Kisah Islami: Teladan Seorang Pemimpin yang Selalu Melayani Umat

Kisah Islami: Teladan Seorang Pemimpin yang Selalu Melayani Umat

Kisah Islami: Teladan Seorang Pemimpin yang Selalu Melayani Umat
Ilustrasi seorang syekh sufi yang mengajari para muridnya.

Abdullah ar-Ribathi sedang melakukan perjalanan ke Mekkah. Hari itu, ia mampir di Baghdad dan bertemu Mush’ab bin Ahmad. Mengetahui maksud dan tujuan Abdullah,  Mush’ab pun tertarik untuk ikut dalam rombongan.

Ia mengutarakan keinginan itu kepada Abdullah. Namun, ibarat cinta bertepuk sebelah tangan, Abdullah tak setuju dan tak berkenan perjalanannya saat itu diikuti Mush’ab.

Tahun berikutnya, Abdullah ke Mekkah lagi. Sama seperti sebelumnya, ia juga mampir di Baghdad.  Kala itu, Mush’ab tak berkata bahwa ia ingin pergi bersama. Baru pada tahun ketiga, saat  Abdullah mampir lagi ke Baghdad, Mush’ab mengutarakan bahwa ia ingin ikut pergi bersama Abdullah.

Kali ini, gayung bersambut. Keingian Mush’ab di-ACC Abdullah. Namun dengan sebuah syarat, “Aku setuju kamu ikut bersamaku. Namun ada syaratnya. Dalam perjalanann ini, salah satu dari kita harus ada yang menjadi pemimpin dan perintahnya tak boleh ditentang.”

Mush’ab menyetujui, “Baiklah kalau begitu. Saya setuju engkau yang menjadi ketua”.

Abdullah merasa keberatan. Ia menolak tawaran itu dan lebih memilih agar Mush’ab yang menjadi ketua rombongan perjalanan. Namun, lagi-lagi Mush’ab lebih memilih untuk menjadi orang yang dipimpin saja. Ia menyatakan bahwa lebih pantass bila Abdullah-lah yang menjadi pemimpin, “Engkau saja yang menjadi pemimpin. Engkau lebih pantas.”

“Oke kalau begitu. Tapi ingat, engkau jangan sampai menentang perintahku,” jawab Abdullah mengingatkan.

Mereka akhirnya melakukan perjalanan dari Baghdad menuju Mekkah. Di perjalanan itu, ketika waktu makan tiba, maka Abdullah lebih mendahulukan dan memprioritaskan Mush’ab.

Mush’ab tak enak hati diperlakukan istimewa seperti itu. Ia menolak. Namun, Abdullah tak kehabisan akal agar pelayananya tetap diterima. Ia berkata, “Bukankah ada syarat di awal, perintah pemimpin tak boleh ditentang?”

Perlakuan Abdullah yang sangat istimewa kepada Mush’ab itu membuatnya menyesal, kenapa ia ikut pergi bersama Abdullah. Pasalnya, dengan pergi bersama Abdullah, justru Mush’ab merasa telah membuat Abdullah kerepotan.

Hingga suatu hari, di tengah perjalanan, hujan turun dengan begitu lebat. Abdullah menyuruh Mush’ab untuk mencari tonggak pal, “Wahai Mush’ab, carilah mail (batu yang menjadi tanda tiap-tiap mil)!”.

Mush’ab pun berangkat mencari dan akhirnya mendapatkannya. Abdullah lantas menyuruh Mush’ab untuk duduk di bawah. Abdullah membentangkan kain selimut di atas Mush’ab agar tak kehujanan. Dengan posisi agak membungkuk dan berpegangan pada mail tersebut.

Pelayanan Abdullah saat itu semakin membuat Mush’ab merasa bersalah karena telah ikut pergi bersamanya. Bahkan, pelayanan itu terus berlanjut sampai mereka berdua tiba di Mekkah.

***

Dari kisah di atas, kita bisa belajar tentang kepemimpinan. Dalam suatu perkumpulan, baik dua orang atau lebih, sebaiknya ada seorang yang bertugas dan diangkat sebagai pemimpin. Hal ini bertujuan agar perkumpulan tersebut memiliki arah yang jelas. Juga, ketika ada konflik, maka akan ada orang yang bisa menengahi.

Selain itu, kisah di atas juga membuat kita paham bagaimana hendaknya sikap seorang pemimpin dan yang dipimpin.

Seorang pemimpin adalah pelayan umat yang dipimpinnya. Ia harus selalu melayani mereka dan tak pernah terbesit keinginan sedikit pun untuk dilayani. Ia harus berusaha sekuat tenaga agar umat yang dipimpinnya bisa hidup dengan sejahtera.

Begitu juga dengan yang dipimpin. Ia harus taat selalu taat kepada pemimpin. Tentu selama perintahnya tak bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Pasalnya, menaati pemimpin adalah perintah Allah. Bukankah pemimpin itu untuk ditaati?.

Terlepas dari menjadi apa (pemimpin atau yang dipimpin), yang terpenting adalah menyadari posisi masing-masing. Dengan demikian, maka suatu organisasi/lembaga/negara akan tumbuh dengan baik. Wallahu’alam.

Sumber Kisah:

Al-Jauzî, Jamâluddîn Abi al-Farj bin. ’Uyûn Al-Hikâyat. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2019.