Tempat Terbaik di Dunia dan Problem Sosial yang Membersamainya

Tempat Terbaik di Dunia dan Problem Sosial yang Membersamainya

Tempat Terbaik di Dunia merupakan versi populer pengalaman Roanne tinggal di Bantaran Kali selama kurang lebih setahun. Buku ini terdiri atas 7 bab dengan ketebalan 192 halaman.

Tempat Terbaik di Dunia dan Problem Sosial yang Membersamainya

Tadi pagi dia masih sakit parah. Tapi lihatlah sekarang, Roanne telah sehat kembali walaupun dia sudah ke Rumah Sakit.

Saya tidak pernah menyangka bahwa kalimat di atas keluar dari salah satu penghuni Ibu Kota, Jakarta.

Di dunia (serba) modern seperti hari ini, dokter dan rumah sakit adalah sepaket alternatif bagi siapa saja yang memiliki problem kesehatan. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi warga Bantaran Kali yang kelewat akrab dengan banjir dan puspa ragam penyakit yang menyertainya.

Roanne van Voorst jauh-jauh datang dari Belanda guna melakukan penelitian untuk disertasinya. Ia ingin mengetahui bagaimana perilaku manusia dalam menghadapi banjir. Tempat yang ia pilih untuk riset ini adalah kawasan kumuh di Jakarta yang rawan terjadi banjir.

Menurut Roanne, selama ini belum ada laporan riset yang realistis mengenai penduduk yang tinggal di kawasan kumuh. Peneliti yang menetap di kawasan kumuh dalam kurun waktu yang lama masih terbilang sedikit.

“Yang banyak ditemukan adalah prasangka negatif dari para pejabat pemerintah atau justru praduga positif dari peneliti perihal sepak terjang penghuni kampung kumuh dalam menghadapi masalah sehari-hari, serta ulasan tentang hidup dalam kemiskinan yang ekstrem,” ujar Roanne (h.3).

Daerah rawan banjir di Jakarta bukanlah perkara yang sulit untuk ditemukan. Akan tetapi, usaha Roanne mendapatkan tempat penelitian ternyata menemui banyak rintangan. Mulai dari pejabat yang ‘malu’ akan keberadaan kawasan kumuh lantas ‘menghalang-halangi’ Roanne untuk ke tempat tersebut, sampai penghuni kawasan kumuh yang mencurigai Roanne bekerja untuk pemerintah.

Akhirnya Roanne bertemu dengan Tikus (nama samaran), seorang pangamen jalanan yang mengajaknya ke Bantaran Kali. Tikus membawa Roanne ke rumahnya, sebuah bangunan dengan lantai tanah, dinding kayu, dan lembaran kardus bergelombang sebagai atapnya. Kelak, Roanne akan mengontrak sebuah rumah di Bantaran Kali dan menempatinya seorang diri.

Tempat Terbaik di Dunia merupakan versi populer pengalaman Roanne tinggal di Bantaran Kali selama kurang lebih setahun. Buku ini terdiri atas 7 bab dengan ketebalan 192 halaman. Disertasi Roanne sendiri berjudul Get Ready for the Flood! Risk-handling styles in Jakarta, Indonesia.

Dalam buku ini, Roanne tidak hanya membahas seputar banjir. Ia juga menceritakan, di antaranya, ketidakpercayaan warga Bantaran Kali terhadap dokter. Hal ini dituangkan dalam Jangan Pernah Percaya Dokter. Bagi saya, bab ini adalah paling menarik.

Roanne mengawali dengan menceritakan dirinya yang jatuh sakit. Selama berhari-hari ia hanya mampu berbaring di rumah. Para tetangganya berusaha membantu dengan memberinya jamu— yang kemudian ia muntahkan kembali— dan mendatangkan tukang pijat.

Semua itu dilakukan tanpa membuahkan hasil. Roanne tak kunjung membaik, bahkan merasa kondisinya memburuk sehingga berniat untuk pergi ke rumah sakit.

Alih-alih mendukung, tetangga-tetangganya secara solid justru menghalangi Roanne untuk mengunjungi rumah sakit. Rumah Sakit adalah horor dalam imajinasi masyarakat bantaran kali. Mereka takut dengan dokter.

Ketakutan itu bukan tanpa alasan. Mereka memiliki pengalaman buruk dengan dokter dan Rumah Sakit. Pasien yang tergolong dalam kelas “tidak mampu” seringkali mendapat penolakan dari pihak rumah sakit karena dianggap takkan bisa membayar tagihan.

Roanne menuliskan beberapa kejadian ironis sekaligus jujur yang dialami tetangganya. Mereka tidak mendapat penanganan yang semestinya sehingga meninggal dunia.

Roanne menuliskannya secara urut dan apik, membuat ‘penolakan’ warga miskin terhadap dokter terasa sangat masuk akal. Bukan hanya ‘sebatas’ ketidakpercayaan terhadap kedokteran modern, tetapi juga alasan mengapa mereka skeptis dengan Rumah Sakit.

Gaya penulisan naratif yang digunakan Roanne memudahkan pembaca untuk menikmati buku ini. Ia mengadopsi alur cerita campuran, juga menyisipkan berbagai temuan riset yang mendukung topik.

Ia juga terkadang menghadirkan dialektika kebudayaan dan nilai-nilai yang dia anut di Belanda. Ini dilakukkan bukan untuk mbandeng-mbandengke mana yang lebih baik, melainkan sebagai kontras sehingga pembaca memahami bagaimana hal-hal berjalan secara berbeda di tempat yang berbeda.

Wa ba’du, Tempat Terbaik di Dunia merupakan ekuilibrium dari cerpen dan opini. Buku ini memberi gambaran yang kaya sekaligus kompleks mengenai kehidupan yang asing.

Keseharian yang dijalani oleh warga Bantaran Kali itu sama sekali lain dengan kesehariaku. Roanne membuat saya paham bagaimana detak dan detik dilalui secara berbeda di Jakarta sana.

Tak kalah penting, Roanne juga mengemas wacana kebencanaan dalam narasi yang sangat rasional sehingga tidak menyisakan celah bagi siapa pun untuk mengangap bencana (banjir) sebagai azab Tuhan. Masalah banjir sepenuhnya merupakan problem struktural yang tidak sederhana dan, lebih dari itu, adalah dampak dari kelalaian manusia itu sendiri.

 

DATA BUKU:

Judul     : Tempat Terbaik di Dunia

Penulis  : Roanne van Voorst

Penerbit : Marjin Kiri, (2020)

Tebal       : 192 hlm.