
Terdapat potret metaforis tentang katak yang dimasukkan ke dalam rebusan air. Ketika katak dimasukkan langsung ke dalam air yang sudah mendidih, dengan refleks mereka akan langsung lompat untuk menyelamatkan diri.
Namun, ketika katak dimasukkan ke dalam air biasa kemudian dipanaskan secara perlahan, ia merasa tidak sedang dalam bahaya. Si katak justru berusaha menyesuaikan suhu tubuhnya tanpa menyadari bahwa ia sebenarnya sedang dalam bahaya hingga akhirnya mati.
Kita mungkin berpikir, katak tersebut mati karena air yang mendidih. Hal ini tidak sepenuhnya salah, namun faktor utama yang menentukan mati atau tidaknya katak tersebut adalah ketidakmampuannya untuk memahami situasi dan menyelamatkan dirinya di waktu yang tepat. Bukannya menyadari bahwa dirinya sedang berada di dalam situasi yang membahayakan, ia malah menyesuaikan dirinya di lingkungan yang tidak menguntungkan baginya.
Metafora ini relevan diterapkan dalam situasi dinamika propaganda kelompok radikal ekstremis pasca bubarnya Jamaah Islamiyah. Situasi Indonesia di tengah predikat zero terrorist attack (BNPT, 2024) dan kembalinya JI ke NKRI tidak boleh dipahami sebagai pelepasan diri dari potensi terorisme.
Narasi yang diangkat kemungkinan besar tidak bermuatan kekerasan, perang, bom, bunuh diri, teror, dan semacamnya. Tetapi sekadar memberikan citra bahwa negara gagal dalam beberapa sektor kehidupan sehingga mengesankan bahwa ada sesuatu yang perlu dievaluasi bahkan dirubah. Kredo ini disebut “dakwah sebelum jihad” (Hwang, 2019).
Kabar buruknya, narasi ini turut “dikawal” oleh beberapa kelompok radikal teroris lain yang terindikasi masih aktif di media sosial, seperti HTI, wahabi-salafi, Jamaah Ansharu Daulah, dan kelompok sempalan berhaluan radikal terorisme lainnya.
HTI misalnya, meskipun tidak beririsan secara faksionalis, tetapi berkelindan secara ideologis. Visi politik ideologis HTI sangat identik dengan cita-cita Abu Bakar Ba’asyir untuk mengganti sistem pemerintahan Indonesia (islami, 2022).
Meski ia sudah ikrar NKRI dan Pancasila, dalam tausiyahnya usai upacara 17 Agustus 2021, Ba’asyir tampak tetap berjuang untuk menegakkan syariat Islam di negeri ini. Ia memisahkan antara asas negara dan sistem pemerintahan. Artinya, ia tetap sepakat bahwa Pancasila menjadi landasan filosofis negara, namun sistem pemerintahannya harus diganti dengan yang diturunkan Allah, yang diyakini merujuk pada sistem khilafah (islami.co, 2022).
HTI tidak hanya mengeksploitasi “kegagalan” dalam negeri, tetapi juga menunggangi isu politik global yang melibatkan komunitas Muslim, seperti Palestina. Contohnya pada 2 Februari 2025, sekelompok massa yang menggunakan atribut HTI mengadakan aksi serentak di 22 titik di seluruh Indonesia (Tempo, 2025).
Dalam koridor demokrasi, aksi mereka sebetulnya sah-sah saja. Apalagi Indonesia menaruh komitmen kuat terhadap kemerdekaan Palestina. Tetapi, aksi tersebut tidak bisa dipahami sebagai aksi solidaritas sesama Muslim an sich.
Baca juga: Menimbang Urgensi Pemulangan Hambali Otak Bom Bali dari Guantanamo dan Efeknya
Di mana pun dan kapan pun, garis finish kampanye Hizbut Tahrir adalah selalu tentang pergantian ideologi dan sistem negara.
Mereka tidak menggunakan jalan kekerasan dan teror. Tetapi motivasi ini terus disebarkan dan dinormalisasi sehingga bisa menjadi faktor penarik dan pendorong orang untuk melakukan aksi “revolusioner” yang ekstrem (baca: teror).
Militansi dakwah ini dipastikan masih akan terus aktif. Media sosial, kecerdasan buatan, tren budaya digital menjaga asa mereka untuk terus menghadirkan narasi radikal teorrisme.
Gen Millenial, Gen Z, dan Gen Alpha sebagai wajah demografi bangsa dimanjakan dengan narasi-narasi heroisme yang seakan mengesankan pemuda sebagai pahlawan yang menyelamatkan bangsa dari kebobrokan.
Padahal, mereka hanya akan menjadi “katak-katak” yang tidak sadar bahwa mereka sebenarnya sedang terjebak dalam bahaya ideologi radikal terorisme yang mengarah pada ekstremisme kekerasan di dalam panci-panci algoritma media sosial itu.
Mereka merasa apa yang disampaikan para tokoh agama radikal teroris mengenai “kegagalan” sistem pemerintahan modern benar adanya sehingga dibutuhkan transformasi radikal sebagai respon terhadap itu.
Dalam koridor demokrasi, sah-sah saja Gen Z atau Millenial mengkritisi Proyek Strategi Nasional (PSN), isu pagar laut, hingga gas elpiji 3 kg. Menurut Gen Z, merasa skeptis terhadap negara mungkin dianggap sikap kritis yang perlu dilakukan dalam konteks kebebasan berekspresi.
Tetapi menurut kelompok-kelompok radikal teroris seperti eks anggota JI yang belum bertobat, HTI, atau yang ekstrem seperti JAD, sikap kritis pemuda ini menjadi indikasi bahwa target sudah rentan, dan siap untuk dikelola lebih lanjut secara ideologis. Ini yang harus menjadi perhatian semua pihak.
Pada tahun 2024, Indonesia tercatat sebagai negara paling relijius di dunia (PEW, 2024). Tetapi di saat yang sama, Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat literasi terendah ke-2 di dunia (UNESCO, 2024). Kedua premis itu menunjukkan betapa rentannya masyarakat kita.
Pada aspek-aspek yang melibatkan dogma keagamaan, masyarakat kita bisa sangat vokal. Tetapi karena mereka tidak dibekali litarasi yang mapan, kebisingan itu diwadahi oleh HTI, dikelola secara lebih ideologis dan diarahkan sesuai kepentingan kelompok.
Akhirnya, generasi muda kita mengalami swa-radikalisasi dan dieksploitasi sebagai martir untuk memenuhi libido politik ideologis kelompok-kelompok itu. Nalar kritis mereka tergadai dengan janji-janji surgawi yang kosong. Masa depan mereka berakhir oleh aktivisme palsu yang sebetulnya tidak patut mereka dapatkan.
Oleh sebab itu meski lanskap penanggulangan terorisme relatif berubah, tetapi potensi ancamannya masih bergema. Propaganda terorisme kini bisa lebih sporadis dan berada di kelompok-kelompok kecil berhaluan ekstremis melalui agensi-agensi yang tak terwadahi tersebut.
Propaganda itu kini bergerak sendiri-sendiri (lone wolf). Situasi ini justru lebih kompleks mengingat pergerakan teroris dan ekstremis yang sulit ditebak. Kredo “dakwah sebelum jihad” meniscayakan bahwa mereka akan menantikan momentum “jihad” itu ketika dakwahnya sudah dirasa tuntas.