Suatu hari, Abu Hanifah bekerjasama dalam urusan bisnis dengan salah seorang lelaki. Dalam bisnis itu, Abu Hanifah mengutus lelaki tersebut untuk menjualkan baju-baju sutera miliknya yang berjumlah tujuh puluh potong baju.
Sebelum si lelaki tersebut berangkat, Abu Hanifah mengatakan kepadanya bahwa di salah satu baju yang akan ia jual itu, ada satu baju yang memiliki kekurangan/cacat. Baju itu adalah pesanan si Fulan.
Tak lupa, Abu Hanifah juga memerintahkan lelaki tersebut, agar ketika ia menjualnya atau mengadakan transaksi dengan si fulan, hendaknya ia juga menyebutkan dan menjelaskan bahwa ada kekurangan/catat dalam baju itu.
Hingga akhirnya, si lelaki tersebut berhasil menjual seluruh baju itu dan menghasilkan uang sebanyak tiga puluh ribu dirham. Namun sayangnya ia lupa menjelaskan adanya kekurangan/cacat dalam salah satu baju itu, sebagaimana perintah Abu Hanifah.
Lelaki itu pun membawa hasil jualan itu kepada Abu Hanifah dan menyerahkannya. Abu Hanifah bertanya, “apakah engkau telah jelaskan tentang adanya kekurangan/catat dalam salah satu baju itu?”
“Aku lupa menjelaskannya,” jawab si lelaki itu.
Mendengar jawaban itu, Abu Hanifah pun akhirnya menyedekahkan seluruh hasil dari jualan itu. Subhanallah.
Kisah di atas penulis baca dalam kitab al-Nawadir, karya Ahmad Shihabuddin bin Salamah al-Qulyubi. Dalam kitab ini, kisah di atas diberi judul “Wira’i dan Menjaga untuk Tidak Berbuat Curang dalam Jual Beli”.
Dari kisah di atas, kita bisa belajar betapa pentingnya kejujuran dalam setiap transaksi bisnis yang dilakukan. Kita tentu tidak dituntut berlaku sama persis seperti yang dilakukan Abu Hanifah yang menyedekahkan seluruh hasil jualannya meski yang “bersalah” hanya satu baju saja.
Dalam pandangan penulis, untuk ukuran orang sekarang, jika kasus yang terjadi sama persis seperti kisah di atas, maka menyedekahkan uang/barang yang nilainya sama dengan harga satu baju saja sudah lebih cukup. Pasalnya, kita juga sudah “kehilangan” modal awal untuk membeli baju tersebut.
Dalam jual beli harus ada transparansi, sehingga tidak ada satu pun pihak yang dirugikan. Jika memang ada kekurangan, hendaknya dijelaskan secara detail ketika akad terjadi. Sehingga calon pembeli bisa memilih untuk melanjutkan atau membatalkan jual beli tersebut
Terlebih, di zaman yang serba online sepereti sekarang ini. Diperlukan kehatian-hatian tingkat tinggi agar kita tidak menjadi korban. Pasalnya, antara penjual dan pembeli tidak bertatap muka dan hanya mengetahui deskripsi barang lewat tulisan, foto, atau video. Calon pembeli harus lebih selektif dalam memilih penjual.
Diriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwa Nabi pernah melewati orang yang menjual setumpuk makanan. Lalu beliau memasukkan tangannya ke adalam tumpukan makanan itu, ternyata tangan beliau mengenai makanan basah di dalamnya. Kemudian beliau bertanya kepada orang itu, “Mengapa ini basah wahai penjual makanan?. Orang itu menjawab, “Makanan yang di dalam itu terkena hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa tidak kamu letakkan di atasnya supaya diketahui oleh orang yang akan membelinya?. Barangsiapa menipu, maka dia bukan dari golonganku.” (HR Muslim)
Mengapa kita tidak boleh berbuat curang dalam jual beli (dan hal lainnya)? Karena akan bisa melukai orang lain dan karenanya juga akan mengubah status harta atau laba yang kita dapatkan. Allah Swt. berfirman:
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu” (QS. Al-Baqarah [2]: 168)
Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi (Syekh Nawawi Banten) dalam kitab tafsir Marah Labid menyebutkan bahwa yang “makanan yang halal dan baik” adalah makanan yang mubah yang tidak ada hubungannya dengan hak-hak orang lain.
Ketika seseorang berbuat curang dalam bisnisnya, maka ia sedang mengambil harta orang lain secara batil dan tanpa restu pemiliknya. Harta yang demikian adalah harta yang tidak halal digunakan/dikonsumsi, meskipun secara bentuk fisik bukan makanan yang terlarang dimakan. Wallahu a’lam.