Merayakan maulid Nabi masih terus menjadi perdebatan sampai sekarang. Sebagian mengatakan hukumnya haram karena masuk dalam kategori bid’ah, dan tidak sedikit pula ulama yang mempertahankan dan menguatkan kebolehan perayaan maulid Nabi.
Perdebatan ini dapat dimengerti terus terjadi dari waktu ke waktu, sebab tidak pernah dilakukan di masa Rasulullah, tidak ada dalil spesifik yang menganjurkan kebolehannya, dan tidak ada satu pun juga dalil spesifik yang melarangnya. Sehingga persoalan ini masuk dalam ranah hukum yang diperdebatkan. Dalam hal ini, kita tidak boleh egois, merasa benar sendiri, dan tetap mengedepankan semangat untuk menghargai pendapat yang berbeda.
Imam al-Suyuthi menulis risalah kecil tentang maulid Nabi. Judulnya, Husnul Maqsid fi ‘Amalil Maulid. Pada bagian awal kitab ini, beliau menjelaskan buku ini ditulis untuk mengetahui hukum maulid menurut syariat, apakah masuk dalam kategori perbuatan yang baik atau buruk, diberi pahala atau tidak pada saat melakukannya?
Dalam pandangan Imam al-Suyuthi, maulid Nabi yang identik dengan orang berkumpul membaca al-Qur’an, riwayat tentang Nabi, sedekah, berbagi makanan, dan seterusnya, dapat dikategorikan sebagai bid’ah hasanah, sesuatu yang baru dan bagus, di mana orang yang melakukannya diberi pahala oleh Allah SWT, sebab memuliakan Nabi SAW dan bahagia atas hari kelahirannya.
Imam al-Suyuthi mengutip pendapat Imam al-Nawawi yang membagi bid’ah menjadi dua macam: bid’ah hasanah dan qabihah. Juga mengambil pendapatnya Syekh Izzuddin bin Abdul Salam yang mengklasifikasikan bid’ah dalam lima kategori: wajib, haram, sunnah/mandub, makruh, dan mubah. Berdasarkan kategori ini, maulid Nabi dimasukkan ke dalam klasifikasi biud’ah mandhubah, atau yang disunnahkan, disamakan hukumnya dengan membangun sekolah, pengajian, dan amalan baik lain yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah SAW.
Beliau juga menambahkan dengan kategorisasi Bid’ah yang dibuat Imam Al-Syafi’i, yaitu bid’ah dhalalah, perbuatan baru yang bertentangan dengan al-Qur’an, sunnah, dan ijma’, dan bid’ah ghairu dhalalah/madzmubah, perbuatan baru yang tidak pertentangan dengan sumber hukum Islam tersebut.
Kendati Nabi SAW tidak menjelaskan secara langsung bahwa bulan Rabiul Awal adalah bulan yang mulia, semisal bulan Ramadhan, Rajab, Muharram, dan lainnya, namun beberapa ulama tetap menganggap bulan ini sebagai bulan yang mulia, karena Nabi Muhammad dilahirkan pada bulan itu. Karenanya, dianjurkan untuk memperbanyak perbuatan baik dan mengurangi maksiat atau perbuatan buruk.
Kenapa bulan Rabiul Awal tetap dimuliakan dengan memperbanyak amal baik padahal Nabi tidak menjelaskan kemuliaannya secara langsung? Alasan pertamanya, sekalipun tidak ada dalil spesifiknya, tetapi Nabi Muhammad SAW pernah bersabda tentang alasan puasa hari senin, beliau menjawab, “Karena pada hari ini saya dilahirkan.” Sebagian ulama mengambil kesimpulan, Nabi ibadah puasa pada hari kelahirannya, artinya kita sebagai umatnya Nabi Muhammad juga dianjurkan untuk melakukan banyak ibadah pada hari dan bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Kedua, dalam hadis riwayat Bukhari-Muslim, Nabi SAW ketika sampai di madinah bertemu dengan orang Yahudi yang sedang puasa Asyura. Nabi bertanya alasannya, dia menjawab, “Pada hari ini fir’aun ditenggelamkan dan musa diselamatkan, makanya aku puasa sebagai rasa syukur.” Sejak itu, Nabi SAW puasa Asyura karena menganggap umat Islam tentu lebih pantas untuk bersyukur atas diselamatkannya Nabi Musa.
Dengan demikian, memperbanyak ibadah pada hari atau bulan tertentu karena di dalamnya terdapat peristiwa agung dibolehkan di dalam agama selama tidak bertentangan dengan syariat. Karena itu, merayakan maulid dibolehkan sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia atas kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, Abu Lahab diringankan azabnya pada hari senin, karena pada hari itu dia pernah bahagia dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Saking bahagianya, dia memerdekakan Tsuwaibah. Kalau Abu Lahab yang semasa hidupnya saja diberi keringanan karena dia pernah bahagia dengan kelahiran Nabi SAW, apalagi dengan umat Nabi Muhammad yang hidup dalam keadaan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.