
Dalam sebuah kajian malam Jumat di Masjid Sunda Kelapa, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Menteri Agama sekaligus cendekiawan Muslim Indonesia, mengajak jamaah untuk kembali merenungi hakikat Al-Qur’an. Ceramah malam itu mengangkat satu pokok penting: Al-Qur’an tidak hanya bisa dipahami dari kata-katanya, tapi harus didekati dengan hati yang suci, batin yang bersih, dan cinta yang murni.
Menurut beliau, Al-Qur’an memiliki dua sisi kekuatan atau dimensi. Pertama, sebagai Kitabullah—yakni kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan kini kita pegang dalam bentuk mushaf. Kedua, sebagai Kalamullah—yakni firman langsung dari Allah SWT yang memiliki dimensi spiritual, kedalaman makna, dan daya hidup yang tidak bisa diringkus hanya oleh tulisan.
“Al-Qur’an yang paling tinggi nilai berkahnya adalah ketika ia hadir sebagai Kalamullah. Dan untuk menjangkaunya, manusia harus membersihkan dirinya—baik lahir maupun batin,” kata Prof. Nasaruddin. Ia menekankan, bahwa kesucian diri adalah syarat penting untuk bisa merasakan dan menyerap getaran spiritual dari firman Allah tersebut. Artinya, membaca Al-Qur’an bukan hanya soal membaca huruf demi huruf atau kata demi kata, tetapi soal kesiapan batin untuk menerima kehadiran-Nya.
Dalam ceramahnya, beliau mengingatkan bahwa Al-Qur’an memiliki lapisan-lapisan makna. Ada makna-makna yang bisa langsung dipahami saat kita membacanya. Namun, makna yang lebih dalam tersembunyi di balik teks, dan hanya bisa tersingkap jika kita membuka “lembaran-lembaran” berikutnya dengan kesabaran dan hati yang bersih.
Beliau menjelaskan bahwa proses memahami Al-Qur’an itu seperti membuka kulit bawang. Ketika satu lapis makna telah kita pahami, lapisan berikutnya akan muncul dengan kedalaman yang berbeda. Dan semakin dalam seseorang masuk ke lapisan-lapisan makna ini, semakin kuat pula pengaruh Al-Qur’an terhadap jiwanya. Bahkan menurut beliau, bukan hanya kita yang memahami Al-Qur’an, tapi Al-Qur’an juga bisa memahami kita. Pernyataan ini mungkin terdengar tidak biasa, tapi justru di situlah letak kedalaman relasi spiritual antara manusia dengan wahyu.
“Kita belajar Al-Qur’an bukan hanya supaya kita bisa memahami ayat-ayatnya, tapi supaya Al-Qur’an juga bisa memahami siapa diri kita sebenarnya,” ujarnya. Pernyataan ini membuka cakrawala baru: bahwa hubungan dengan Al-Qur’an adalah hubungan timbal balik. Al-Qur’an bukan benda mati. Ia adalah firman Allah yang hidup, memiliki roh, dan mampu berinteraksi secara spiritual dengan manusia.
Lebih lanjut, Prof. Nasaruddin menekankan pentingnya menyucikan diri sebelum berinteraksi dengan Al-Qur’an. Tidak cukup hanya bersih secara fisik—seperti mengenakan pakaian yang suci atau berada di tempat yang bersih—tapi juga harus bersih niatnya, tenang jiwanya, fokus hatinya. Bahkan gangguan sekecil bunyi notifikasi ponsel pun sebaiknya disingkirkan ketika kita membuka mushaf Al-Qur’an. Ia menyarankan agar pembacaan Al-Qur’an dilakukan dengan perasaan rindu dan hormat, seolah kita sedang berbicara langsung dengan Allah SWT.
Salah satu ayat yang menjadi landasan penting dalam kajian malam itu adalah firman Allah dalam QS. Al-Waqi’ah ayat 79:
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”
Ayat ini, menurut beliau, bukan hanya berbicara tentang kesucian fisik, tapi juga kesucian spiritual. Banyak orang bisa memegang mushaf Al-Qur’an, namun belum tentu mereka bisa “tersentuh” oleh makna Al-Qur’an secara batiniah. Hanya mereka yang disucikanlah yang benar-benar bisa menyentuh makna terdalam dari wahyu tersebut.
Sebagai contoh, beliau mengangkat surah Al-Fatihah. Setiap Muslim hafal surah ini. Kita semua bisa membacanya kapan saja, bahkan dalam salat lima waktu. Tapi tidak semua orang bisa merasakan kedalaman makna yang sama ketika membacanya. Rasulullah SAW sendiri pernah menyebutkan bahwa Al-Fatihah adalah ringkasan dari seluruh Al-Qur’an. Namun dalam pengamalannya, bisa jadi ada orang yang membaca Al-Fatihah dan merasakan efek spiritual yang besar, sementara yang lain membaca ayat yang sama namun nyaris tanpa getaran makna.
Beliau mengibaratkan seperti dosis obat. Sama-sama antibiotik, tapi satu orang minum 25 miligram, satu lagi 500 miligram. Sama-sama membaca Al-Fatihah, tapi kadar pengaruhnya berbeda. Rasulullah hanya membaca sekali untuk menyembuhkan, tapi bacaan beliau begitu padat, penuh makna, penuh keikhlasan dan ruh. Sedangkan kita bisa jadi membaca 100 kali, tapi masih belum cukup karena batin kita belum cukup bersih untuk menangkap daya spiritual dari bacaan tersebut.
Oleh karena itu, Prof. Nasaruddin mengajak jamaah untuk melakukan proses pembersihan batin. Ini bukan hanya ritual, tetapi upaya sungguh-sungguh untuk mengembalikan kejernihan hati. Karena semakin bersih hati kita, semakin mudah kita tersambung dengan kedalaman makna Al-Qur’an.
Di akhir ceramahnya, beliau menggunakan analogi cinta untuk menjelaskan hubungan manusia dengan Al-Qur’an. Cinta bisa diucapkan oleh siapa saja—oleh ibu, ayah, guru, sahabat, atau pasangan. Tapi kualitas cinta itu tidak sama. Cinta seorang ibu kepada anaknya, misalnya, tentu berbeda dengan cinta dari teman atau kenalan biasa. Meskipun sama-sama menggunakan kata “cinta”, maknanya bisa sangat berbeda tergantung siapa yang mengucapkannya dan dengan niat seperti apa.
Begitu pula ketika kita membaca Al-Qur’an. Kata-kata yang kita ucapkan mungkin sama dengan yang diucapkan oleh orang lain. Namun jika cinta yang kita hadirkan kepada Allah dalam bacaan itu lebih tulus, lebih ikhlas, dan lebih dalam, maka efek spiritualnya juga akan lebih kuat. Bahkan, kata beliau, cinta sejati itu tidak memiliki subjek dan objek. Selama cinta itu masih menyebut “aku mencintaimu” atau “aku ingin dicintai”, maka cinta itu belum sampai pada puncaknya.
Begitulah cinta sejati terhadap Al-Qur’an. Ia hadir bukan karena kita ingin mendapatkan sesuatu, tetapi karena kita ingin menyatu dengannya. Karena itulah, Al-Qur’an tidak akan pernah habis untuk dipelajari, tidak akan pernah selesai untuk dicintai, dan tidak akan pernah berhenti menuntun jiwa-jiwa yang bersih.