Kasus upaya penyerangan di kantor Mabes Polri oleh pelaku terduga teroris memang patut disayangkan oleh semua kita. Tapi ada yang lebih layak disayangkan, yaitu banyaknya perdebatan yang simpang-siur di internet. Mulai dari yang menyalahkan agama sebagai penyemai terorisme, menyangkal peran agama, hingga narasi konspiratif bahwa ada pihak ketiga yang bermaksud mengerdilkan Islam.
Narasi konspiratif yang terakhir ini sempat diutarakan oleh artis “hijrah”, Arie Untung. Dia mengomentari postingan Imam Besar Masjid New York Shamsi Ali. Sebelumnya, Shamsi Ali menyayangkan bagaimana pelaku teror dapat menyelinap di kawasan Mabes Polri yang ketat pengawasannya. Arie Untung lantas mengomentari dengan nada satir seakan-akan penembakan teroris itu adalah settingan belaka, mulai dari pelaku yang mengenakan cadar, membawa pistol, serta direkam sebelum tragedi terjadi.
Secara verbatim, komentar Arie Untung itu bunyinya: “Kameranya bukan CCTV, mungkin lagi iseng atau indigo ngeshoot lahan parkir, eh taunya ada kejadian tak terduga kok bisa pas record sebelum ada baku tembak,” tulis Arie di kolom komentar di Instagram.
Narasi konspiratif semacam ini amat disayangkan, apalagi sampai muncul dari figur publik semacam Arie Untung. Ketika masyarakat sedang berduka dan bersimpati pada korban teror, maka narasi ambigu semacam ini bisa berbahaya, Ia berpotensi menimbulkan perpecahan, saling curiga antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Terang saja, banyak orang yang tidak terima ketika aksi terorisme dikait-kaitkan dengan Islam. Pernyataan Presiden Jokowi dan MUI juga mengonfirmasi bahwa aksi teror tidak seharusnya dikaitkan dengan agama, kendati jelas-jelas banyak pelaku teror membenarkan aksi mereka dengan landasan agama.
Namun, kita juga tak bisa menyangkal ketika organisasi yang terjerat kasus terorisme atau pelaku yang ditangkap mengaku bahwa aksi teror mereka adalah bentuk jihad untuk membela agama. Mau tak mau, harus diakui bahwa ajaran Islam dapat menjadi doktrin manipulatif dari organisasi tertentu untuk membenarkan aksi kekerasan.
Sarjoko S. (2021) menyatakan bahwa cara untuk mengurangi aksi terorisme ini pertama-pertama harus dimulai dengan mengakui bahwa memang ada oknum di tubuh Islam. Aksi terorisme dan kekerasan atas nama agama harus dibayangkan sebagai penyakit, dalam bahasa Sarjoko, “kanker” yang harus diobati. Menjalani pengobatan terkadang harus melalui serangkaian prosedur menyakitkan. Namun, harus ada pengorbanan jika ingin sembuh kembali.
Pembelaan tanpa bukti, apalagi dengan menuduh pihak lain berupaya merusak “nama” Islam bukanlah solusi. Pernyataan konspiratif dari figur publik dapat berbahaya. Tak jarang, banyak fan dari artis tersebut ikut-ikutan “paham” dari idolanya. Fenomena artis hijrah seperti Arie Untung tak lepas dari pusaran tersebut.
Tak dimungkiri, artis-artis hijrah seperti Arie Untung, Teuku Wisnu, Shireen Sungkar, Dewi Sandra, dan pesohor lainnya punya daya tawar tersendiri untuk menyemarakkan corak baru dalam beragama. Ranah pemikiran Islam dan keagamaan berbaur dengan budaya pop. Artis yang tergolong pekerja seni mem-branding Islam dengan cara yang segar, tak jarang mereka turut pula berkomentar terhadap isu-isu kekinian, termasuk yang dilakukan Arie Untung di atas.
Fenomena hijab lebar, celana cingkrang, janggut lebat, dan atribut keislaman yang dulunya dianggap kuno dan kampungan di-branding ulang oleh para artis hijrah. Atribut yang sama juga dikenakan ZA (mengenakan cadar), pelaku teror di Mabes Polri itu. Namun, hijrah yang dilakukan artis secara tidak langsung mempersempit makna hijrah itu sendiri. Bahkan, ada anggapan bahwa seseorang tak cukup islami sebelum ia berhijrah. Hal ini menjadi bermasalah jika sampai menafikan kelompok Islam yang lain, serta menyatakan bahwa paham hijrah dan Islam yang dianut paling benar. Apalagi sampai membela mati-matian kelompok Islam tertentu dan menyebarkan narasi konspiratif bahwa ada pihak lain yang bermaksud mengkerdilkannya.
Di sini, saya bukannya bermaksud mengaitkan komentar Arie Untung dengan paham Islam yang melegalkan kekerasan. Namun, pernyataan konspiratifnya tidak bijaksana diutarakan di situasi seperti ini.
Dalam konferensi Center for Inquiry pada 2018, Joseph Uscinski, profesor ilmu politik dari University of Miami menyatakan bahwa narasi konspiratif adalah senjata bagi orang lemah untuk bertahan, atau bahkan menyerang orang kuat. Kekuatan sekaligus kelemahan narasi konspiratif adalah nihilnya pembuktian. Tanpa ada bukti, pernyataan mereka sulit dibantah.
Dengan enggan mengakui bahwa memang ada oknum Islam yang melakukan kekerasan, narasi konspiratif kemudian menyalahkan kekuatan yang tak terlihat: Ada pihak ketiga yang mengatur tindakan teror untuk mengerdilkan Islam.
Siapa pihak ketiga ini? Tidak ada yang tahu. Akibatnya, pihak satu akan menuduh pihak lain. Jika paham ini diyakini banyak orang, perasaan khawatir dan rasa tidak aman akan muncul, yang berujung saling curiga satu sama lain. Untung saja, Arie Untung sudah menghapus komentar yang bernada konspiratif tersebut.