Belajar dari Pengalaman Eks Napiter Hendro dan Pepi: Tidak Ada Satu Orang Pun yang Terlahir Sebagai Teroris

Belajar dari Pengalaman Eks Napiter Hendro dan Pepi: Tidak Ada Satu Orang Pun yang Terlahir Sebagai Teroris

“Tidak ada satu orang pun yang terlahir sebagai teroris,” ujar Hendro Fernando, eks napiter yang terafiliasi ke Islamic State of Irak and Syria (ISIS).

Belajar dari Pengalaman Eks Napiter Hendro dan Pepi: Tidak Ada Satu Orang Pun yang Terlahir Sebagai Teroris

“Tidak ada satu orang pun yang terlahir sebagai teroris,” ujar Hendro Fernando, eks napiter yang terafiliasi ke Islamic State of Irak and Syria (ISIS).

Hal itu ia katakan dalam Podcast Cloze the Door bersama dengan seorang eks napiter lainnya, Pepi Fernando yang berjejaring dengan Negara Islam Indonesia (NII). Keduanya merupakan tamu Podcast Deddy Corbuzier yang didatangkan khusus untuk membincang realitas di balik gerakan radikal di Indonesia melalui kaca mata mantan simpatisannya.

Baru mulai perbincangan, Pepi Fernando mengaku pernah berencana untuk melenyapkan Ahmad Dani, Japto Soelistyo Soerjosoemarno, Ulil Abshar Abdalla, dan Gregorius “Gories” Mere dengan bom buku. Akibat doktrin yang ia terima secara konstan dalam NII, ia dengan inisiatif sendiri pernah merencanakan peledakan di Gereja Katedral di Serpong, Tangerang namun tidak meledak karena ia keburu diamankan pihak yang berwenang.

Jika Pepi adalah seorang kombatan di lapangan, maka Hendro memiliki kontribusi berbeda di dalam jaringan ISIS-nya. Ia berperan sebagai pengelola aliran dana dari Suriah ke Indonesia. Ia, salah satunya, mendistribusikan dana sebesar 1.3 Miliar ke Poso, yang kemudian digunakan untuk membeli senjata ke Filipina. Sama seperti Pepi, ia keburu tertangkap sebelum mengurus distribusi dana baru yang lebih fantastis sejumlah 7 Miliar dari Suriah untuk kebutuhan “jihad” di Indonesia.

Perbincangan kedua eks napiter itu memunculkan perspektif menarik tentang bagaimana mereka mulanya terpapar hingga bisa terbebas dari belenggu radikalisme. Salah satu “target prospek” propaganda para radikalis adalah orang yang minim pengetahuan agama. Ibarat gelas kosong, ia mudah diisi oleh cairan apapun, termasuk yang beracun sekalipun, seperti muatan radikal. Namun tidak dengan Pepi. Dalam konteks pengetahuan Islam, Ia tidak berangkat dari nol. Pepi merupakan alumni pesantren, dekat dengan kajian agama sejak kecil, bahkan berkuliah di kampus Islam. Namun nyatanya, ia terpapar juga.

Artinya, bukan soal seberapa banyak isi gelasnya, namun soal kualitas gelas itu sendiri dan alternatif cairan yang bisa dimasukkan. Mudahnya begini, salah satu titik di mana Pepi akhirnya menerima doktrin Islam NII adalah ketika ia merasa kehidupannya “nol”. Mungkin saya bahasakan dengan krisis identitas. NII kemudian datang menawarkan identitas Islam “ideal” yang hilang dari benak Pepi. Ia yang sedang krisis, mau tidak mau menerimanya karena bagaimanapun ia sedang kabur soal agama. Itu soal kualitas gelas.

“Alternatif cairan” yang saya maksud adalah kontra narasi atau gagasan tandingan terhadap doktrin NII. Duduk di Podcast itu, Pepi dan Hendro mengingatkan bahwa kontra narasi sangat penting mengingat propaganda doktrin radikal bekerja begitu efektif dan masif.

Jika Pepi disusupi radikalisme lewat satu celah perjalanan hidupnya, maka Hendro mendapatkan pemahaman itu lewat kajian keislaman sejak kecil. Tidak langsung radikal. Pengajian yang diikutinya itu lekat dengan sikap-sikap intoleransi. Misalnya narasi “kelompok lain salah, ajaran kita-lah yang paling benar”. Sikap itu tumbuh pelan-pelan dalam benak Hendro, terpatri cukup dalam, hingga menganggapnya sebagai bagian dari ajaran Islam yang “ideal”.  Pemahaman bawah sadar itu yang kemudian melahirkan sosok Hendro radikal hingga berbaiat kepada ISIS melalui Aman Abdurrahman pada tahun 2014, pentolan ISIS Indonesia yang saat ini berada di Lapas Nusa Kambangan.

Perbincangan menjadi semakin menarik ketika Deddy Corbuzier menanyakan soal adanya oknum yang mengumpulkan sumbangan dari masjid-masjid daerah yang akhirnya digunakan untuk keperluan “jihad” para teroris.

“Betul,” ujar Hendro.

“Saya sebelum dapat dana-dana besar, saya bikin baitul mal di masjid-masjid. Saya kumpulkan dana itu untuk menanggung kehidupan keluarga para napiter yang masih merah,” lanjutnya.

Ia mengatakan bahwa masjid-masjid itu menjadi semacam pemasok dana tambahan untuk menghidupi para istri dan anak suami-suami yang tertangkap akibat aksi teror. Tidak hanya melalui masjid, Hendro mengaku pernah mengadakan penggalangan dana via media sosial untuk pembangunan pesantren radikal di Poso. Hanya dalam waktu dua bulan, ia berhasil meraup 300 juta.

Akhirnya, Hendro mengatakan bahwa literasi-lah yang membuatnya pelan-pelan lepas dari belenggu radikalisme. Salah satu yang ia konsumsi adalah kisah Raja Najasyi yang menjadi tempat umat Muslim berhijrah dan mencari suaka. Raja Najasyi memang masuk Islam pada akhirnya. Namun yang membuat hati Hendro tersentuh adalah Rasulullah menyolati sang Raja dan tidak mengkafirkannya meskipun sang Raja tidak menggunakan hukum Islam ketika berkuasa, seperti halnya vonis kafir yang sering dilontarkan ISIS kepada kelompok selainnya.

“Banyak teman tersadarkan dengan kisah tersebut,” tutur Hendro.

Pepi dan Hendro merupakan representasi “korban” propaganda radikalisme dari dua kelas yang berbeda. Pepi berangkat dari seorang yang berpendidikan tinggi. Ia mengenyam Islam sejak kecilnya di pesantren hingga masa kuliahnya di universitas Islam ternama. Sedangkan Hendro berangkat dari seorang yang tidak mendapatkan suplai pengetahuan agama yang memadai. Asupan “keislaman” itu ia dapatkan melalui media sosial. Berbekal medsos, ia menemukan pengajian-pengajian kecil. Tanpa institusi pendidikan formal dan wawasan keislaman yang mapan, Hendro pun bisa menjadi seorang radikal.

Perbincangan itu menyiratkan bahwa radikalisme tidak hanya menyasar orang tanpa pengetahuan agama, buktinya Pepi terpapar. Tidak juga memfokuskan pada orang yang sudah punya bekal ilmu pengetahuan Islam yang cukup, faktanya Hendro terjerat. Radikalisme menyasar yang kaya dan yang miskin. Radikalisme menyasar siapapun yang siap digunakan sebagai patron untuk merealisasikan kepentingan politisnya.

Obrolan mereka bertiga juga menyiratkan apresiasi sekaligus “pekerjaan rumah” bagi pemerintah Indonesia. Apresiasi karena negara sudah hadir merangkul para napiter dengan baik, memfasilitasi kebutuhan mereka di tahanan, dan mengupayakan mereka untuk kembali kepada pemahaman yang benar. Namun juga “pekerjaan rumah” bagi negara karena rupanya propaganda radikalisme itu masih masif hingga saat ini. Yang tidak kalah penting, negara juga wajib hadir untuk memfasilitasi hajat hidup eks napiter dan keluarga napiter yang kehilangan sumber nafkahnya. Jika tidak, maka aliran dana organisasi radikal yang akan mensuplai mereka, dan itu bukanlah solusi kesejahteraan yang negara dan kita semua inginkan.

“Paham radikalisme itu lebih berbahaya dibandingkan bom-nya sendiri,” pungkas Deddy Corbuzier.