Dalam kitab Tarikh al–Baghdadiy banyak dikisahkan tentang Imam Abu Hanifah dengan santri kinasihnya Abu Yusuf. Cinta kasih yang diberikan Abu Hanifah sangat besar kepada Abu yusuf. Abu Yusuf adalah sosok murid yang diharapkan oleh imam Abu Hanifah meneruskan perjuangannya dalam menyebarkan ilmu dan agama islam. Hal itu bukan hanya disebabkan oleh kepatuhan dan kesetiaan yang ada dalam diri Abu Yusuf, tapi juga karena kedalaman ilmu yang ada dalam diri Abu Yusuf.
Namun, suatu ketika, Abu Yusuf pernah sakit keras. Abu Hanifah datang menjenguknya. Melihat Abu Yusuf yang terbaring tak berdaya di atas kasurnya, Abu Hanifah berkata, “Aku berharap engkau menjadi imam kaum muslimin sepeninggalku nanti. Sungguh jika orang-orang tertimpa musibah kematianmu, tentu banyak ilmu ikut mati bersamamu.”
Selang tak lama, secara bertahap Abu Yusuf diberikan kesembuhan. Lalu ia diberitahukan oleh orang-orang atas apa yang pernah dikatakan Abu Hanifah saat ia sakit. Lantas ia terangkat jiwanya dan orang-orang pun antusias berguru kepadanya. Ia akhirnya membuat majelis sendiri di bidang fikih.
Karena sibuk mengajar, Abu Yusuf tidak pernah datang lagi ke majlis Imam Abu Hanifah dan tidak belajar lagi kepada Imam Abu Hanifah. Abu Hanifah pun menanyakan tentangnya. Lalu ia diberitahu bahwa Abu Yusuf sudah membuat majlis sendiri. Ia mendengarkan perkataan Abu Hanifah kala ia sedang sakit.
Baca juga: Belajar Toleransi dari Imam Abu Hanifah
Abu Hanifah kemudian memanggil salah satu murid seniornya dan memintanya datang ke majelis Abu Yusuf. Abu Hanifah tidak hanya meminta muridnya itu untuk datang, tetapi juga sekaligus menguji Abu Yusuf.
“Datanglah ke majlis Abu Yusuf lalu tanyakan suatu masalah kepadanya,” ucap Abu Hanifah.
Masalah yang disebut Abu Hanifah itu adalah kisah seseorang yang menyerahkan sehelai pakaian kepada seorang penjahit dengan upah satu dirham untuk dipendekan. Namun selang beberapa hari, si pemilik pakaian tersebut datang akan tetapi penjahit mengingkari janjinya, “Engkau tidak memiliki sehelai barang apapun di tempatku.” Setelah berbohong demikian, si penjahit pakaian datang kepada pemilik pakaian dan menyerahkan baju yang sudah dipotong kepadanya.
Nah, masalah yang ingin ditanyakan kepada Abu Yusuf adalah, “Apakah si penjahit berhak mendapatkan upah?”
Utusan Abu Hanifah pun pergi menemui Abu Yusuf di majelisnya. Lalu menanyakan kepadanya seperti apa yang dikatakan Abu Hanifah. Abu Yusuf menjawab: “Si Penjahit berhak mendapatkan upah.”
Utusan Abu Hanifah pun berkata, “Engkau salah.”
Lalu Abu Yusuf berfikir sejenak, lalu ia berkata sekali lagi, “Ia tak berhak mendapatkan upah.”
“Engkau keliru,” kata utusan Abu Hanifah.
Di saat itu juga, Abu Yusuf langsung beranjak dari majlisnya pergi menemui Abu Hanifah. Abu Hanifah pun menyambutnya dengan berkata, “Engkau pasti datang karena persoalan tukang jahit.” Abu Yusuf berkata, “Betul.”
Abu Hanifah berkata, “Subhanallah! Ada seorang yang duduk memberikan fatwa kepada orang-orang di sebuah majlis dan berbicara tentang agama Allah, namun ia tidak bisa menjawab salah satu persoalan ijarah?!”
Abu Yusuf berkata, “Wahai Imam Abu Hanifah, ajarilah Aku!”
Abu Hanifah lantas berkata, “Jika si penjahit memotong atau memendekan pakaian tersebut sebelum merampasnya. Maka ia berhak mendapatkan upah, karena ia memendekan pakaian untuk pemiliknya. Namun, jika ia memendekkan pakaian setelah ia merampasnya. Maka ia tidak berhak mendapatkan upah, karena ia memendekkan pakaian untuk dirinya sendiri.”
Setelah itu Imam Abu Hanifah berujar kepada muridnya itu, “Sungguh celaka dan bersedih lah orang yang mengira dirinya tidak perlu lagi belajar.”
Wallahu’alam bisshowab