Bolehkah Murid Berbeda Pendapat dengan Guru? Yuk, Belajar dari Imam as-Syafii!

Bolehkah Murid Berbeda Pendapat dengan Guru? Yuk, Belajar dari Imam as-Syafii!

Dalam beberapa hal, kita mungkin berbeda pendapat dengan guru kita, bolehkah hal tersebut dilakukan?

Bolehkah Murid Berbeda Pendapat dengan Guru? Yuk, Belajar dari Imam as-Syafii!

Dalam tradisi keilmuan Islam, kita kerapkali di suguhkan dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Bahkan tidak jarang, perbedaan itu melibatkan guru dan murid, seperti Imam as-Syafi’i (w. 204 H./820 M) dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H./855 M). Dalam iklim akademis, berbeda pendapat dengan guru tentu sangat wajar dan lumrah terjadi, malahan semakin menjadikan keilmuan di dunia Islam terus berkembang.

Beberapa perdebatan yang terjadi, misalnya, persoalan (hukum) tartib dalam berwudlu. Pendapat Imam as-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal sepakat bahwa hukumnya wajib, harus sesuai urutan dari wajah hingga membasuh kedua kaki. Sementara menurut Imam Maliki dan Abu Hanifah tidak wajib, hanya sunah, artinya boleh membasuh kedua tangan sebelum mengusap wajah.

Dalam literatur fikih konvensional, perdebatan semacam ini banyak kita temukan, tidak aneh! Padahal antara Imam Malik dan As-Syafii adalah guru dan murid, tapi mereka bisa berbeda pendapat.

Bahkan dalam sejarah perkembangan hukum Islam, seperti dikemukakan oleh K.H Hasyim Asy’ari, juga tidak lepas dari perdebatan (baca: fatwa hukum) yang melibatkan banyak kalangan. Seperti Abu Hanifah (w. 148 H/767 M) dan Imam Malik (w. 179 H/800 M), yang dalam sejarahnya berbeda pendapat lebih dari 14.000 fatwa, baik dalam ubudiyyah atau muamalah.

Selain itu, perbedaan yang terjadi terkadang menyisahkan teladan bagi generasi setelahnya. Seperti kisah Imam Syafi’i ketika berziarah di pusara gurunya, Imam Abu Hanifah. Ketika itu, selama lebih dari sepekan beliau melewati hari-harinya dengan beribadah dan berulangkali menghatamkan Al-Qur’an, yang kemudian pahalanya ditunjukan pada gurunya.

Selama itu pula, tiap kali shalat subuh beliau tidak pernah membaca doa qunut. Seperti diketahui dalam madzhab Syafi’i di sunahkan doa qunut setiap shalat subuh, sementara madzhab Hanafi kebalikannya, tidak sunnah. Hal ini terus beliau lakukan, hingga sekembalinya dari berziarah. Salah satu muridnya mencoba untuk mengonfirmasi tindakan yang beliau lakukan. Ia berujar:

لماذا لم تقنت في مدة إقامتك في قبته

“Kenapa engkau tidak melakukan doa qunut selama berada di pusara gurumu (Imam Abu Hanifah).”

لأن الإمام أبا حنيفة لايقول بندب القنوت في صلاة الصبح، فتركته تأدبا معه

“Sebab imam Abu Hanifah tidak pernah mengatakan kesunahan doa qunut ketika shalat subuh, maka aku pun tidak melakukannya, sebagai bentuk hormat (adab) pada beliau,” jawab Imam Syafi’i.

Demikianlah sikap imam Syafi’i, kendati dalam banyak hal berbeda pendapat dengan gurunya, tidak lantas mengabaikan etika (adab). Beliau tetap menaruh hormat, dengan siapapun termasuk Abu Hanifah, sekalipun ketika itu gurunya telah tiada (wafat).

Dari kisah Imam as-Syafii tersebut kita bisa mengambil teladan bahwa perbedaan pendapat antara guru dengan murid adalah hal yang lumrah dalam dunia akademis, namun tetap harus mengedepankan adab dan rasa hormat kepada guru. (AN)

Waallahu a’lam.