Kisah Sahabat Nabi Muhammad: Tsauban, Seorang Rewang yang Gemar Memandangi Kanjeng Nabi SAW dengan Diam-Diam

Kisah Sahabat Nabi Muhammad: Tsauban, Seorang Rewang yang Gemar Memandangi Kanjeng Nabi SAW dengan Diam-Diam

Saking cinta dan sayangnya Tsauban, jikalau Kanjeng Nabi SAW sedang tak berada di Madinah, misal bepergian jauh dan lama, Tsauban merasa sangat sedih.

Kisah Sahabat Nabi Muhammad: Tsauban, Seorang Rewang yang Gemar Memandangi Kanjeng Nabi SAW dengan Diam-Diam
Ilustrasi: @artsgaf/alwy (islamidotco)

Selain Anas bin Malik yang sejak umur 10 tahun telah menjadi abdi bagi Kanjeng Nabi Muhammad SAW, juga Abdullah bin Mas’ud yang melayani Beliau SAW, Kanjeng Nabi SAW juga memiliki sejumlah rewang lain yang amat mencintai beliau SAW. Namanya adalah Tsauban.

Saking cinta dan sayangnya Tsauban, jikalau Kanjeng Nabi SAW sedang tak berada di Madinah, misal bepergian jauh dan lama, Tsauban merasa sangat sedih. Kesedihannya yang luar biasa ini dikarenakan ia tak lagi bisa menatap, memandang, dan menakjubi wajah Kanjeng Nabi SAW dengan sepuas-puasnya dalam diam-diam.

Ya, betul, Tsauban yang merasa hanya rewang, abdi, mengekspresikan semua rasa cinta dan sayangnya kepada Beliau SAW dengan cara diam-diam.

Ia memilih tidak dekat-dekat secara fisik dengan Beliau SAW, selayaknya para sahabat terkemuka lainnya yang biasa berkumpul dan bermuwajahah. Ia memilih di posisi berjarak dengan Beliau SAW, dengan memendam ekspresi-ekspresi cinta yang luar biasa.

Jika ia tak menemukan dan melihat Kanjeng Nabi SAW, betapa sedih hatinya; jika Kanjeng Nabi SAW berada di dekatnya, sekitarnya, ia memilih menatapi dan memandangi Beliau dari jarak tertentu.

Suatu hari, Tsauban menangis dan diketahui oleh Kanjeng Nabi SAW. Beliau lalu bertanya, “apa gerangan yang membuatmu menangis, Tsauban?”

Tsauban menceritakan bahwa ia sungguh menyadari di suatu waktu pastilah waktu berpisah dengan Kanjeng Nabi SAW karena kematian akan terjadi. Entah dirinya sendiri yang mendahului Kanjeng Nabi SAW ataukah sebaliknya.

Tsauban meneruskan, betapa ia pun sungguh menyadari bahwa Kanjeng Nabi SAW sebagai kekasih Allah Ta’ala jelaslah akan masuk surga tertinggi, dan belum tentu dengan dirinya sendiri. Jikapun ia beruntung mendapatkan karunia surga dari Allah Ta’ala, tentulah ia takkan bisa berkumpul di surga teragung bersama Kanjeng Nabi SAW. Itu artinya ia takkan bisa leluasa lagi menatapi, memandangi, dan menakjubi Kanjeng Nabi SAW dengan sepuas-puasnya sebagaimana di dunia ini.

Kanjeng Nabi SAW tersenyum.

Tsauban lalu memohon kepada Kanjeng Nabi SAW agar didoakan untuk masuk surga, walaupun derajat surganya tidak sama dengan surga Beliau SAW.

Kanjeng Nabi SAW bersabda, “Wahai Tsauban, aku akan mendoakanmu, dan bantulah aku dengan amal-amal salehmu.”

Tak dinyana, turunlah surat Al-Maidah ayat 69 ini:

Dan siapa yang patuh kepada Allah Ta’ala dan RasulNya Saw, maka mereka akan bersama dengan orang-orang yang telah dikaruniai nikmat oleh Allah Ta’ala dari golongan nabi-nabi, para shiddiqin, para syuhada’, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baiknya teman.

Sungguh betapa girangnya Tsauban tatkala Kanjeng Nabi SAW membacakan ayat tersebut kepadanya. Bukan alang kepalang girang bahagianya! Sebab itu berarti jaminan baginya yang amat sangat mencintai, menyayangi, dan mentaati Kanjeng Nabi SAW–tentu pula Allah SWT—untuk bisa terus berkumpul bersama Kanjeng Nabi SAW; dan itu pula berarti, ia akan terus bisa puas leluasa menatapi, memandangi, dan menakjubi wajah Kanjeng Nabi Saw di akhirat kelak….

Dalam riwayat lain, hal sejenis juga terjadi pada seorang Ahlus Shuffah yang fakir, yakni Rabi’ah bin Ka’ab. Ia memohon kepada Kanjeng Nabi SAW agar didoakan bisa berkumpul sebagai teman Beliau SAW di surga kelak.

Kanjeng Nabi SAW pun mendoakannya dan bersabda, “Wahai Rabi’ah, bantulah aku dengan sujud-sujudmu.”

Perhatikanlah, betapa sungguh sangat pentingnya amal-amal ibadah itu….