Saat pertama kali masuk Islam, Dr. Josef Linhoff seringkali menggerutu, “Meskipun saya suka segala aspek tentang keimanan baru saya, namun boleh jadi hal terburuk tentang kehidupan baru saya ini (setelah masuk Islam) adalah saat mendengar khutbah.”
Bagaimana tidak, alih-alih menjawab keresahan dan permasalahan hidupnya yang baru masuk Islam, “Kebanyakan khutbah sangatlah tercerai dari realitas,” kata Dr. Linhoff, menceritakan warna-warni pengalaman awalnya masuk Islam.
Namun semua berubah setelah doktor Studi Islam lulusan Edinburgh ini, kemudian mendengar khutbah-khutbah seorang pakar hukum Islam sekaligus tradisi hukum Barat, Prof. Khaled Abou El Fadl. Ada “kejujuran” dalam khutbah yang disampaikan oleh Prof. Khaled, kata Linhoff. Dan semenjak itulah beliau jadi antusias mendengarkan khutbah, bahkan kemudian jadi editor buku kumpulan khutbah Prof. Khaled yang berjudul, The Prophet’s Pulpit.
Sama seperti Dr. Linhoff, mungkinkah Anda juga salah satu jama’ah salat Jumat yang punya keresahan yang sama? kalau belum seharusnya Anda memang punya!
Datang ke masjid setiap Jumat, alih-alih mendapat pencerahan tentang permasalahan sehari-hari yang menyentuh perasaan, dan menggugah semangat beramal dan memperbaiki diri, eh, yang didapat seselesainya khutbah malah cuma sakit pinggang, atau kaki yang kesemutan karena ketiduran.
Ya, saat Jumat tadi, berapa banyak di antara Anda sekalian yang berkesempatan mendengar khatib membicarakan tentang bahaya judi, mengingat sedang ramai-ramainya masalah judi online?
Bukankah itu, yang ingin didengar atau bahkan harus diperdengarkan pada bapak-bapak dan pemuda dari kelas menengah ke bawah di masjid-masjid perkampungan alih-alih khutbah tentang tanda-tanda kiamat yang sudah sering diulang-ulang?
Sebenarnya semenjak kapan khutbah yang tadinya memiliki peran sentral sesentral peran masjid di tengah masyarakat muslim, mulai kehilangan relevansinya? Itulah yang coba dijawab oleh Prof. Khaled Abou El Fadl, di khutbahnya yang pertama di buku, The Prophet’s Pulpit. Prof. Khaled, memaparkan, bahwa akar historisnya bermula saat rezim Umayyah dan Abbasiyyah mulai berkuasa. Mulailah muncul fenomena penyortiran khatib dan isi khutbahnya, yang cendrung apolitis. Bahkan sekalinya politis, itu adalah saat kedua rezim dari dua dinasti besar Islam ini mulai membiasakan sebuah tradisi baru di kalangan para khatib Jumat yaitu, untuk berdoa, “Semoga Tuhan memberkati sang penguasa, dan semoga la senantiasa menjaganya,” doa ini terus menjadi tradisi para khatib sampai masa Mamalik dan Ayyubiyyah di Syria dan Mesir.
Uniknya, menurut Prof. Khaled, yang dilakukan Kolonialis Prancis, Inggris, dan Belanda saat mulai menjajah adalah hal yang sama yang dilakukan oleh rezim Umayyah dan Abbasiyyah ini: menjadikan masjid di bawah kontrol negara. Dari mulai menyeleksi imam, menyeleksi khatib, dan mengedit isi-isi khutbahnya agar sejalan dengan kekuasaan. Semenjak itulah, khutbah di dunia Islam hingga sekarang, jadi tidak relevan, dan termarginalkan dari masalah-masalah yang sifatnya publik, karena terjadi privatisasi besar-besaran dalam segala hal yang menyangkut agama.
Itulah sepenggal isi khutbah pertama Prof. Khaled di bukunya The Prophet’s Pulpit, bukankah sesuatu yang menarik, mencerahkan, juga memuat pengetahuan baru? Anda boleh setuju ataupun tidak setuju, dengan gagasan Prof. Khaled tentang salat Jumat virtual, namun agaknya siapapun yang punya keresahan tentang permasalahan Khutbah Jumat belakangan hari ini, pasti menemukan kesamaan pikiran saat membaca The Prophet’s Pulpit.
Semangat The Prophet’s Pulpit agaknya sederhana, menjadikan momen khutbah Jumat sesuatu yang paling ditunggu-tunggu setiap pekannya oleh setiap muslim, sebab mencerahkan, menambah wawasan, menyentuh perasaan, dan tentunya semakin mendekatkan diri kita pada Allah SWT. Dan tentunya juga menghasilkan khatib-khatib yang kompeten, yang bukan hanya menguasai dalil, namun juga mampu menjawab keresahan masyarakat muslim di sekelilingnya. Bahkan kalau perlu sampai mampu meriset isi khutbahnya berdasarkan data-data aktual dan faktual, dengan merujuk pada apa yang sedang trending di X, Instagram, TikTok, bahkan Google Scholar, sebelum naik mimbar.
(AN)