
Ia datang bukan untuk membangun ulang kekuasaan, tapi untuk membuatnya layak disentuh kembali.
Non ministrari sed ministrare. Di antara banyak kalimat Latin yang melekat pada gereja tua dan lambang-lambang kekuasaan spiritual, kalimat itu sering terdengar seperti ucapan basa-basi: sebuah semangat pelayanan yang dihafalkan, tetapi tidak dihayati. Namun kalimat itu menjadi sesuatu yang lain ketika tubuh yang mengucapkannya benar-benar memilih hidup tanpa jubah keagungan. Kalimat itu berhenti jadi kutipan ketika kekuasaan menanggalkan singgasananya, dan memilih berjalan kaki.
Paus Fransiskus wafat dalam usia yang senja dan dalam dunia yang sudah terlalu terburu-buru untuk mendengarkan. Ia meninggalkan dunia bukan sebagai Paus yang membangun kembali kejayaan Roma, bukan pula sebagai reformis yang mengguncang doktrin. Ia meninggalkan dunia sebagai tanda diam yang sulit dijelaskan oleh para pengarsip sejarah. Karena yang ia ubah bukan struktur, tapi cara hadir. Yang ia rengkuh bukan hukum, tapi kepekaan. Ia tidak meninggalkan dokumen besar, tetapi menyisakan pertanyaan yang pelan tapi mendalam, bagaimana kekuasaan spiritual bisa tetap suci justru dengan bersedia kotor oleh dunia?
Fransiskus adalah Paus yang tidak merasa nyaman berada di pusat. Ia datang dari Selatan, dari Buenos Aires yang gaduh, dari jalan-jalan yang terlalu ramai untuk khotbah, tapi terlalu sunyi untuk diabaikan. Ketika ia terpilih sebagai Paus, banyak yang berharap ia akan membarui Gereja secara sistematis—dengan kebijakan, dengan pembaruan, dengan reorganisasi. Tapi Fransiskus justru mengubah hal yang paling dasar: nada.
Nada dalam suara Gereja yang lama terdengar dari atas mimbar, kini diturunkan ke permukaan. Ia tidak memekikkan iman, tapi mendengarkan. Ia tidak mengutuk dosa dari kejauhan, tapi menyentuh tangan mereka yang gagal dan tetap tinggal. Ia tidak membenahi tatanan dari atas, tapi mulai dengan bertanya, siapa yang belum diajak bicara? Siapa yang terlalu lama duduk di bangku belakang?
Dalam tubuh Fransiskus, kehadiran menjadi lebih penting daripada aturan. Ia tidak membongkar altar. Tapi ia menunjukkan bahwa ada banyak orang yang tak pernah diberi ruang mendekat ke altar itu. Ia tidak menulis ulang dogma. Tapi ia menolak menjadikan dogma sebagai pagar yang memisahkan. Ia tidak menghapus batas, namun menolak mengunci pintu.
Ia tahu, bahwa makna dalam Gereja tidak selalu datang bersama bentuknya. Ada masa ketika lambang lebih sering dirawat daripada isi. Ia tak ingin menjadi lambang. Maka ia tak tinggal di Istana Apostolik. Ia memilih kamar kecil di Santa Marta. Ia tak memakai mobil lapis baja. Ia berjalan dengan Fiat tua. Ia menolak kemegahan bukan karena rendah hati, tapi karena ia tahu bahwa kekuasaan spiritual justru paling kuat ketika ia tidak meminta dihormati.
Kekuasaan dalam Gereja, seperti kekuasaan dalam negara, sering kali berdiri karena jarak. Tapi Fransiskus memutus jarak itu. Ia mendekat, bahkan ketika kedekatannya dicurigai oleh institusinya sendiri. Ia dianggap terlalu lembut oleh para kardinal konservatif, terlalu tidak pasti oleh kaum intelektual Katolik, terlalu terbuka oleh para penjaga tradisi. Tapi Fransiskus tidak pernah memberi klarifikasi. Ia tahu bahwa penjelasan tak selalu dibutuhkan. Dan mungkin memang, yang lebih dibutuhkan adalah sikap yang terus tinggal ketika semua orang pergi.
Dalam banyak pertemuannya, Fransiskus lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Ia mengunjungi penjara, bukan untuk memberi wejangan, tapi untuk mencuci kaki para tahanan. Ia menyentuh tangan mereka yang terbuang, bukan sebagai Paus, tapi sebagai manusia yang tahu betapa rapuhnya manusia. Ia menolak menjadikan kekudusan sebagai tempat yang steril. Ia tahu, yang kudus justru tumbuh di tempat yang retak, di tubuh yang patah, di kehidupan yang tak rapi.
Dan karena itu, kehadirannya sering kali terasa seperti gangguan. Fransiskus tidak menunjukkan arah. Ia hanya diam dan berjalan. Dan dalam diam itu, ada arah yang diam-diam berubah.
Gereja Katolik telah menjadi bangunan besar yang menua. Ia berdiri di atas sejarah yang rumit, dari Perang Salib hingga Konsili Vatikan, dari keagungan barok hingga luka penyintas pelecehan. Di tengah semua itu, Fransiskus tidak datang untuk membela atau menutup-nutupi. Ia membuka. Tapi pembukaan itu bukan demi nama baik. Ia hanya tahu, bahwa yang luka tidak akan sembuh jika terus dibungkus oleh liturgi yang meriah.
Ia menyadari satu hal penting bahwa iman tidak tumbuh dari kepastian. Ia tumbuh dari keraguan yang tidak dibuang. Dalam spiritualitas Ignasian, warisan dari ordo Jesuit yang membesarkannya, keraguan bukanlah pengkhianatan. Ia adalah bagian dari perjalanan. Dan Fransiskus memberi tempat bagi abu-abu, di saat dunia ingin semua hal dinyatakan hitam-putih. Ia tak ragu untuk mengakui bahwa kadang, Gereja telah gagal. Dan justru dari pengakuan itu, suara Gereja kembali terdengar.
Ia pernah berkata, “Gereja harus seperti rumah sakit di medan perang.” Artinya bukan tempat yang suci karena sunyi, tapi tempat yang tahu bahwa setiap orang datang dengan luka. Dalam rumah sakit, tak ada yang ditanya dulu doanya. Tak ada yang ditolak karena sejarahnya. Semua dirawat, dan Fransiskus percaya, begitu seharusnya Gereja bekerja.
Ia percaya bahwa yang rapuh bukan sesuatu yang harus disingkirkan. Tapi dirangkul. Dunia, dalam mata Fransiskus, bukan ladang yang harus dimenangkan. Tapi rumah yang harus dijaga. Bahkan jika rumah itu sudah runtuh, bahkan jika tak semua penghuninya sepakat bahwa ia layak dibangun kembali. Maka yang ia tawarkan bukan jawaban, tapi penghiburan. Bukan kekuasaan, tapi kehadiran.
Dalam satu kesempatan, ia berkata bahwa dunia terlalu cepat menghakimi dan terlalu lambat mengampuni. Ia tidak mengatakannya untuk menegur. Ia hanya menunjukkan bahwa Gereja pun pernah melakukan hal yang sama. Dan bahwa sudah waktunya ia belajar mendengar lagi, bukan dari kitab yang sama, tapi dari manusia yang selama ini tak dianggap bagian dari isi kitab itu.
Setelah ia wafat, banyak yang bertanya siapa yang akan menggantikannya. Tapi mungkin pertanyaan itu keliru. Karena warisan Fransiskus bukan pada siapa yang mengganti. Tapi pada bagaimana cara memikul kekuasaan itu lagi. Ia tidak meninggalkan sistem yang bisa diwariskan. Ia hanya meninggalkan contoh. Dan contoh itu bukan pada teks. Tapi pada tubuh.
Tubuh yang berjalan pelan. Yang menunduk. Yang mendengarkan. Yang tidak terburu-buru menyimpulkan. Yang tidak ingin dilihat suci, tapi cukup kuat untuk bersentuhan dengan yang dianggap najis.
Warisan semacam itu sulit diteruskan. Karena ia tidak bisa difotokopi. Ia hanya bisa dialami.
Fransiskus bukan pemimpin yang ingin dikenang. Tapi ia telah menjadi tanda bahwa kekuasaan spiritual tidak harus keras agar didengar, tidak harus suci agar menyentuh. Ia adalah Paus yang tidak membangun menara, tapi menanam akar. Akar yang tak terlihat, tapi membuat tanah cukup kuat untuk menopang pohon yang mulai goyah.
Dan barangkali itulah cara ia hidup. Tanpa banyak suara, tanpa ingin menjadi besar. Tapi justru karena itu, ia tinggal lebih lama.
Sic transit gloria mundi
Maka berlalu kemegahan dunia. Tapi kehadiran, jika cukup tulus, tak butuh disaksikan untuk mengubah segalanya.