
Dalam pengajian di Masjid Sunda Kelapa, Prof. Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal dan saat ini menjabat sebagai Menteri Agama, mengajak umat untuk berpikir dalam kerangka “sentripetal” dan menghindari pola pikir “sentrifugal”. Dua istilah yang sejatinya berasal dari ranah fisika itu—menunjukkan gerakan menjauhi dan mendekati pusat—diadopsi olehnya untuk menjelaskan dinamika spiritual dan sosial umat manusia.
“Bayangkan titik pusat itu adalah Allah. Semakin dekat seseorang menuju titik tersebut, itu adalah gerakan sentripetal. Sebaliknya, semakin jauh, maka ia sedang bergerak secara sentrifugal—terpental dari pusatnya,” tutur Prof. Nasaruddin.
Menurutnya, dalam konteks kebangsaan yang majemuk seperti Indonesia, cara berpikir sentripetal sangat penting. “Kalau kita melihat agama dari sisi penyatuannya, maka agama berfungsi sebagai kekuatan sentripetal. Tapi kalau kita hanya menekankan perbedaan-perbedaannya, agama justru bisa menjadi faktor sentrifugal yang memecah-belah,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa bangsa ini tidak kekurangan pemikir sentrifugal—mereka yang gemar memecah, memprovokasi, dan menyalakan api perbedaan. Yang dibutuhkan justru sebaliknya: pemikir-pemikir sentripetal, mereka yang mampu menjadi pencerah dan pemersatu. “Seorang pencerah akan berkata: ‘Kamu benar, tapi kamu juga tidak salah.’ Kalimat yang sederhana tapi menyenangkan hati, menyejukkan,” ujarnya.
Dalam konteks keluarga, ia memberi contoh sederhana namun mendalam. Seorang orang tua bisa berkata kepada anaknya yang sedang bertengkar: “Nak, kamu tidak salah, tapi lain kali jangan begitu. Dan Abang, meskipun kamu benar, jangan menyampaikan kebenaran dengan cara yang menyakitkan.” Sebab, lanjutnya, kebenaran yang disampaikan dengan cara yang keliru bisa berubah menjadi sesuatu yang salah. Sebaliknya, hal yang salah pun bisa tampak benar jika disampaikan dengan cara yang santun.
Dari sinilah peran tasawuf menjadi penting. Ia adalah ilmu yang menekankan cara menyampaikan kebenaran dengan benar. Tasawuf bukan tandingan fikih, melainkan pelengkapnya. “Bangsa Indonesia kita ini membutuhkan tasawuf, kalau overdosis fikihnya, terlalu hitam putih jadinya, akibatnya salah menyalahkan, bukan berarti fikih tidak boleh dan tidak benar. Fikih itu sangat penting, tapi kalau Fikih melulu tanpa ada tasawufnya, semuanya ingin benar jadinya. Coba kita lihat di fikih, penuh dengan pertengkaran- pertengkaran, sangat rigid, tapi itu juga diperlukan untuk kepastian hukum. Cuma perlu dibungkus dengan tasawuf, kalau ada tasawuf kita akan berakhlak,” katanya.
Ia mengutip sebuah ungkapan klasik dalam dunia Islam:
مَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ، وَمَنْ تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ، وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ
“Barangsiapa mempelajari fikih tanpa tasawuf, ia bisa menjadi fasik. Barangsiapa bertasawuf tanpa fikih, ia bisa sesat. Dan barangsiapa menggabungkan keduanya, maka ia telah mencapai kebenaran sejati.”
Menurut Prof. Nasaruddin, pendekatan keislaman yang ideal seharusnya dimulai dari akar: tauhid, kemudian baru naik ke batang—syariat dan fikih—lalu berkembang ke ranting, daun, dan buah. Namun dalam praktiknya, umat sering kali langsung memulai dari “daun”, dari hal-hal yang superfisial, tanpa menyentuh fondasi dasarnya. Akibatnya, perbedaan dalam cabang sering menimbulkan pertengkaran, karena akar dan batang sebagai pemersatu tidak dipahami.
“Kita butuh pendidikan agama yang menyeluruh, komprehensif. Bukan hanya menambah jam pelajaran agama di sekolah, tetapi juga memastikan bahwa pengajarnya memiliki wawasan luas, tidak kaku, tidak sekadar menyampaikan apa yang ada di kepalanya semata,” tegasnya.
Ia menekankan pentingnya membangun generasi baru—generasi yang tidak mewarisi cara berpikir penuh konflik dari masa lalu. Generasi yang mampu melihat Indonesia sebagai bangunan besar yang utuh dan sistematis: dari pondasi hingga atap, dari akar hingga buah.
“InsyaAllah, anak-anak kita yang tumbuh sekarang ini, dengan segala kekurangannya, memiliki peluang besar untuk menjadi generasi sentripetal. Generasi yang mendekat kepada Allah, dan menyatukan sesama dalam kasih dan akhlak,” tutupnya dengan penuh harap.