Petaka di Balik 280 Karakter; Bagaimana Radikalisme Meracuni Wacana Publik di Twitter

Petaka di Balik 280 Karakter; Bagaimana Radikalisme Meracuni Wacana Publik di Twitter

Buku ini mencatat bahwa Twitter telah menjadi “garis start” di mana pandangan ekstrem dapat dengan cepat disebarkan ke ribuan pengguna dalam waktu singkat.

Petaka di Balik 280 Karakter; Bagaimana Radikalisme Meracuni Wacana Publik di Twitter

Media sosial menjadi portal baru bagi kelompok-kelompok radikal untuk memperluas jaringan mereka dan merekrut anggota baru dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Seiring dengan kemudahan berkomunikasi dan berbagi informasi, platform ini memberikan ruang bagi penganut ideologi radikal untuk meyakinkan pihak lain tentang pandangan mereka. Tagar, video, dan caption yang didesain dengan cerdik dapat menjadi instrumen efektif untuk mempengaruhi pikiran dan tindakan seseorang.

Implikasi dan problematika tersebut menjadi kerangka buku Radikalisme di Media Sosial. Buku ini membincang fenomena radikalisme yang semakin merajalela di era digital, khususnya di media sosial Twitter. Penulis menggali berbagai aspek yang terkait dengan masalah ini, termasuk faktor-faktor yang memicu radikalisme, dampaknya pada masyarakat. Penulis juga memberikan ilustrasi kasus menarik sebagai gambaran percakapan dan dialektika di Twitter sebagai ruang publik.

Buku ini mencatat bahwa Twitter telah menjadi “garis start” di mana pandangan ekstrem dapat dengan cepat disebarkan ke ribuan pengguna dalam waktu singkat. Penulis menggambarkan bagaimana penggunaan fitur-fitur seperti retweet (kini repost) dan tagar memungkinkan pesan-pesan radikal untuk menyebar secara masif dan menciptakan efek domino dalam masyarakat.

Salah satu aspek yang diungkap dalam buku ini adalah bagaimana Twitter memberikan wadah untuk diseminasi ideologi dan rekrutmen anggota baru bagi kelompok-kelompok radikal. Penulis juga mengulas cara algoritma platform dapat memperkuat “echo chamber” di mana individu hanya terpapar pada pandangan yang sejalan dengan keyakinan mereka, yang pada gilirannya dapat memperdalam perpecahan.

Dalam buku ini, penulis membahas bagaimana media sosial telah menjadi platform utama bagi individu-individu yang memiliki agenda radikal untuk menyebarkan ideologi mereka. Mereka menggunakan berbagai strategi manipulatif untuk mempengaruhi dan merekrut orang-orang baru ke dalam kelompok-kelompok radikal. Penulis juga mengungkap bagaimana media sosial mengafirmasi bias, di mana individu cenderung mencari informasi yang memperkuat pandangan mereka sendiri, sehingga memperdalam perpecahan dan polarisasi dalam masyarakat.

Selain itu, buku ini membahas konsekuensi radikalisme di media sosial, termasuk terorisme online, kekerasan yang dipicu oleh propaganda ekstremis, dan retorika yang membahayakan. Melalui buku ini, penulis berusaha memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kompleksitas masalah radikalisme di media sosial, khususnya Twitter, dan pentingnya kesadaran publik dalam menghadapinya. Buku ini juga mengajak pembaca untuk lebih kritis dan bijak dalam mengonsumsi informasi di era digital yang penuh dengan konten yang bisa meracuni pemikiran dan sikap.

Meski demikian, perang melawan radikalisme di media sosial bukanlah tugas yang mudah. Kebebasan berbicara adalah salah satu nilai mendasar dalam era demokratisasi media. Mengambil tindakan terlalu tegas dalam menangani radikalisme dapat menimbulkan konflik dengan prinsip-prinsip tersebut. Langkah-langkah yang diambil oleh platform media sosial, seperti sensor dan penghapusan konten radikal, sering kali memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana intervensi yang boleh dilakukan untuk mengatur konten di media sosial.

Buku ini belum menyinggung secara eksplisit tentang bagaimana membangun keseimbangan antara melindungi kebebasan berbicara dan mengatasi ancaman radikalisme di era demokratisasi media.

Padahal pembahasan itu penting untuk mengantisipasi pertanyaan tentang demokratisasi media yang “seharusnya” merangkul semua gagasan dalam jagad digital. Penulis sebenarnya telah menyinggungnya di dalam buku. Salah satu argumennya adalah bahwa tersebarnya paham radikalisme-fundamentalisme dikhawatirkan menyebabkan kualitas demokrasi merosot. Tetapi selanjutnya belum ditemukan penjelasan yang cukup tentang sifat media yang demokratis dan prinsip demokrasi itu sendiri.

Terlepas dari hal itu, Radikalisme di Media Sosial adalah bacaan yang relevan dan penting bagi siapa pun yang peduli dengan isu-isu keamanan dan perkembangan teknologi informasi di zaman modern. Teori rasionalitas komunikatif vis-à-vis rasionalitas instrumental milik Jürgen Habermas berhasil dibahasakan secara sederhana dan lugas sehingga sukses mengidentifikasi isu yang menjadi concern utama buku ini.

Buku Radikalisme di Media Sosial menjadi semacam etalase yang menampilkan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi narasi radikalisme di Twitter, sekaligus sebagai ajakan untuk bersama-sama berperan aktif dalam menjaga stabilitas sosial dan keamanan di jagad digital. (AN)

Buku ini bisa dibeli melalui Tokopedia dengan klik tautan ini.