Biografi as-Suyuthi: Yatim Piatu yang Menjadi Ulama Tersohor

Biografi as-Suyuthi: Yatim Piatu yang Menjadi Ulama Tersohor

As-Suyuthi bukanlah orang yang berkecukupan, ia ditinggal mati oleh orang tuanya, namun bisa berkembang.

Biografi as-Suyuthi: Yatim Piatu yang Menjadi Ulama Tersohor
Makam Imam as-Suyuhi di Mesir

Jika ingin mencari suri tauladan yang tekun dan istiqamah mencari ilmu, akademisi murni di beberapa abad yang lalu, maka figurnya adalah Imam Jalaluddin As-Suyuthi, seorang ulama yang lahir pada tahun 1445 M / 849 H. Semua sepak terjang dalam kehidupannya hanya untuk ilmu dan ilmu. Ia tidak pernah tergiur pada bisnis, politik dan kegaduhan aliran-aliran.

Nama lengkapnya adalah Jalaluddin Abul Fadl Abdurrahman bin Al-Kamal Abi Bakar bin Muhammad bin Sabiquddin bin Utsman bin Muhammad bin Khadir bin Ayyub bin Muhammad bin Syekh Himamuddin al-Hadiri As-Suyuthi Asy-Syafi’i. Ia dilahirkan pada permulaan bulan Rajab di bagian timur kota Mesir, tepatnya di kota Hudairiyah. (Syekh Jalaluddin As-Suyuthi, Muqaddimah Nuzulur Rahmah fit Tahaddust bin Nikmah, [Maktabah Darul Wafa’, Mamlakah Arabiyah, 1987], halaman 10).

Nama As-Suyuthi bukanlah nama asing di kalangan akademisi mulai dari beberapa abad setelah kelahirannya sampai saat ini, bahkan sampai hari kiamat yang akan datang, namanya tidak akan pernah hilang. Hanya saja, ulama terkemuka dan tersohor di antara ulama-ulama klasik ini, juga memiliki cerita yang tidak kalah heroik, dramatis, dan sangat histeris. Kisah kegigihannya dalam mencari ilmu merupakan sejarah kepahitan dan penuh kesedihan.

Di balik kontribusinya yang sangat besar pada berkembangnya ilmu-ilmu Islam, ternyata sosok seperti Imam As-Suyuthi tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ia harus rela dan ikhlas ditinggalkan ayahnya ketika menginjak usianya yang kelima tahun lebih tujuh bulan. As-Suyuthi kecil hidup berdua dengan ibundanya. Sejak saat itu, kehidupan As-Suyuthi dengan ibunya sangat sederhana dan serba pas pasan.

Sejak saat itu, bocah yang masih sangat kecil itu harus bisa menuntun dirinya sebagai anak yang mandiri, tidak selalu berpangku tangan kepada ibunya dan keluarganya yang lain. Dengan penuh kesederhanaan, hari-harinya ia nikmati dengan kehidupan yang jauh dari kata cukup. Bahkan, tak sesekali As-Suyuthi tidak makan disebabkan tidak adanya makanan.

Meski demikian, Imam As-Suyuthi tetap mempunyai semangat belajar yang tinggi dan keinginan yang menggelora dalam jiwanya. Ia belajar dengan tekun dan istiqamah, berbagai ilmu ia lahap satu persatu. Tidak adanya senyuman manis dan semangat sang ayah tidak membuatnya patah semangat. Sejak masih kecil, ia selalu belajar. Kegigihan dan keseriusannya dalam menuntut ilmu sangat luar biasa.

Masa mudanya dihabiskan untuk mendalami berbagai cabang ilmu, seperti fiqih, hadis, tafsir, dan lainnya. Semua ini bisa dilihat dari buah karyanya yang sangat banyak. Bahkan, menurut Syekh Ibrahim Asy-Syaibani, kitab-kitab karangan Imam Suyuthi mencapat 980, mulai dari kitab-kitab kecil yang hanya memuat penjelasan secara ringkas dan padat, sampai kitab-kitab yang sampai berjilid-jilid.

Pada mulanya, Imam As-Suyuthi belajar ilmu pada Syekh Syamsu As-Sairami. Di antara kitab yang dibacanya adalah Alfiyah Ibnu Malik, karya monumentalnya Imam Ibnu Malik. As-Suyuthi juga mempelajari beberapa cabang-cabang ilmu yang lain, seperti kitab Sahih Muslim, Manhajuth Thalibin, karangan Imam Nawawi, dan kitab Manhaj karangan Imam Al-Baidhowi. Pembelajaran itu ia mulai tepatnya pada permulaan bulan Rabiul Awal tahun 864. Tidak hanya itu, As-Suyuthi sukses menjadi hafidz (orang yang menghafal Al-Qur’an) pada umurnya yang masih sangat relative muda, tepatnya pada umur 8 tahun. (As-Suyuthi, Muqaddimah Nuzulur Rahmah fit Tahaddust bin Nikmah, 1987, halaman 10).

Rihlah yang ditempuh oleh Imam As-Suyuthi sebagai sosok yang haus akan ilmu, bukanlah perjalanan yang gampang, cobaan demi cobaan selalu berdatangan, berbagai rintangan selalu menghampirinya, apalagi masalah finansial, sama sekali ia tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai hidupnya sendiri ketika mencari ilmu.

Ia lebih suka kelaparan tanpa makan daripada rasa haus akan ilmu yang tak kunjung ia dapati. Tidak ada dalam kamusnya kata ‘kaya materi’. Ia hanya fokus pada targetnya akan kekayaan pengetahuan dan keilmuan. Kondisi ekonomi yang kurang beruntung tidak lantas menyurutkan semangatnya untuk menjadi pengembara sejati dalam mencari ilmu, meski ia sebagai sosok yang sangat sederhana dan jauh dari dukungan semangat ayahnya.

Setelah beberapa tahun belajar ilmu pada guru-gurunya, Imam As-Suyuthi akhirnya mulai mandiri, dan bisa merumuskan pendapat sendiri dalam cabang ilmu fikih. Imam As-Suyuthi menjadi seorang ahli hadis sekaligus ahli fikih yang banyak dikunjungi oleh murid-murid dari berbagai penjuru dunia. Tidak hanya itu, Imam As-Suyuthi juga merupakan sosok pendakwah yang sangat santun dan bijaksana. Ia mampu mengajak masyarakatnya untuk terus belajar.

Tidak hanya bergelut dalam dunia pendidikan dan dakwah. Imam As-Suyuthi juga sukses dalam menulis berbagai kitab-kitab penting. Di antara karyanya dalam ilmu hadis yang sangat masyhur adalah kitab Kasyful Mughthi fi Syarhil Muwaththa’, At-Tausyeh alal Jami’ as-Sohih, Tadribur Rawi, Kasyfut Talbis an Qalbi Ahlit Tadlis, dan berbagai kitab karangannya yang lain. Namun, pada umumnya kitab-kitab karangan As-Suyuthi tidak bisa diringkas, bahkan para ulama setelahnya masih berbeda pendapat perihal jumlah banyaknya karangan As-Suyuthi.

Dalam kitab Nuzulur Rahmah fit Tahaddust bin Nikmah, disebutkan,

فَقَدْ ذَكَرَهَا حَاجِيْ بَلَغَ عَدَدُهَا خَمْسَ مِائَةٍ وَأَرْبَعَةٍ. وَيَقُوْلُ اِبْنُ اِيَاس بَلَغَتْ عِدَّةُ مُصَنِّفاَتُ السُّيُوْطِي سِتَّةَ مِائَةِ مُؤَلِّفَةٍ

Artinya, “Maka sesungguhnya Syekh Haji telah mengatakan tentang (karangan-karangan)nya mencapai jumlah 504 (lima ratus empat) karangan. Dan Syekh Ibnu Iyas mengatakan bahwa hitungan karangan Imam As-Suyuthi mencapai 600 (enam ratus) karangan.” (As-Suyuthi, Muqaddimah Nuzulur Rahmah fit Tahaddust bin Nikmah, 1987, halaman 10).

Banyaknya karangan Imam As-Suyuthi sebagaimana yang telah disebutkan, tidak lepas dari beberapa alasan, yaitu:

ابتداؤه في الكتابة والتأليف في سن البكرة وسرعته الفائقة في الكتابة والتأليف

Artinya, “(Disebabkan) permulaannya dalam menulis dan mengarang (dimulai) sejak masa-masa remaja. Dan ketangkasannya yang sangat intensif dalam menulis dan mengarang.” (As-Suyuthi, Muqaddimah Nuzulur Rahmah fit Tahaddust bin Nikmah, 1987, halaman 11).

Potret sederhana dan serba kekurangan yang ditunjukkan oleh Imam As-Suyuthi begitu menginspirasi. Ternyata, semangat dan istiqamah menjadi pokok paling penting untuk mendapatkan ilmu. Apalah arti dunia yang melimpah dan materi yang serba lengkap, jika dirinya tidak bisa mengendalikan itu semua. Bahkan, untuk mendapatkan cita-citanya yang mulia, ia harus rela meninggalkan ibundanya dengan keadaan sendiri, dan ia rela menahan rasa lapar yang dirasakannya.

Setelah perjalanannya yang panjang dan pengembaraannya yang melelahkan, kini Imam As-Suyuthi  telah sukses menjadi tokoh dunia yang sangat menginspirasi. Rihlah perjalannya dalam mencari ilmu, layak diberikan apresiasi yang tinggi. Selain sebagai pengajar dan pendakwah, ia juga berhasil menulis berbagai karya dari cabang-cabang ilmu yang bisa dibaca oleh umat Islam setelahnya.

Setelah usinya mencapai 61 (enam puluh satu) tahun, lebih 10 (sepuluh) bulan dan 18 (delapan belas) hari, Imam As-Suyuthi menghembuskan nafas terakhirnya bertepatan dengan malam Jum’at tanggal 19 Jumadal Ula, tahun 911 di Mesir. (As-Suyuthi, Muqaddimah Nuzulur Rahmah fit Tahaddust bin Nikmah, 1987, halaman 12).

(AN)