Apakah Cadar Identik dengan Teroris?

Apakah Cadar Identik dengan Teroris?

Bagi sebagian kelompok muslim, cadar merupakan salah satu bentuk budaya hasil interpretasi ajaran tentang menutup aurat. Secara mendasar, ini tidak berkaitan dengan aksi teror karena dalam keilmuan Islam.

Apakah Cadar Identik dengan Teroris?

Pada hari Selasa pagi tepatnya tanggal 25 Oktober 2022, istana merdeka dihebohkan dengan perempuan bercadar yang menerobos masuk ke dalam istana kepresidenan. Mirisnya lagi, ia membawa pistol yang, mungkin maksudnya, digunakan untuk menyerang orang-orang yang ada di istana kepresidenan. Perempuan dengan baju gamis dan bercadar langsung ditahan oleh aparat keamanan sebelum ia benar-benar menerobos ke istana.

Lagi dan lagi perempuan bercadar menjadi aktor penyerangan pemerintah. Sebelumnya, Bom di Surabaya tahun 2018 yang menyerang Gereja salah satu aktornya adalah perempuan bercadar dengan membawa anaknya. Tiga tahun kemudian, 2021, perempuan bercadar juga menyerang gereja di Makassar. Masih pada tahun yang sama, perempuan bercadar dengan berbaju hitam membawa senjata tajam mendatangi Mabes Polri. Ini adalah deretan perempuan bercadar yang melakukan aksi teror baik terhadap negara maupun umat agama lain.

Islam dan cadar adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Islam mengajarkan bagi perempuan untuk menutup aurat. Salah satu interpretasi atas ajaran tersebut adalah dengan menggunakan cadar bagi muslimah. Bagi sebagian kelompok muslim, cadar merupakan salah satu bentuk budaya hasil interpretasi ajaran tentang menutup aurat. Secara mendasar, ini tidak berkaitan dengan aksi teror karena dalam keilmuan Islam, penggunaan cadar hanya sebatas pada pemahaman tentang menutup aurat dan tidak ada kaitannya dengan gerakan jihad.

Rentetan tindakan ekstemisme yang dilakukan oleh muslimah bercadar menimbulkan dampak islampobia bagi muslim Indonesia sendiri. Ini disebabkan karena rasa takut yang telah terkonstruk oleh fenomena cadar dan teror sering kali terjadi di Indonesia. Islampobia dalam hal ini dapat diinterpretasikan sebagai gejala yang takut terhadap Islam. Ketakutan tersebut dikerucutkan dalam bentuk simbol seperti muslimah bercadar karena seringnya aksi teror yang melibatkan mereka.

Wanita bercadar adalah teroris merupakan stigma yang melekat pada muslimah bercadar. Dari kejadian ini muncul gerakan perempuan bercadar yang mencoba melawan stigma tersebut. Pada tahun 2018 ada fenomena menarik yang dilakukan oleh wanita-wanita bercadar dengan melakukan aksi “peluk saya”. Aksi ini untuk menegaskan bahwa perempuan bercadar bukan semata-mata dipahami sebagai pelaku teror. Meski demikian, aksi teror yang dilakukan oleh perempuan bercadar ke istana negara justru memperkuat lagi wacana islampobia bagi kalangan muslim di Indonesia.

Bukan Cadarnya yang Salah

Tapi harus diingat bahwa stigma tersebut tidaklah benar. Saya meyakini tindakan teror yang dilakukan oleh muslimah bercadar adalah mereka yang memiliki ideologi jihadis. Pola pikir muamalahnya sudah menstigma negara atau pemerintah salah. Pemikiran tentang negara telah dicuci sedemikian rupa sehingga memiliki wacana negara dan pemerintah salah dan harus diserang.

Cadarnya tidak salah namun yang salah adalah pola pikir muslimah itu sendiri yang salah dalam memahami agama. Pemahaman tentang muamalah atas negara, umat agama lain, maupun inter agama diinterpretasikan serigid mungkin sehingga memiliki pandangan yang ekslusif. Misalnya negara dipahami sebagai negara jahiliyah atau toghut karena tidak menerapkan hukum Islam, sehingga perlu untuk dilawan atau melakukan aksi pemberontakan. Jika melihat dari aksi muslimah di atas, tampak bahwa ia memiliki pandangan tentang negara Indonesia adalah negara jahiliyah atau toghut sehingga pemerintahan sebagai simbol negara perlu untuk dilawan.

Gerakan “Peluk Saya” yang dilakukan pada tahun 2018 adalah bukti bahwa cadar tidak selamanya melekat pada teroris. Cadar adalah kekayaan khazanah interpretasi agama yang diyakini oleh sebagian umat Islam. Bisa jadi orang bercadar memang bertujuan untuk melindungi dirinya tanpa memiliki pandangan jihadis. Atau mungkin orang bercadar karena mazhab yang ia ikuti menginterpretasikan ajaran agama demikian tanpa memiliki pandangan jihadis.

Cerita Hesti Sutrisno, muslimah bercadar yang memelihara puluhan anjing liar adalah contoh bagaimana wanita bercadar tidak selamanya teroris. Ia menolong puluhan anjing liar dijalanan agar orang-orang bisa berjalan dengan tenang tanpa rasa takut terhadap anjing. Soal najis jangan ditanya karena dia sudah mengetahui bagaimana bersuci dari najis anjing.

Pemahaman tentang cadar di atas harus diluruskan. Cadar sebagai simbol muslimah pelaku teror bukan untuk menstigma bahwa semua muslimah bercadar adalah salah. Pemahaman ini dapat menimbulkan islampobia bagi kalangan muslim sendiri. Yang benar adalah semua pelaku teror, baik yang bercadar maupun tidak, adalah salah karena dakwah Islam yang benar melalui jalan damai bukan jalan kekerasan.