Dikisahkan oleh al-Fadhl bin Rabi’ sebagaimana yang terdapat dalam kitab ‘Uyun al-Hikayat min Qashash ash-Shalihin wa Nawadir az-Zahidin karya Ibnu al-Jauzi, bahwa suatu ketika Amirul Mukminin Harun al-Rasyid pergi melaksanakan ibadah haji.
Dan pada suatu satu waktu Harun al-Rasyid mendatangi al-Fadhl bin Rabi’, ia pun segera bergegas menemuinya dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, jika engkau memerintahkanku untuk menemuimu, niscaya saya segera mendatangimu.”
Mendengar ucapan al-Fadhl bin Rabi’, Harun al-Rasyid kemudian berkata, “Celaka engkau! Dalam diriku ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiranku. Carilah seseorang yang bisa saya tanyakan tentang masalah ini kepadanya.”
Tampaknya Harun al-Rasyid dilanda galau tentang sebuah permasalahan, sehingga ia meminta al-Fadhl bin Rabi’ untuk mencarikan seseorang yang bisa ditanyai tentang masalah yang terjadi pada dirinya.
Al-Fadhl bin Rabi’ pun menjawab, “Di sini ada Sufyan bin Uyainah.” Seketika Harun al-Rasyid langsung berkata, “Kalau begitu mari kita berangkat menemuinya.”
Mereka kemudian berangkat ke tempat Sufyan bin Uyainah. Sesampainya di tempatnya, al-Fadhl bin Rabi’ kemudian mengetuk pintu rumahnya. Karena tidak tahu siapa yang datang, Sufyan bin Uyainah lalu bertanya, “Siapa?” Al-Fadhl bin Rabi’ pun menjawab, “Penuhilah panggilan Amirul Mukminin.”
Sufyan bin Uyainah kemudian segera keluar rumah dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, jika engkau mengutus seseorang memanggilku, niscaya saya segera menemuimu.”
Mendengar perkataan sepertiitu, Harun al-Rasyid kemudian berkata, “Ambillah hadiah yang kami bawa untukmu. Semoga Allah merahmatimu.” Harun al-Rasyid lalu berbicara kepada Sufyan bin Uyainah dalam waktu yang lama.
Setelah itu, Harun al-Rasyid bertanya, “Apakah engkau mempunyai hutang?” Sufyan bin Uyainah pun menjawab, “Iya.” Seketika itu Harun al-Rasyid langsung berkata, “Hai Abbas, bayarlah hutangnya.”
Ketika mereka keluar dari tempat Sufyan bin Uyainah, tiba-tiba Harun al-Rasyid berkata, “Temanmu itu sama sekali tidak memberikan jawaban atas apa yang sedang aku cari. Carilah orang lain yang bisa aku tanya.”
Kemudian al-Fadhl bin Rabi’ berkata, “Ada seseorang bernama Abdurrazzaq bin Hammam.” Mendengar nama tersebut, Harun al-Rasyid langsung berkata, “Mari kita temui dia.”
Mereka lalu berangkat ke tempatnya Abdurrazaq bin Hammam. Setelah sampai, al-Fadhl bin Rabi’ mengetuk pintu rumahnya. Dari dalam rumah, Abdurrazaq bin Hammam berkata, “Siapa?” al-Fadhl bin Rabi’ pun langsung berkata, “Penuhilah panggilan Amirul Mukminin.”
Abdurrazaq bin Hammam pun langsung keluar dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, jika engkau mengutus seseorang untuk memanggilku datang kepadamu. Niscaya saya segera mendatangimu.”
Mendengar perkataan seperti, Harun al-Rasyid langsung berkata, “Ambillah hadiah yang kami bawa untukmu, semoga Allah merahmatimu.” Harun al-Rasyid kemudian berbicara dalam waktu lama dengannya. Dan setelah itu bertanya kepada Abdurrazaq bin Hammam, “Apakah engkau mempunyai hutang?” “Iya”, jawab Abdurrazaq bin Hammam. Harun al-Rasyid lalu berkata, “Hai Abbas, bayarlah hutangnya.”
Ketika mereka keluar dari tempatnya Abdurrazzaq bin Hammam. Harun kembali berkata, “Temanmu itu sama sekali tidak memberikan jawaban atas apa yang sedang aku cari jawabannya. Carilah orang lain yang bisa aku tanya.”
Al-Fadhl bin Rabi’ lalu berkata, “Ada orang yang bernama Fudhail bin Iyadh.” Harun al-Rasyid pun langsung berkata, “Mari kita berangkat menemuinya.”
Mereka lalu berangkat mendatangi tempat Fudhail bin Iyadh, dan saat sampai di tempatnya. Ternyata saat itu Fudhail bin Iyadh sedang shalat sambil membaca satu ayat yang dia ulang-ulang bacaannya.
Harun al-Rasyid lalu berkata kepada al-Fadhl bin Rabi’, “Ketuklah pintunya.” Setelah diketuk, Fudhail bin Iyadh berkata dari dalam rumahnya, “Siapa?” al-Fadhl bin Rabi’ pun langsung berkata, “Penuhilah panggilan Amirul Mukminin.”
Berbeda dengan dua orang yang ditemui sebelumnya, Fudhail bin Iyadh malah berkata, “Ada urusan apa saya dengan Amirul Mukminin?”
Mendengar jawaban dari Fudhail bin Iyadh, al-Fadhl bin Rabi’ pun berkata, “Subhanallah. Bukankah engkau mempunyai kewajiban untuk taat kepadanya? Dan bukankah nabi pernah bersabda;
ليس للمؤمن يذ نفسه
Tidaklah seorang beriman boleh menghinakan dirinya sendiri (HR Tirmidzi)”
Fudhail bin Iyadh akhirnya turun dan membuka pintu. Setelah itu, dia naik ke kamarnya dan mematikan lampu rumahnya. Kemudian dia duduk di pojok rumahnya.
Harun al-Rasyid dan temannya pun langsung masuk ke rumahnya, dan mencari carinya. Namun tangan Harun al-Rasyid lebih dahulu mendahului tangan al-Fadhl bin Rabi’ untuk memegangnya. Fudhail bin Iyadh pun langsung berkomentar, “Alangkah halusnya tangan ini, jika dia selamat dari azab Allah di akhirat nanti.”
Al-Fadhl bin Rabi’ dalam hatinya pun berharap supaya Fudhail bin Iyadh berbicara kepada Khalifah Harun al-Rasyid di malam itu dari hati yang bertaqwa.
Harun al-Rasyid pun berkata sebagaimana perkataan ketika bertemu dengan orang sebelumnya yaitu, “Ambillah apa yang kami bawa untukmu dengan kedatangan kami kepadamu, semoga Allah merahmatimu.“
Namun mendengar perkataan Harun al-Rasyid, Fudhail bin Iyadh langsung berkata, “Umar bin Abdul Aziz saat memegang tampuk kekuasaan, dia memanggil Salim bin Abdillah, Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi dan Raja’ bin Haywah. Kepada mereka dia berkata; ‘Saya telah mendapat cobaan dengan jabatan kekhalifahan ini, maka tolong berikan saya peringatan jika saya menyimpang.’ Perhatikanlah Umar bin Abdul Aziz yang memandang jabatan pemimpin sebagai cobaan, sedangkan engkau dan para sahabatmu menganggapnya sebagai kenikmatan.”
Dan Salim bin Abdulllah berkata kepada Umar bin Abdul Aziz, “Jika engkau ingin selamat dari azab Allah, maka hendaknya engkau menyikapi kaum muslimin yang berusia tua sebagai orangtuamu, yang berusia paruh baya sebagai saudaramu, dan yang masih kecil kecil sebagai anakmu. Maka muliakanlah orangtuamu, bantulah saudaramu dan bersikap kasih sayanglah kepada anakmu.”
Sedangkan Raja’ bin Haywah berkata kepada Umar bin Abdul Aziz, “Jika engkau ingin selamat dari azab Allah. Maka sayangilag kaum muslimin sebagaimana engkau menyayangi dirimu. Bencilah bagi mereka apa yang engkau benci bagi dirimu. Kemudian silahkan engkau mati jika engkau ingin.”
Kemudian Fudhail bin Iyad memberi nasehat kepada Harun al-Rasyid,”Dan aku berkata kepadamu; aku sangat khawatir dengan dirimu saat kaki-kaki manusia di hari kiamat tergelincir, apakah engkau mempunyai orang-orang dekat yang memberi peringatan seperti itu?”
Mendengar perkataan tersebut, Harun al-Rasyid pun langsung menangis dengan sangat kencang sehingga dia pingsan. Al-Fadhl bin Rabi’ yang melihat hal tersebut kemudian berkata kepada Fudhail bin Iyadh, “Bersikap lemah lembutlah dengan Amirul Mukminin.”
Fudhail bin Iyadh pun membalas perkataan al-Fadhl bin Rabi’, “Hai Ibnu Umm ar-Rabi’, engkau dan para sahabatmulah sebenarnya yang membinasakannya. Karena itu, aku bersikap lembut terhadapnya.” Tak lama Kemudian, Harun al-Rasyid bangun tersadar dan berkata, “Tambahkan nasehatmu, semoga Allah merahmatimu.”
Fudhail bin Iyadh lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku mendapat berita bahwa seorang pegawai Umar bin Abdul Aziz mengadu kepadanya. Kemudian dia pun mengirim surat kepadanya, “saudara, aku mengingatkanmu tentang panjangnya penderitaan penghuni neraka dalam siksaan panasnya api neraka yang selamanya tanpa henti. Dan hendaknya tidak ada sesuatu pun yang membuatmu terpalingkan dari Allah Swt, dan hendaknya hal itu menjadi akhir janjimu dan akhir pengharapanmu.”
Sudah selayaknya seorang pemimpin selalu mendatangi dan mendekat kepada para ulama, untuk meminta nasehat dan mengingatkan jalan kepemimpinannya. Bukan hanya mendekat disaat mempunyai kepentingan sesaat saja. Apalagi menjauh darinya dan tidak mau mendengarkan masukan-masukannya. Hal tersebut karena jabatan adalah cobaan, bukan kenikmatan.