Bagaimana tasawuf dipahami sebagai pengetahuan dalam rentang panjang peradaban Islam? Buku ini, merekam dinamika dan sekaligus ketegangan dalam memahami tasawuf, tarekat dan kaitannya dengan ilmu-ilmu lain. Pada beberapa zaman, para sufi bersitegang dengan ahli kalam dan fuqaha (ahli fikih). Sementara, pada periode lain, sufisme bersinergi secara harmonis dengan ilmu-ilmu lain.
Buku ‘Arkeologi Tasawuf: Melacak Jejak Pemikiran Tasawuf dari Al-Muhasibi hingga Tasawuf Nusantara’ (Mizan, 2016) ini mengulas khazanah pengetahuan dan menggali peradaban pengetahuan Islam. Penulis buku ini, Abdul Kadir Riyadi, sebelumnya juga menulis karya awal, berupa Antropologi Tasawuf (2014) dan Fenomenologi Tasawuf (2015).
Arkeologi tasawuf merujuk kepada cara baca terhadap pergerakan ide-ide tasawuf dari satu fase ke fase yang lain.
Dalam catatan Abdul Kadir Riyadi, metode ini meniscayakan bahwa setiap ide—apalagi yang berpotensi menjadi paradigma—selalu mengalami momen transisi. Pada momen tersebut, ide mengalami dinamika, ditimbang-timbang oleh komunitas ilmuan pada masa tertentu, serta kemudian dikemas ulang melalui proses elaborasi, verifikasi dan bahkan falsifikasi.
Menurut penulis buku ini, argumentasi dengan menggunakan metodologi tersebut, akan memberikan tiga konsekuensi ide: (1) Tidak ada ide dalam tasawuf yang usang karena selalu mengalami penyegaran, (2) Tidak ada ide yang tercerabut dari ide induk yang dicetuskan oleh para sufi awal, (3) Ide-ide di dalam tasawuf yang saling tersambung, baik secara genealogis maupun epistemologis membentuk pohon keilmuan, yang disebut discursive formation (hal. 15).
Konfigurasi Gagasan
Melalui buku ini, Abdul Kadir Riyadi berusaha merangkum seluruh pemikiran tasawuf dalam tiap periode, yang gagasannya saling tersambung. Dengan demikian, pemikiran-pemikiran sufi pada tiap zaman, terkoneksi dalam jembatan ide yang dinamis. Penulis buku ini, menganalisa peran sufi serta dinamika pemikirannya pada tiap zaman, di antaranya: Al-Muhasibi, Abu Nasr al-Sarraj, Abu Bakar al-Kalabadzi, Abu Thalib al-Makki, al-Hujwiri, Al-Qusyairi, Al-Harawi, Imam al-Ghazali, Syihabuddin Umar Suhrawardi, hingga Mulla Sadra. Selain itu, Riyadi juga membangun dinamika pemikiran dan konfigurasi gagasan dalam tasawuf Nusantara.
Mengenai al-Muhasibi, Abdul Kadir Riyadi menjelaskan bahwa Al-Muhasibi layak disebut sebagai ‘pembicara resmi untuk zamannya (lisan al-‘ashr). Hal ini, mengutip istilah yang dijelaskan al-Dzahabi, dalam Mizan al-I’tidal. “Al-Muhasibi dalam disebut sebagai poros tengah, yang merangkul fikih, filsafat, kalam dan tasawuf dalam satu wadah. Fikih ia jadikan sebagai landasan atau acuan, kalam sebagai metodologi dan corak narasi, sedangkan filsafat dan tasawuf sebagai gagasan utama yang dikemas dalam psikologi moral” (hal. 33). Dapat dipahami, karena pada zamannya, al-Muhasibi mendapat tantangan untuk mendialogkan ilmu kalam, fikih dan tasawuf agar terkoneksi, tidak saling memunggungi.
Sementara, cahaya tasawuf bersinar terang pada masa Imam al-Ghazali. Penulis buku ini, menyebut bahwa al-Ghazali tergerak untuk menemukan lokomotif dan masinis dalam peradaban Islam, yang sempat hilang. Apa itu lokomotif dan masinis peradaban Islam? Tidak lain, adalah syariat dan akal. Al-Ghazali juga dikenal secara luas hingga kawasan Eropa, karena kekuatan pemikirannya. Ia menghasilkan pemikiran cemerlang dalam bidang tasawuf, dengan pengaruh filsafat. “Al-Ghazali adalah penyambung lidah filsafat dan tasawuf, bahkan kalam dan fikih. Ia pelopor pendekatan multidisipliner,” (hal. 168).
Dalam buku ini, Abdul Kadir Riyadi menggunakan arkeologi tasawuf sebagai perspektif, sekaligus metode. Menurutnya, arkeologi tasawuf memaknai tasawuf sebagai ilmu tentang diri (makrifat), tentang Tuhan (hakikat) dan hubungan antara keduanya. Dalam hal ini, makrifat merupakan jembatan menuju hakikat. Dalam penjelasan lebih lanjut, Abdul Kadir Riyadi menguari enam ajaran tasawuf yang menjadi catatan kaki atas konsep makrifat dan hakikat. Keenam konsep tersebut, yakni (1) ajaran tentang proses penyucian jiwa atau yang lebih luas diwakili oleh teori maqamat (tingkat spiritual) dan ahwal (keadaan spiritual); (2) Ajaran tentang fana’ atau ketiadaan dunia, dan baqa’ atau kekekalan Tuhan; (3) Ajaran mengenai dunia sebagai jembatan menuju akhirat; (4) Ajaran tentang manusia dan alam sebagai tajalli (manifestasi Tuhan); (5) Ajaran mengenai kesatuan wujud; (6) Ajaran mengenai insan kamil, mursyid dan konsep kewalian.
Abdul Kadir Riyadi ingin mengajak pembaca untuk memahami beberapa wacana-wacana tentang tasawuf. Tujuannya, yakni mengenal keberagaman wacana dalam tasawuf, mengetahui bangunan ide tasawuf secara utuh, dan memahami sejarah perkembangan wacana dalam tasawuf.
Pada bagian akhir, penulis buku ini membabar renungan tentang tasawuf Nusantara. Dalam tradisi pengetahuan Islam di Nusantara, nama Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi tersohor sebagai ahli ilmu dan sufi. Ia menulis beberapa kitab penting, di antaranya Maraqi al-Ubudiyyah dan Kasyafat as-Saja. Syaikh Nawawi menulis karya dalam bidang tasawuf, kalam dan fikih tanpa mengesankan adanya persaingan dan ketegangan. Ia menunjukkan sikap santun, dengan menisbahkan kebodohan masyarakat dengan dirinya. Syaikh Nawawi menyandingkan tasawuf dan fikih sebagai pasangan serasi. Melalui karya al-Futuhat al-Madaniyah, Syaikh Nawawi menggabungkan pesan dari karya Ibn ‘Arabi (al-Futuhat al-Makiyyah) dan Jalaluddin as-Suyuthi, dalam kitab al-Syu’ab al-Imaniyyah.
Dengan melacak perkembangan tasawuf Nusantara, penulis buku ini mencoba mengkonstruksi sumbangsih pengetahuan sufi-sufi Nusantara dalam wacana dan pengetahuan tasawuf dunia. Tasawuf Nusantara memiliki posisi penting dalam narasi sufisme dan tradisi pengetahuan Islam dunia.[]
Info Buku:
Abdul Kadir Riyadi | Arkeologi Tasawuf: Melacak Jejak Pemikiran Tasawuf dari Al-Muhasibi hingga Tasawuf Nusantara
Penerbit Mizan, Juli 2016
ISBN : 978-979-433-960-2
*Munawir Aziz, peneliti Islam dan Kebangsaan, bergiat di Gerakan Islam Cinta dan PPM Aswaja