Dahulu, di masa Abu Hanifah, hiduplah seorang laki-laki yang sangat kaya dan memiliki seorang anak perempuan. Ia adalah seorang muslim. Di sisi lain, ia juga terkenal sangat membenci Sayidina Utsman bin ‘Affan r.a.
Bahkan kebenciannya itu tak segan ia proklamirkan ke khalayak ramai. Karena begitu bencinya, laki-laki ini sampai mengatakan, “Utsman bin ‘Affan adalah seorang Yahudi.” Astaghfirullah.
Kabar kebencian laki-laki kepada Utsman ini pun akhirnya didengar juga oleh Imam Abu Hanifah. Ia lantas memanggil laki-laki ini.
Sementara, di belahan bumi lain sana, hiduplah seorang Yahudi yang memiliki anak laki-laki. Si Yahudi ini, selain kaya juga memiliki jabatan mentereng.
Ketika Abu Hanifah sudah bertatap muka dengan si pembenci Utsman, ia berkata, “Seorang Yahudi yang kaya raya dan berpangkat itu ingin melamar anak perempuanmu untuk dinikahkah dengan anak laki-lakinya.”
Mendengar lamaran yang disampaikan langsung oleh Abu Hanifah ini, si laki-laki pembenci Utsman menjadi panas dingin. Antara sedih, cemas, dan marah, semuanya jadi satu. Tubuhnya pun sampai gemetaran. Ia sangat tidak menyangka atas apa yang diucapkan seorang Abu Hanifah barusan.
“Wahai imam besar umat Islam, bagaimana ini, masak anak perempuan dari seorang muslim dilamar oleh laki-laki anak seorang Yahudi. Bagaimana mungkin?” tanya si pembenci tak percaya.
Abu Hanifah tak menjawab pertanyaan yang diajukan laki-laki ini. Namun ia justru membalasnya dengan sebuah pertanyan juga.
“Subhanallah, engkau tidak memperbolehkan dan tidak merestui anak perempuanmu dinikahi anak seorang Yahudi,” kata Abu Hanifah.
“Lantas, bagaimana mungkin engkau memperbolehkan dan merestui anak perempuan Nabi dinikahi oleh seorang Yahudi?” kata Abu Hanifah menambahkan.
(Seorang Yahudi yanng dimaksud oleh Abu Hanifah tentu saja adalah Utsman bin ‘Affan. Tentu, kita bisa memahami bahwa apa yang dikatakannya ini adalah kalimat sindiran kepada laki-laki pembenci Utsman itu).
Si pembenci sayyidina Utsman bin ‘Affan ini pun akhirnya sadar. Ia mengakui bahwa ia telah salah dalam berakidah. Akhirnya, ia pun kembali ke akidah yang benar dan tidak lagi memusuhi Utsman. Alhamdulillah.
Dari kisah yang termaktub dalam kitab Tadzkirah al-Auliya’ karangan Fariduddin al-Attar di atas kita bisa belajar banyak hal. Salah satunya adalah tentang keharusan seorang juru dakwah (ulama, dai, ustadz, dan yang lainnya) untuk memiiki argumentasi ilmiah dan kemampuan menyampaikannya dengan bahasa yang mudah diterima obyek dakwah.
Meski juga harus diakui bahwa argumentasi ilmiah dan keterampilan menyampaikan ini pasti berbeda-beda dalam mempraktekkannya (menyesuaikan siapa pendengarnya). Tidak bisa di-gebyah uyah. Hal ini karena setiap orang tak sama kemampuannya dalam memahami informasi.
Terlepas dari itu semua, menurut penulis, jika apa yang disampaikan itu bisa dibuat gampang, tak pantas dan akan menjadi hal yang mubadzir jika dibuat sulit.
Dalam kisah di atas kita bisa membaca bagaimana keahlian dan kepiawaian seorang Abu Hanifah meyakinkan orang yang telanjur membenci sahabat Nabi. Hanya dengan beberapa kalimat saja, si pembeni bisa sadar dengan apa yang telah ia alami selama ini.
Berdakwah, dengan segala caranya (lisan, tulisan, atau yang lainnya), harus dikemas dengan kemasan yang menarik dan memikat.
Prof. Quraish Shihab, dalam salah satu pengajiannya, mengatakan berdakwah itu adalah mengajak orang memperoleh hidayah. Kata hidayah, lanjutnya, seakar dengan kata hadiah (dibungkus dengan rapi, barangnya bagus, diberikan dengan sopan, dan lain-lain). Oleh karenanya, berdakwah harus pula dilakukan dengan cara yang menarik dan indah.
Dan, salah satu cara agar dakwah yang dilakukan bisa menarik dan indah adalah dengan mennyampaikannya dengan menggunakan bahasa yang mudah, tegas, logis, dan argumentatif.
Saya jadi teringat penuturan Gus Baha ketika menjelaskan cara agar seseorang menjadi ikhlas. Menurut penulis, pemaparannya sangat mudah dipahami, bahkan oleh orang awam seperti penulis ini.
Inti dari penjelasannya itu begini, “Jika kita meyakini dan merasa apapun yang kamu miliki itu adalah pemberian dari Allah (hanya titipan), maka kita akan mudah dan ringan ketika memberikannya kepada orang lain.”