Merayap di Balik Layar: Intrik dan Ancaman Propaganda Radikalisme di Telegram

Merayap di Balik Layar: Intrik dan Ancaman Propaganda Radikalisme di Telegram

Narasi Islam damai di media sosial penting sebagai imunitas bangsa untuk menangkal jaringan radikalisme yang diam-diam merayap di bawah layar ponsel pintar kita.

Merayap di Balik Layar: Intrik dan Ancaman Propaganda Radikalisme di Telegram

Belakangan, desas desus terorisme tidak terdengar lantang, namun bukan berarti nihil. Baru-baru ini, Detasemen Khusus Antiteror atau Densus 88 Polri menangkap seorang karyawan BUMN yang kini berstatus sebagai tersangka terorisme di Bekasi, Jawa Barat, pada Senin (14/8) siang.

Dilansir CNN Indonesia, Juru Bicara Densus 88 Kombes Aswin Siregar menyatakan tersangka berinisial DE (28) itu diduga terafiliasi dengan jaringan teror Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Berdasarkan perannya, DE disebut simpatisan yang melakukan propaganda di media sosial untuk mengeruk pasar Indonesia.

Aswin Siregar mengatakan, DE merupakan admin dan pembuat akun Telegram Arsip Film Dokumenter dan Breaking News yang berisikan kegiatan teror global yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. DE terbukti menyimpan sejumlah senjata api rakitan dan terlibat penggalangan dana untuk melakukan aksi teror.

Radikalisme di Menara Gading

Penangkapan DE cukup mengejutkan. Menjelang HUT Republik Indonesia ke-78 pada 17 Agustus 2023, lembaga sekaliber BUMN masih bisa menjadi ruang nyaman bagi agen-agen radikal untuk melakukan misinya. Penangkapan ini menjadi sinyal bahaya bukan hanya karena DE berniat melakukan teror menjelang pemilu 2024, namun juga karena fakta bahwa akar gerakan teror yang ada di bawah tanah itu sudah berhasil menembus batas elit bernama institusi negara.

Radikalisme di institusi negara dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas politik, keamanan, dan kesejahteraan masyarakat. Lebih jauh, radikalisme di institusi negara dapat memberikan celah bagi individu atau kelompok ekstremis untuk memanfaatkan sumber daya dan akses yang dimiliki oleh pemerintah untuk melancarkan serangan atau aktivitas yang merugikan keamanan nasional.

Belum lagi jika mereka masuk dalam posisi-posisi strategis. Jika ideologi radikal mempengaruhi pembuatan kebijakan, risiko adanya kebijakan yang tidak seimbang atau merugikan masyarakat umum bisa meningkat. Kebijakan yang didasarkan pada pandangan ekstrem mungkin tidak memperhatikan konteks yang relevan dalam masyarakat.

Karena itu, penangkapan DE bisa menjadi evaluasi penting bagi negara. Negara perlu mengambil langkah-langkah untuk mengidentifikasi dan deteksi dini terhadap ancaman radikalisme di dalam institusi negara guna menjaga stabilitas dan kesejahteraan nasional.

Melintasi Batas-Batas Pemahaman Agama

Radikalisme tidak menyasar kaum ekonomi lemah. Ia menarget siapapun yang potensial menegakkan kepentingan sebuah kelompok. Misalnya, doktrin khilāfah ‘alā minhaj an-nubuwwah yang didengungkan ISIS bukan semata untuk mencari rida Tuhan di muka bumi, melainkan dalam rangka menunjang rezim politik ISIS di Iraq dan Syria.

Sayangnya, agama hampir selalu menjadi inspirasi dan motivasi bagi para penganutnya untuk melakukan tindakan kekerasan. Mereka bertindak intoleran atas nama Tuhan yang Maha Toleran.

Banyak literatur mengkonfirmasi pertanyaan tersebut di mana beberapa pelaku teror melegalkan aksi-aksinya tersebut secara teologis, misalnya, menganggap bahwa tindakan mereka merupakan perwujudan dari doktrin agama ‘amr ma’ruf nahi munkar.

Mark Juergensmeyer dalam bukunya, Terror in the Mind of God, mengatakan bahwa agama tidak hanya memberikan ideologi, tetapi juga motivasi dan struktur organisasi bagi para pemeluknya. Tentu dalam hal ini, agama bukan entitas tunggal. Bicara agama berarti menyinggung agen yang menggerakannya dan tokoh yang “mengorkestrasi” dalil-dalilnya.

Kelompok ini percaya bahwa orang-orang kafir dan orang-orang di luar paham mereka boleh dimusnahkan. Oleh karena itu, motif ekonomi atau pendidikan, misalnya, seringkali dianggap tidak relevan jika dijadikan sebagai alasan utama untuk melakukan tindakan terorisme.

Itulah mengapa doktrin tersebut bisa ditemukan oleh orang-orang yang mapan secara finansial seperti DE. Mereka tidak lagi berpikir soal sistem yang merugikan ekonomi mereka. Semuanya tentang golongan di luar diri mereka yang harus dimusnahkan karena tidak selaras dengan pesan Al-Qur’an.

Mewaspadai Gelombang Tak Terlihat

Beberapa tahun lalu, terutama saat pandemi, ISIS mengunggah video propaganda yang menampilkan pemenggalan kepala di platform TikTok. Video tersebut berhasil di-takedown. Membaca ekosistem TikTok yang tidak lagi kondusif, ISIS kemudian beralih ke Telegram yang relatif lebih longgar.

Celah inilah yang kemudian digunakan oleh patron ISIS di Indonesia. Seperti yang dilaporkan Tempo.co, terduga teroris DE merupakan admin dari kanal Telegram Arsip Film Dokumenter. Saya sempat mengecek akun tersebut dan rupanya masih aktif per Selasa (15/8). Poto profilnya adalah kamera Sony dan sebuah Assault Rifle hitam dengan tempelan bendera ISIS.

Konten-konten yang ditampilkan adalah arsip video pendek dan film dokumenter (beberapa berdurasi hingga dua jam) yang menampilkan perjuangan pasukan ISIS di Iraq.

Salah satunya menampilkan pendidikan militer ala ISIS di Fallujah, Irak. Dalam narasi filmnya, para calon kombatan didoktrin untuk membenci orang kafir, produk orang kafir, thaghut, dan sistem pemerintahan di luar syariat Islam. Salah satu redaksinya disampaikan oleh Juru Bicara Daulah Islamiyyah (ISIS), Syaikhul Mujahid Abu Hudzaifah Al-Anshari.

Kanal Telegram yang berisi propaganda ISIS.

Video terakhir yang diunggah dalam kanal tersebut adalah pada 9 Agustus 2023. Propaganda itu sangat intens. Video-video itu dimaksudkan untuk membangun sense of brotherhood bahwa umat Muslim di Iraq sedang dizalimi. Rasa itu menuntut umat Muslim di Indonesia untuk juga ikut berjuang di sana.

Video tersebut sangat mungkin mempengaruhi bahkan mengokupasi alam bawah sadar penontonnya, khususnya pasar Indonesia. Bukan hanya karena footage-footage-nya yang menarik, namun juga sudah dibarengi dengan subtitle Bahasa Indonesia, yang kemungkinan dibuat oleh tersangka DE tersebut.

Menghadapi propaganda radikalisme di media sosial adalah tugas yang kompleks, namun juga tidak bisa diabaikan. Supaya lebih ringan, butuh upaya kolaboratif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, platform media sosial, masyarakat sipil, dan masing-masing kita.

Kombinasi dari langkah-langkah pendidikan, teknis, regulasi, dan pemberdayaan masyarakat akan membantu mengurangi dampak ideologi ekstrem di dunia digital. Peran kontra-narasi radikalisme dengan demikian menjadi krusial. Narasi Islam damai di media sosial penting sebagai imunitas bangsa Indonesia menangkal jaring radikalisme yang diam-diam merayap di bawah layar ponsel pintar kita.