Yang Tersembunyi dari Surat Wasiat Zakiah

Yang Tersembunyi dari Surat Wasiat Zakiah

Menyusul aksi teror di Gereja Katredal di Makasar, seorang terduga teroris melakukan percobaan penembakan di Mabes Polri. Setelah ditembak mati, beredar di media sosial surat wasiat yang diduga milik pelaku. Apa pesan terselubungnya?

Yang Tersembunyi dari Surat Wasiat Zakiah
sumber: Twitter

Seorang terduga simpatisan kelompok ekstrem melakukan percobaan aksi teror di Jakarta. Sasarannya adalah Mabes Polri. Sejurus kemudian, beredar sebuah surat wasiat tulis tangan yang, konon, milik pelaku. Menyusul penemuan surat wasiat tersebut, nama terduga teroris, Zakiyah, menduduki peringkat pertama di trending topic Twitter.

Ada yang menarik dari surat wasiat tersebut. Untuk memahaminya, mari kita bedah tipis-tipis. Tapi sebelumnya, ada baiknya jika kita sepakati bahwa surat tersebut memang ditulis oleh pelaku. Terkesan memaksakan memang, namun anggaplah begitu agar lebih mudah untuk kepentingan teknis.

Pertama, Zakiah menulis surat wasiat dengan Bahasa Indonesia. Artinya, audiens yang sedang disasar oleh penulisnya adalah orang yang menggunakan bahasa serupa. Di sini kita bisa menduga bahwa dia menuliskannya dengan kesadaran kalau surat itu akan menjadi percakapan terakhir, dan karena itu, pesan yang terdapat di dalamnya tetap terbaca dan sampai ke publik, tidak peduli siapapun yang menemukannya kelak.

Benar saja, petugas Mabes Polri membuat upaya Zakiah itu menjadi tidak sia-sia. Ya, dia ditembak mati setelah melakukan aksi penembakan kepada aparat.

Kedua, lewat surat tersebut, Zakiah menulis, begini:

Wahai Mamaku, maafin Zakiah yang belum pernah membalas pemberian keluarga. Mama, ayah jangan lupa senantiasa beribadah kepada Allah SWT, dan jangan tinggalkan sholat. Semoga Allah kumpulkan kembali keluarga di surga. Mama, sekali lagi Zakiah minta maaf, Zakiah sayang banget sama mama tapi Allah lebih menyayangi hamba-nya, makanya Zakiah tempuh jalan ini sebagaimana jalan Nabi/Rasul Allah untuk selamatkan Zakiah, dan dengan izin Allah bisa memberi syafaat untuk mama dan keluarga di akhirat.

Ini adalah paragraf pertama setelah dia membuka surat wasiat dengan salam ala umat Muslim. Dan, perhatikan bahwa Zakiah mengawalinya dengan minta maaf. Ada dua permintaan maaf di paragraf tersebut. Karena minta maaf, berarti penutur tahu bahwa dia pada dasarnya sedang bersalah. Letak kesalahan ini pun turut hadir dalam keterangan berikutnya, yakni soal hutang budi kepada kawan tuturnya, dalam hal ini adalah keluarga, bil khusus Mama. Adapun permintaan maaf berikutnya adalah soal Zakiah yang lebih mengutamakan Allah SWT ketimbang Mama. Ini dibuktikan dengan kata hubung “tapi” (but) yang digunakan oleh penulisnya.

Rupanya, di sini terjadi semacam paradoks. Di satu pihak, Zakiah mengklaim kalau dia sedang menempuh jalannya sendiri karena alasan meneladani Nabi/Rasul Allah. Padahal, di sisi lain, terdapat diktum dalam Islam yang mengajarkan bahwa ridha Allah itu bergantung pada ridha orang tua. Jadi, ini secara tegas menunjukkan watak ideologis dari penutur.

Dengan demikian, menjadi cukup relevan apa yang pernah dibilang Lord Commander John Snow, bahwa “everything before the word ‘but’ is horse shit.” Artinya, sesayang-sayangnya penutur kepada sosok Mama dalam surat tersebut hanyalah ramah-tamah belaka untuk menegaskan posisinya sebagai seorang yang (seolah-olah) patuh secara total kepada Tuhan.

Selanjutnya, kita juga bisa mengidentifikasi perspektif apa yang dominan dan beroperasi di dalam dan melalui teks berupa surat wasiat tersebut. Untuk itu, moda sapaan (mode of adress) di tataran ini menjadi penting, yaitu bagaimana sebuah teks menyapa, melibatkan, dan dalam beberapa hal, mengarahkan khalayak, atau pembaca.

Di sini, Zakiah secara jelas menggunakan moda sapaan imperatif, atau nasihat. Dan, yang namanya nasihat itu biasanya dilakukan dalam ruang yang satu arah. Tidak ada debat, apalagi dialog.

Maka, kita bisa bilang bahwa Zakiah pada prinsipnya sedang mengarahkan audiensnya agar mengamini perspektif yang memosisikan “segala hal di luar ‘Islam’ adalah salah”. Perhatikan teks berikut:

Pesan Zakiah untuk mama dan keluarga, berhenti berhubungan dengan bank (kartu kredit) karena itu riba dan tidak diberkahi Allah. Pesan berikutnya agar Mama berhenti bekerja menjadi dawis yang membantu kepentingan pemerintah tagut. Pesan berikutnya untuk kakak agar di rumah Cibubur jaga dedek dan mama, ibadah kepada Allah dan tinggalkan penghasilan dari yang tidak sesuai ajaran Islam, serta tinggalkan kepercayaan kepada orang-orang yang mengaku mempunyai ilmu, dekati ustad/ulama,  tonton kajian dakwah, tidak membanggakan kafir Ahok, dan memakai hijab kak. Allah yang akan menjamin rezeki kak, maaf ya kak, Zakiah tidak bisa membalas semua pemberian kakak.

Memang, sebagai umat Muslim progresif-moderat-cinta-damai, Anda bisa bilang kalau tidak mungkin publik akan terpengaruh oleh wasiat itu. Walakin, bagaimana jika surat tersebut sampai dibaca oleh orang-orang yang sedang mengalami kerentanan psikologis, atau minimal situasi yang serupa dengan Zakiah saat pertama kali punya motivasi buat gabung bersama kelompok ekstrem?

Mari kita lihat lebih jeli lagi. Buat saya, wasiat ini menarik, karena pesan kepada sosok Ayah hanya cukup pada urusan beribadah, sedangkan kepada sosok Mama adalah agar berhenti bekerja. Uniknya lagi, pesan untuk Mama agar berhenti bekerja itu bukan karena gender, tapi karena persoalan yang lebih ideologis, yakni relasi kerjaan dengan pemerintah yang dianggap thagut sebab bukan berasal dari sistem Islam.

Lebih dari itu, penutur membayangkan bahwa tulang punggung keluarga hendak dibebankan kepada sosok Kakak yang, dalam hal ini, bisa kita duga sebagai perempuan lewat kata kunci “memakai hijab”. Pertanyaannya, kenapa bukan Ayah?

Sejujurnya, saya ingin mengatakan bahwa boleh jadi Zakiah memiliki storage tentang diskursus kesetaraan gender. Hanya saja, sulit untuk membayangkan jika ada orang se-ekstrem itu masih sempat mikir tentang equalitas antara peran laki-laki dan perempuan.

Maka, kemungkinan lain yang bisa kita pindai dari surat itu adalah terdapat persoalan rumah tangga yang cukup serius di dalamnya. Lebih-lebih, di dalam teks tersebut, preferensi politik keluarga juga turut dihadirkan oleh penutur, “tidak membanggakan kafir Ahok”. (Untuk diketahui, perkara perbedaan pilihan politik, apalagi menyangkut kasus Ahok, merupakan isu yang sangat sensitif di segala level)

Jika benar demikian, berarti menjadi maklum kenapa Zakiah bisa terjerumus dalam kelompok teror yang mengandaikan jalan pintas menuju surga, atau sekurang-kurangnya garansi keselamatan di akhirat untuk keluarganya.