“KUHP Hukum Syirik/Kafir. Perangi Para Penegak Hukum Setan. QS. 9: 29.”
Ungkapan itu tertulis dalam secarik kertas dan menempel di bagian depar motor biru milik pelaku yang diduga melakukan bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, Kota Bandung, Jawa Barat (7/12). Ayat tersebut memang sering menjadi justifikasi para ekstremis untuk mengekspresikan sikap beragamanya yang egois.
Ayat tersebut berbunyi;
قَٰتِلُوا۟ ٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَلَا بِٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ ٱلْحَقِّ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حَتَّىٰ يُعْطُوا۟ ٱلْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَٰغِرُونَ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. at-Taubah: 29)
Sudah jelas, para kelompok radikal sangat suka dengan istilah-istilah teror seperti قَٰتِلُوا, perangilah, bunuhlah, dan semacamnya. Jika sekedar suka sebenarnya tidak masalah. Toh, itu juga masih bagian dari kalam suci Tuhan dalam al-Qur’an. Yang bahaya adalah cara mereka menafsirkan kalam itu. Watak kelompok radikal yang konservatif dan kolot dalam membaca ayat-ayat Allah justru membawa dampak negatif tersendiri bagi peradaban Islam dan seluruh alam.
Qital dalam ayat ini merupakan perintah untuk berperang karena kekafiran mereka terhadap Nabi Muhammad Saw. Mereka sama sekali tidak beriman kepada para Rasul sebelumnya dan risalah yang dibawanya. Mereka hanyalah mengikuti pendapat, hawa nafsu, dan nenek moyang mereka, bukan karena keberadaannya sebagai sebuah syari’at dan agama Allah.
Pada prinsipnya, prinsip perang yang diajarkan Islam adalah defensive. Artinya, jika tidak ada ancaman atau serangan terlebih dahulu kepada umat Islam. Di luar kondisi itu, maka umat Muslim tidak mempunyai justifikasi apapun untuk memulai serangan terlebih dahulu.
Secara spesifik, QS. at-Taubah: 29 tersebut ditujukan kepada kaum non-Muslim, yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Secara prinsipil, penggunaan ayat ini untuk menjustifikasi perang terhadap “thaghut”, seperti yang tertulis di secarik kertas itu, jelas salah kaprah.
Biasanya, para kelompok radikal menggunakan QS. al-Maidah: 44 untuk melegitimasi tafsir mereka. Saya bahkan sampai hafal dalil-dalil nash mereka dalam al-Qur’an. Mereka biasanya mengutip;
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰفِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. al-Maidah: 44).
Mereka lalu berdalih bahwa orang kafir itu halal darahnya, dengan demikian para “thaghut” itu boleh diperangi, dan sebagainya. Meskipun tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang melegitimasi terorisme, para pelaku teror biasanya akan menggunakan dalil yang ini, alih-alih QS. at-Taubah: 29 tadi. Namun, tentu saja, mereka akan tetap merekayasa berbagai dalil nash untuk merealisasikan kehidupan “Islamis” mereka yang utopis.
Pola terornya juga selalu sama. Selalu saja markas aparat yang diserang. Mulai dari Mabes Polri hingga Kantor Polsek. Atau rumah ibadah umat agama lain, jika narasi mereka adalah kafir dan menghilangkan maksiat. Sebenarnya, saya kasihan dengan para bomber itu. Mereka di atas kertas memang pelaku teror, namun secara tidak langsung mereka merupakan korban dari paham-paham radikalisme yang bersirkulasi melalui guru-guru agama mereka.
Saya yakin, para bomber ini hanyalah delegasi-delegasi yang dikirim oleh “guru-guru” mereka yang entah di mana. Indoktrinasi yang efektif di dalam internal kelompok radikal memang benar-benar melahirkan dampak konkret. Mungkin kita bisa mendengar cerita Ali Imron bahwa orang bisa menjadi teroris hanya dalam waktu dua jam.
Dalam hal ini, pemerintah, khususnya BNPT perlu memikirkan ulang strategi yang efektif untuk melakukan kontra-narasi. Deradikalisasi memang penting untuk menyadarkan para pelaku teror untuk kembali ke jalan yang benar, namun yang lebih krusial adalah bagaimana orang tidak masuk dalam lingkaran radikalisme.
Kasus dugaan bom bunuh diri Polsek Astana Anyar, Bandung bukan lagi alarm bagi pemerintah saja, namun bagi seluruh elemen masyarakat, tak terkecuali kita semua. Tragedi itu seharusnya cukup bagi kita untuk menyadari pentingnya pendidikan kontra-radikalisme di lingkungan sekitar kita.
Bukan hanya di wilayah institusi pendidikan, namun juga terhadap orang-orang terdekat kita. Cara paling mudah adalah dengan tidak melanggengkan narasi kekerasan dan kebencian terhadap kelompok lain, mulai menyebarkan narasi perdamaian, dan selalu menegaskan soal posisi kita sebagai bagian dari keberagaman.