Tiga Tanda Kekasih Allah Menurut Prof. Nasaruddin Umar

Tiga Tanda Kekasih Allah Menurut Prof. Nasaruddin Umar

Tiga Tanda Kekasih Allah Menurut Prof. Nasaruddin Umar

Dalam sebuah pengajian, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA., Menteri Agama sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal, menyampaikan pesan mendalam tentang makna sejati menjadi seorang Habiburrahman, yakni kekasih Allah yang Maha Pengasih. Dalam ceramahnya, Prof. Nasaruddin mengajak umat untuk merenungi esensi cinta kepada Allah dan bagaimana cinta itu tercermin dalam sikap serta laku hidup sehari-hari.

Di tengah tantangan hidup modern yang serba cepat dan penuh distraksi, Prof. Nasaruddin mengingatkan bahwa spiritualitas sejati bukan terletak pada simbol-simbol lahiriah semata, tetapi pada kedalaman cinta kepada Allah yang membentuk karakter, membimbing laku, dan memancarkan kasih kepada sesama. Habiburrahman bukan sekadar gelar, tapi cerminan dari perjalanan spiritual yang sunyi dan ikhlas.

“Siapa pun yang menjadi kekasih Nabi Muhammad SAW, maka dia juga menjadi kekasih Allah. Inilah yang kita sebut dengan Habiburrahman,” ujar Prof. Nasaruddin. Menurutnya, gelar ini bukan sekadar istilah indah, melainkan mencerminkan kedalaman spiritual seseorang yang benar-benar mencintai Tuhannya dan seluruh makhluk-Nya, serta istiqomah dalam ibadah.

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa Habiburrahman adalah mereka yang hidupnya dipenuhi dengan rasa takut kepada Allah, menjaga diri dari dosa sekecil apapun, dan menunaikan ibadah dengan tulus serta khusyuk. Mereka adalah para pecinta sejati Tuhan, yang tidak tergoda oleh gemerlap dunia maupun janji-janji kenikmatan akhirat.

Dalam konteks kehidupan sosial, Prof. Nasaruddin menekankan bahwa seorang Habiburrahman akan selalu memberi manfaat dan menjadi suluh dalam kegelapan. Ia tidak banyak bicara, tetapi tindakannya menyentuh hati. Sosok seperti ini dibutuhkan dalam masyarakat yang haus akan keteladanan moral dan spiritual.

Ciri-ciri Habiburrahman dijelaskan oleh Prof. Nasaruddin secara rinci:

Pertama, seorang kekasih Allah tidak pernah menampakkan diri sebagai seorang yang istimewa. “Dia tidak pernah menepuk dada atau memamerkan kelebihannya,” ucapnya. Bahkan ibadah yang paling sunyi sekalipun, seperti salat tahajud, ia sembunyikan dari pandangan manusia demi menjaga kemurnian niatnya.

Kedua, Habiburrahman tidak terikat pada dunia maupun akhirat. Baginya, cinta kepada Sang Pencipta jauh melampaui cinta terhadap ciptaan-Nya. “Ia hanya berkata, ‘Aku mencintai Sang Pencipta, yang menciptakan dunia, menciptakan akhirat, menciptakan surga, dan menciptakan neraka,’” kata Prof. Nasaruddin, menggambarkan kedalaman cinta spiritual yang melampaui logika dan keinginan.

Ketiga, kehadirannya membawa cahaya dan keteduhan. Setiap amalnya memancarkan nilai ibadah. Sosok Habiburrahman dikenal harum namanya, cerah wajahnya, dan selalu meninggalkan kesan mendalam di manapun ia berada. Ia menjadi sumber energi positif dan manfaat bagi lingkungannya.

“Bahkan di tengah kemacetan,” lanjutnya, “ia tetap bersyukur. ‘Alhamdulillah, aku bisa menyelesaikan wirid Asyifa. Alhamdulillah, aku bisa membaca satu juz Al-Qur’an di tengah kemacetan ini. Mobilku adalah tempat beribadahku; ini adalah kendaraan yang membawa aku mendekatkan diri kepada Allah, seperti Al-Kahfi, seperti Ka’bah, seperti masjid.’”