Bom Bunuh Diri dan Pesan Sunan Bonang: Dalam Beragama, Jangan Merasa Pendapat Sendiri Paling Benar

Bom Bunuh Diri dan Pesan Sunan Bonang: Dalam Beragama, Jangan Merasa Pendapat Sendiri Paling Benar

Bom Bunuh Diri dan Pesan Sunan Bonang: Dalam Beragama, Jangan Merasa Pendapat Sendiri Paling Benar
Ilustrasi teroris perempuan yang sedang mengangkat senjata. Foto: Foreign Affair Magz

Salah satu nasihat penting yang diberikan Sunan Bonang kepada muridnya Wujil dalam Suluk Wujil adalah tentang cara beragama yang baik. Kepada Wujil Njeng Sunan mengatakan jika hal yang harus dihindari dalam beragama adalah menganggap bila pendapat kita tentang agama paling benar. Mereka rela, dalam istilah Sunan Bonag, beradu kepala, melepas surbannya, bahkan meregang nyawa sekadar untuk meyakinkan diri mereka sendiri dan orang lain jika cara beragamanyalah yang paling benar dan harus diikuti.

Sebetulnya, ini tak memiliki hubungan apapun dengan agama itu sendiri, melainkan hanya sebagai cara untuk mengakomodasi nafsunya. Yang demikian ini, oleh Sunan Bonang  disebut sebagai ulama kuning. Balutan keagamaanya hanya digunakan sebagai alat untuk mengakomodasi kehendak pribadinya. Hal semacam itu masih sering kita temukan di tengah masyarakat kita dewasa ini.

Adanya tragedi bom bunuh diri yang terjadi beberapa minggu ini adalah contoh jika nasihat Njeng Sunan masih sangat relevan. Menurut pewartaan beberapa media, tragedi itu dilakukan oleh Agus Sujatno di Polsek Astana Anyar, Bandung yang menewaskan satu anggota polisi. Agus adalah mantan napi yang sempat mendekam di LP Nusakambangan karena kasus terorisme pada tahun 2017. Ia bebas bersyarat pada tahun lalu.

Agus melakukan aksinya itu seorang diri. Dari sepeda motor yang digunakan, dapatlah diketahui motif bom bunuh diri yang ia lakukan. Terdapat tempelan kertas yang berisi tulisan penentangan dirinya terhadap UU KUHP yang baru saja disahkan oleh pemerintah sebagai kitab hukum kafir. Juga tertulis keinginanya untuk memerangi orang-orang kafir dengan menuliskan QS. At-Taubah ayat 29 sebagai dasarnya. Simbol ISIS pun ditemukan menempel pada bodi motor Agus.

Dengan latar belakang Agus, juga motif tindakanya dalam tempelan kertas pada motornya, mudah dipahami jika aksi itu adalah bentuk jihadnya. Hal semacam itu bukan hal baru di Indonesia. Aksi teror dengan bom atas nama jihad yang menewaskan banyak orang telah terjadi beberapa kali. Dan aksi Agus adalah potongan kecil dari rentetan kejadian itu.

Jihad atas nama agama dengan mengorbankan nyawa orang banyak sudah ditentang oleh banyak pemuka agama, utamanya Islam. Jihad dalam Islam, sebagaimana ditulis Thomas Volk, adalah tindakan personal untuk mendekatkan diri kepada tuhan. Tidak ada unsur-unsur kekerasan yang dianjurkan oleh islam dalam hal itu. Akan tetapi, pembelokan makna jihad dewasa ini memang sengaja dilakukan oleh kelompok-kelompok islamisme, seperti ISIS dan Ikhwanul Muslimin.

Bassam Tibi, dalam Islamisme dan Islam menuliskan, jika pemahaman sempit akan jihad dilandasi atas karangan dua tokoh islamis besar dunia, yakni Hasan Al-Bana dan Sayyid Qutb. Dalam tulisan Hasan Al-Bana yang dikutip Tibi, menerangkan, “jihad fisik adalah utama, jikapun mati, Allah mengetahui dan akan memberikan rahmat.” Pun dengan gagasan Qutb yang menggelorakan perang gagasan terhadap nilai-nilai di luar islam. Semua ini dilakukan untuk satu kepentingan, yakni terciptanya dunia (melalui negara-negara) dengan tatanan syariat islam.

Selain menjadikan agama islam sebagai landasan untuk mewujudkan berupa agenda politiknya, mereka juga menganggap dirinya sebagai umat islam sejati atau true belivers. Pendek kata, seperti ungkapan Njeng Sunan, dengan sepihak mereka mendaku dirinya sebagai perlambangan Islam yang sesungguhnya, sementara yang berbeda di antara mereka dianggap salah dan kafir (meskipun sesama memeluk islam) harus diperangi. Selain itu, kelompok islamisme ini juga getol terhadap yahudi dengan menganggapnya sebagai musuh utama selain orang-orang lain yang diakfirkan.

Tindakan teror yang mereka lakukan dengan ledakan bom menyasar ke semua kalangan (termasuk sesama muslim) di berbagai negara. Sebagaimana yang terjadi di Prancis beberapa waktu lalu, bom Bali, dan teror-teror lain yang pernah terjadi menjadi contoh jika terorisme berbalut jihad semacam yang dilakukan oleh Agus adalah permasalahan bersama untuk umat manusia.

Meskipun kita tidak bisa menampik bahwa pelakunya adalah seorang penganut agama Islam, akan tetapi jelas yang dilakukanya bertentangan dengan islam itu sendiri. Orang-orang semacam Agus adalah korban dari agenda politik yang besar dan telah menyebar di seluruh dunia. Hal ini akan terus terjadi sampai agenda mereka terpenuhi. Untuk itu, kita harus waspada dengan agus-agus lain yang berpotensi mengancam eksistensi umat manusia.

Akhirnya, sebagaimana disampaikan Gus Dur, sebagai masalah bersama umat manusia tindakan terorisme berbalut jihad ataupun bentuk-bentuknya yang lain harus menjadi fokus bersama. Dengan skalanya yang begitu besar, membutuhkan adanya solidaritas global antar negara di seluruh dunia untuk melawan dan mempertahankan diri dari serangan baik fisik maupun gagasan yang mengancam kemanusiaan. Tidak lupa bagi umat Islam, khususnya ulama dan intelektual muslim di Indonesia, dialog-dialog keagamaan harus terus gencar dilakukan untuk memangun semangat beragama yang damai dan menyejukkan.