Neil Postman dalam buku Menghibur Diri sampai Mati; Mewaspadai Media Televisi dengan nada nyinyir mengatakan: bagian terbaik dari televisi ini malah sampahnya. Apa yang dinyatakan Postman barangkali semakin menemukan pembenarannya manakala kita menonton televisi Indonesia saat ini. Acara-acara nir kualitas (untuk tidak mengatakan acara sampah) bertebaran di layar kaca kita.
Dulu, kita punya tayangan yang lumayan-bisa-ditonton di televisi. Sebut saja misalnya Si Doel Anak Sekolahan. Sebuah tontonan tak lekang zaman yang terasa sangat membumi. Sarat nilai tapi tak menggurui, tidak bergelimang petuah dan nasihat. Unsur hiburan yang terkandung pun tak bisa dibilang dangkal. Beda dengan sebagian sinetron masa kini yang tampak gemerlap dan nyaris tanpa teladan.
Si Doel Anak Sekolahan bukan sinetron yang penuh gincu. Sinetron itu tak menghadirkan rumah gedongan dan cerita tentang orang-orang kaya dengan permasalahan sepele namun terkesan pelik. Juga tidak melulu tentang laki-laki ganteng bertubuh tegap dengan motor besar atau perempuan-perempuan berkulit putih dan bertubuh langsing. Si Doel Anak Sekolahan punya tokoh semacam Atun, Mandra, Mas Karyo, dan Pak Bendot yang tidak “bening dan wangi” namun begitu dekat dengan karakter masyarakat Indonesia.
Bagaimana dengan sekarang? Sinetron kita, dan tayangan televisi pada umumnya, anjlok mutunya. Sujarwa, penulis buku Mitos Dibalik Kisah-Kisah Sinetron, melihat sinetron kita meski kerap menampilkan hal tak rasional tapi tetap disuka khalayak. Sinetron telah menghegemoni penonton dalam pemahaman yang sama.
Hal tersebut disikapi oleh para produser untuk meraup untung sebanyak-banyaknya dengan membuat sinetron sejenis. Mutu nomor dua, yang penting banyak penontonnya (rating bagus, iklan melimpah).
Belum lama Kumparan menurunkan tulisan yang cukup menggelitik: Daftar 194 Judul FTV Azab yang Membuatmu Geleng-Geleng Kepala. Dari tulisan itu kita akan tahu judul-judul FTV yang saat ini sedang naik daun: Azab. Misalnya: Durhaka kepada Suami, Jenazah Istri Membusuk Berhari-Hari; Bumi Menolak Jenazah Perebut Suami Orang; Akibat Main Jimat; Si Musyrik Disiksa di Akhirat; Tanah Kuburan Tukang Ghibah Berwarna Hitam dan Lengket; Jenzah Dimakan Harimau Karena Jual Susu Oplosan.
Judul-judul serupa itu tentu mengingatkan sebagian orang, terutama generasi 90an, dengan Majalah Hidayah yang sangat populer di masanya dan oplahnya begitu mengagumkan.
Isinya kurang lebih sama dengan apa yang kita tonton pada Azab dan Dzolim. Polanya tak berbeda: siapa yang berbuat buruk di dunia akan mendapatkan balasan setimpal. Sayangnya, cerita-cerita yang dibuat terlampau irasional sehingga tampak menggelikan.
Tak sedikit masyarakat yang mengadu pada KPI terkait dua tayangan itu. KPI telah memberikan teguran pada Azab dan Dzolim. Beberapa episode Azab dan Dzolim dianggap terlalu berlebihan. Misalnya pada episode ‘Dzolim’ berjudul ‘Mandor Kejam Jenazah Terkubur Cor Coran dan Tertimpa Meteor’. Selain berlebihan, tayangan itu menampilkan hal-hal yang dianggap tidak etis dan tidak sesuai norma.
Pada titik tertentu, jika kita tarik ke belakang, Azab dan Dzolim mengingatkan kita pada buku Siksa Neraka yang menemani generasi 90an tumbuh. Buku dengan gambar-gambar yang menyeramkan dan begitu melekat dalam benak pembacanya. Lidah dipotong gunting panas raksasa, kemaluan ditusuk tombak panjang tembus kepala, dan keseraman-keseraman lain. Semua itu mereka dapat karena kelakuan buruk selama hidup di dunia.
Omong-omong, kenapa Azab dan Dzolim hari ini menjadi begitu populer? Adakah kaitannya dengan kegemaran masyarakat Indonesia menyebut bencana alam sebagai azab atas kemaksiatan dan kemusyrikan? Ataukah ada hubungannya dengan “umat Islam” yang sering merasa dizolimi? Apakah dua tontonan itu representasi Islam Indonesia masa kini? Wallahu a’lam.