatan yang mengikat para peserta serta mekanisme pendukung implementasinya.
Ketiga, situasi internal yang tidak stabil, baik Palestina (berupa friksi Fatah dan Hamas) maupun Israel (pergantian pemerintahan dan penguatan partai-partai sayap kanan yang menentang keras inisiatif tersebut).
Keempat, kebijakan luar negeri negara-negara Arab semakin didorong oleh kepentingan bilateral yang pragmatis, daripada solidaritas membangun arsitektur perdamaian di kawasan.
Kelima, faktor penting lainnya adalah meningkatnya pengaruh Iran di kawasan.
Iran selalu menggunakan dukungannya terhadap Palestina untuk meraih simpati dari negara-negara Islam, sambil pada saat yang sama memproyeksikan pengaruhnya di kawasan seperti Suriah (di masa pemerintahan Asad), Irak (pasca Saddam Hussein) dan Yaman (Haouti), serta Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Palestina.
Alih-alih mendukung upaya Iran di Palestina, negara-negara Arab—yang telah bergantung pada pasar minyak dan dukungan militer AS—justru menjadikan Iran sebagai rival yang perlu dibatasi.
Berdasarkan lanskap geopolitik di kawasan tersebut, negara-negara Arab akhirnya memilih memperkuat hubungannya dengan AS sebagai mitra strategis mereka dan Israel.
Dalam konteks tersebut, sebagai musuh Israel dan AS, pengaruh Iran di kawasan harus dibatasi. Karena itu, mendukung Palestina (terutama Hamas sebagai satelit Iran) sama halnya memperkuat posisi musuh di teras rumah. Pandangan negara-negara Arab terhadap Palestina telah bergeser secara signifikan, dari semula “Palestina sebagai pemersatu” menjadi “Palestina sebagai beban” di tengah polarisasi politik di kawasan.
Realisme Pragmatis
Berbeda dengan semangat Inisiatif Perdamaian 2002, Abraham Accords dirancang bukan untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel, melainkan lebih untuk mewadahi kepentingan bilateral Israel dengan beberapa negara di Timur Tengah.
Di sisi lain, bagi negara-negara Teluk menjalin hubungan dengan Israel diharapkan membawa keuntungan signifikan, seperti akses pada teknologi dan dukungan keamanan. Mereka juga berharap, hubungan dengan Israel dapat memperkuat hubungan dengan Amerika Serikat khususnya bantuan militer dan investasi.
Di saat yang sama, melalui kesepakatan tersebut mereka dapat membatasi pengaruh Iran di kawasan, baik sebagai musuh Israel maupun rival mereka—kecuali Kuwait dan Qatar.
Dari sisi Israel, manfaat Abraham Accords jauh lebih besar dan strategis: pengakuan diplomatik tanpa harus mengakhiri pendudukan di Palestina, terbukanya jalur perdagangan baru, serta penguatan posisi geopolitik di Timur Tengah.
Dalam pandangan mereka, Abraham Accords adalah langkah realistis dan pragmatis untuk mencapai stabilitas dan pembangunan ekonomi, sambil pada saat yang sama memproyeksikan kekuatan secara lebih luas.
Terlaksananya perjanjian tersebut tidak bisa dilepaskan dari dukungan AS di era Trump. Pandangan politik sayap kanannya memiliki resonansi dengan pemerintahan konservatif Netanyahu, sedang kecenderungan pragmatisnya memudahkan terjadinya kerjasama dengan negara-negara Teluk, baik terkait energi, investasi dan alih teknologi militer.
Sebagai tanda keseriusannya, pada 2018 (dan diulangi lagi pada 2025) Trump mengambil sikap keras terhadap Iran dengan memberikan “tekanan maksimum” terhadap ekspor minyak Iran dan mundur dari kesepakatan nuklir yang disepakati di era Obama, dalam bingkai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
Sikap dan langkah Trump terkait Abraham Accords tersebut telah memberi keutungan signifikan, terutama bagi AS dan Israel. Langkah tersebut dilakukan demi menyeimbangkan kekuatan AS kembali di Timur Tengah, terutama sejak jatuhnya Yaman (via Houti) dan Irak ke tangan Iran, serta kehadiran Rusia di Suriah (terutama pada masa Bashar al-Assad), dan menguatnya pengaruh Turki pasca lengsernya Asad di Suriah.
Ketika Iran menyerang Israel dengan ratusan drone pada tahap awal konflik Gaza (April 2024), negara-negara Arab ikut ikut mengerahkan sistem pertahanan udara untuk melindungi Israel.
Bagi negara-negara Teluk, perjanjian tersebut membuat mereka merasa lebih “dilindungi” oleh kekuatan politik dan militer AS serta konsiderasi terkait harga minyak di pasar dunia. Abu Dhabi dan Tel Aviv telah meningkatkan kerjasama teknologi, keamanan dan perdagangan dengan Israel. Namun, upaya negara-negara Teluk untuk mendapatkan teknologi militer yang setara dengan yang diterima Israel (misalnya pesawat F-35) belum membuahkan hasil.
AS masih memandang Israel sebagai mitra utamanya, sedang negara-negara Teluk berada di bawahnya.
Kelemahan Etis dan Strategis
Krisis yang terjadi di Gaza sejak Oktober 2023 telah mengubah lanskap politik di kawasan dan bahkan dunia. Pembalasan Israel terhadap Hamas dengan operasi militer telah merenggut puluhan ribu nyawa warga Palestina—dengan jumlah besar terdiri dari perempuan dan anak-anak.
Blokade total dan kehancuran infrastruktur membuat PBB menyebutnya sebagai krisis kemanusiaan terburuk abad ini. Gugatan genosida terhadap Israel di Mahkamah Internasional semakin menguatkan tuduhan bahwa tindakan ini bukan hanya balasan (terhadap Hamas), tapi penghancuran sistematis terhadap satu bangsa.
Peristiwa tersebut memiliki konsekuensi etis dan strategis terhadap Abraham Accords.
Pertama, tidak adanya kartu Palestina telah melemahkan kredibilitas negara-negara Teluk.
Secara etis, menandatangani perjanjian tersebut sama halnya melakukan pembiaran terhadap Israel dalam melakukan pendudukan dan kekejaman di kawasan mereka sendiri.
Dilema etis tersebut dapat berimplikasi serius secara politik, yaitu berkurangnya legitimasi pemerintah di mata rakyat mereka sendiri serta berkurangnya kredibilitas di mata negara-negara lain yang menentang kebijakan Israel di Palestina—terlebih upaya negara-negara Teluk untuk meredam Israel secara diplomatis sejauh ini belum membuahkan hasil.
Kedua, kekejaman yang dilakukan oleh Israel di Gaza telah mendapatkan kritik luas secara internasional, baik oleh warga negara dan secara bertahap oleh pemerintah mereka.
Hal tersebut membuat Israel kian terisolasi secara sosial dan kemudian politik. Upaya Netanyahu dan Trump untuk menduduki Gaza justru kian meningkatkan protes terhadap kebijakan mereka, karenanya semakin memperlemah posisi mereka dalam jangka panjang.
Keputusan beberapa negara di Amerika Latin, Afrika dan bahkan Eropa (terutama Spanyol dan Irlandia) akan membuat Israel semakin terisolasi. Melakukan kerjasama dengannya—sebagaimana inistiatif Abraham Accords justru memberi lebih banyak kerugian daripada keuntungan.
Ketiga, kekejaman Israel terhadap Palestina merupakan bentuk perilaku agresif dan ekspansif demi menduduki wilayah negara lain.
Di samping terhadap Palestina, Israel juga melakukannya terhadap Suriah dengan merebut Dataran Tinggi Golan—dalam Perang Enam Hari yang berlangsung pada 5 – 10 Juni 1967. Perilaku tersebut menunjukkan bahwa Israel berpotensi melakukan hal yang sama terhadap negara-negara lain di sekitarnya, terutama yang lebih lemah secara militer seperti Lebanon, Yordania dan Suriah.
Negara yang berperilaku agresif dan ekspansif memiliki potensi sebagai ancaman. Berhubungan dengannya akan menimbulkan risiko tinggi.
Dalam konteks Abraham Accords, kerjasama ekonomi, teknologi dan militer dapat mengarah pada ketergantungan yang mengakibatkan pengendalian daripada berbagai keuntungan—terutama kertika situasi politik berubah.
Dalam teknologi militer yang sensitif, Israel dapat memberikan fitur belakang untuk mematikan fungsi dari teknologi tersebut—belum lagi ketergantungan dalam perawatan, pelatihan dan suku cadang. Dengan kata lain, Abraham Accords telah membuka langkah politik Israel untuk mengendalikan negara-negara Timur Tengah melalui instrumen hard politics.
Dengan menimbang beberapa hal di atas, Abraham Accords memiliki konsekuensi strategis. Meskipun memberikan keuntungan taktis dalam jangka pendek, parsial dan instrumental bagi pihak yang ikut serta, namun berakibat kerugian strategis dalam jangka panjang, holistik dan fundamental—entah menjadi korban perilaku agresifnya, pembatasan dan pengendalian teknologi militer, ekonomi dan sosial melalui relasi ketergantungan yang timpang.
Dalam situasi krisis, kerjasama dalam Abraham Accords dapat berubah dari semula sebagai “tongkat penunjuk arah” menjadi “tongkat penekan” satu sama lain.
Ilusi Perdamaian
Abraham Accords, dengan menggunakan tonggak monoteisme Ibrahim sebagai semangatnya, dapat menarik simpati pihak-pihak yang memiliki afinitas dengan agama-agama Abrahamik. Namun, sebagaimana semua cita-cita, kalimat normatif dalam Abraham Accords tidak berdiri sendiri, melainkan terhubung dengan konteks politik, ekonomi dan historis di mana kepentingan setiap pihak yang ikut serta dikonstruksi dan diaktualisasi.
Israel, AS, UEA, Bahrain dan Maroko memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Namun, pada saat yang sama, masing-masing menggunakan “nilai Abrahamik” sebagai “payung simbolik” untuk mencapai tujuannya.
Bagi publik Indonesia, misalnya, di mana kampanye perdamaian, pluralisme budaya dan hubungan antar iman dilaksanakan dengan penuh antusias, Abraham Accords secara normatif memiliki resonansi yang sama. Namun, sebagaimana semua metafora, setiap pihak dapat memaknai dengan cara yang berbeda sesuai tujuan dan kepentingannya. Seorang sufi yang sedang jatuh cinta akan menggunakan ajaran agama untuk meningkatkan kesadaran spiritualnya.
Bagi Israel, ajaran Nabi Ibrahim serta semangat pluralisme antar agama justru digunakan untuk memproyeksikan pengaruh, memperluas eskpansi, sambil menekan pihak-pihak yang berseberangan.
Di sini lain, ketika bersikap agresif dan ekspansif, ia segera menggunakan kartu “anti semitisme” sebagai dalih untuk membela diri sambil membenarkan perilakunya.
Mengingat tingginya fragmentasi kepentingan dari pihak-pihak yang terlibat, serta tiadanya pembahasan masalah Palestina sebagai isu utama di kawasan, upaya perdamian yang diusung Abraham Accords berpotensi sebagai ilusi.
Situasi yang terjadi di Gaza sekarang ini, dengan tingginya reaksi internasional, telah membuat Israel semakin terisolasi dari dunia internasional.
Alih-alih menyediakan kanal diplomasi untuk meredam tensi yang tinggi, Abraham Accords justru semakin kehilangan legitimasinya secara moral, serta semakin tidak relevan secara politik.
Sebagaimana semua upaya politik yang dibingkai dengan keindahan normatif—dengan tanpa pertimbangan realistik yang rinci—bahkan bisa membuka medan konflik baru.
Di masa lalu, dilakukan Perjanjian Versailles yang penuh kata-kata indah namun tanpa dukungan kekuatan yang nyata, sehingga kemudian memudahkan dominasi Jerman di Eropa.
Melalui Abraham Accords, Israel telah semakin dominan dan marasa semua kartu telah berada di tangannya, sehingga—sebagaimana Jerman dalam Perang Dunia II—ia melakukan praktik dehumanisasi yang kurang lebih sama.
Perlu Penyeimbang Baru?
Jika kita melihat dari perspektif realis, rentannya konflik di Timur Tengah terjadi karena tidak adanya kekuatan yang mampu mengontrol secara penuh. Aliansi AS, Israel dan negara Teluk memang cukup dominan, tapi Poros Perlawanan (Axis of Resistance) Iran masih memiliki pengaruh yang cukup kuat. Akibatnya, akan selalu muncul konflik proksi yang terjadi secara berkala di negara-negara satelit seperti Lebanon, Yaman, Irak dan Suriah.
Perang yang terjadi di Gaza merupakan “letupan besar” dari konflik periodik tersebut. Respon berlebihan Israel di Gaza adalah sebuah “kepalan tangan” pada Tehran, demikian pula serangan udara yang mereka lakukan terhadap Hizbullah dan Suriah, serta AS pada Houthi di Yaman.
Jika upaya mereka mengalahkan satelit-satelit Iran tersebut berhasil dilakukan, kemungkinan besar akan terjadi perang langsung terhadap Tehran yang akan menjadi bencana besar di Hormuz.
Namun, langkah irasional Israel di Gaza, yang mengembangkan tujuannya untuk pendudukan –lebih jauh dari mengalahkan pengaruh Iran—justru menjadi serangan balik terhadap aliansi ini, mengingat tingginya reaksi internasional yang berakibat pada isolasi terhadap Israel.
Dalam situasi tersebut, AS perlahan harus mengendurkan dukungannya terhadap Israel karena berisiko pada melemahnya dukungan luar negeri (terutama di Afrika, Amerika Latin dan kemudian Eropa) serta stabilitas dalam negeri dengan meningkatnya protes terhadap pemerintahan Trump dan intervensi Israel ke AS.
Dalam situasi tersebut, untuk menjaga keseimbangnnya, negara-negara Arab dapat mendiversifikasi hubungannya pada kekuatan strategis lain yang lebih netral. Kebutuhan dasar mereka terhadap pasar minyak dan alih teknologi bisa dilakukan dengan China—sebagai konsumen utama minyak Arab dan raksasa teknologi baru. Kehadiran Beijing yang lebih kuat dapat menjadi penyeimbang bagi dominasi AS dan Israel.
Terlebih belum lama ini Beijing telah “sukses” mendamaikan friksi Riyadh dan Tehran dengan dibukanya kembali keduatan di ibu kota kedua negara.
Namun, mengundang pemain besar lainnya dalam sebuah kawasan yang sangat terfragmentasi tentu tidak mudah. Alih-alih menjadi penyeimbang, hal tersebut berisiko menimbulkan persoalan baru berupa involusi politik, ekonomi dan keamanan di Timur Tengah.
Jika situasi tersebut terjadi, Timur Tengan akan mengalami paralisis yang lebih dalam, sehingga semakin mempersulit mencapai stabilitas di kawasan.
Salah satu metode untuk mencegah hal tersebut adalah dengan membagi kepentingan dan sumberdaya terhadap kekuatan besar yang ikut bermain. Pengaruh AS yang hampir “holistik” di Timur Tengah (militer, politik, dan ekonomi) perlu dikurangi secara bertahap dengan lebih tersegmentasi (misalnya cukup pada militer), sedang segmen ekonomi dapat dikerjsamakan dengan China—atau kekuatan lainnya. Tentu, AS akan tatap menjaga pengaruhnya dan Beijing tak akan mudah percaya. Namun tepat pada situasi itulah sebuah bangsa sedang diuji kemampuan strategisnya.
Pendekatan realistik tersebut sangat penting dalam membangun dan mencapai perdamaian yang stabil dalam jangka panjang, karena segala aturan yang disepakati—norma dan hukum—membutuhkan dukungan kekuatan agar dapat terlaksana demi mencapai tujuan.
Tanpa itu, aturan-aturan tersebut akan berakhir sebagai prosedur semata, yang kadang justru menjadi dalih untuk memperkeruh situasi. Sebagai sebuah kesepakatan, Abraham Accords tidak lepas dari hukum tersebut.
*Penulis adalah penyair, seniman visual dan peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPH-UI), Jakarta.