Mengapa Tidak Ada Lulusan Pesantren yang Jadi Teroris?

Mengapa Tidak Ada Lulusan Pesantren yang Jadi Teroris?

Mengapa Tidak Ada Lulusan Pesantren yang Jadi Teroris?
Santri memaknai kitab kuning saat kilatan kitab di Masjid Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Rabu (8/6). Kiltan kitab kuning tersebut merupakan tradisi di pondok pesantren untuk mengisi bulan suci ramadan. ANTARA FOTO/Syaiful Arif/pras/16

Dalam sebuah perjumpaan, salah seorang sahabat lama (bukan santri) membuka obrolan ringan dan santai dengan sebuah pertanyaan. Katanya, “Mengapa tidak ada lulusan pesantren yang jadi teroris?”, Agak sulit buat saya pribadi untuk langsung menjawab pertanyaan itu, padahal dahulu saya pernah nyantri. Hingga, pertanyaan tersebut menjadi pe-er dan dibawa ke rumah.

Pertanyaan ini juga perlu dikonfirmasi terlebih dahulu, sekaligus dibandingkan dengan berbagai data yang ada. Jika memang benar, tidak ada sama sekali alumni pesantren yang jadi teroris, sepertinya saya dan Anda perlu mencari jawabannya.

Sambil membaca kembali buku-buku putih dan menghubung-hubungkan memori lama, saya jadi ingat turats (kitab kuning) yang menjadi alat transmisi keilmuan keislaman ala pesantren. Seingat saya, melalui kitab kuning, pesantren dan kiai-nya berikhtiar merawat tradisi intelektual keilmuan yang mutawatir dari generasi ke generasi.

Kitab kuning merupakan identitas paling utama yang melekat pada pesantren, sehingga banyak kalangan mengatakan bahwa kitab kuning merupakan salah satu unsur dalam pesantren yang sudah mapan dan menjadi bagian dari pesantren itu sendiri (Assegaf, 2007: 90, Mastuhu, 1994: 25).

Karakteristik yang dikembangkan lebih mengarah pada upaya untuk mengharmonisasi ajaran Islam dan keindonesiaan yang dibangun secara seimbang sebagai dasar penanaman nilai-nilai keislaman yang toleran, inklusif, dan moderat, serta mengutamakan pemahaman kemaslahatan dan kebermanfaatan umat dengan tetap melestarikan tradisi dan budaya lokal sebagai bagian dari sejarah yang tidak bisa dipisahkan dari Bangsa Indonesia.

Oleh para kiai, warisan kitab-kitab kuning selalu dikreasi untuk terus melaju dengan tantangan zaman. Kreasi tersebut berbentuk aneka ragam, mulai dari kitab syarah, khulashah, mukhtasar, hingga menulis kitab baru dalam beragam bahasa.

Bila merunut hubungan guru dan murid dalam tradisi kitab kuning di pesantren, tentu tidak terlepas dari hubungan intelektual keagamaan dengan para ulama Haramayn dan Hadramaut, tempat di mana banyak para pemimpin pesantren belajar agama.

Sebagaimana dikatakan Azyumardi Azra bahwa pengaruh madrasah-madrasah yang berada di Timur Tengah, baik yang dilihat maupun yang dipelajari oleh para ulama Nusantara yang sedang berhaji atau menuntut ilmu di pusat Islam tersebut memiliki pengaruh penting terhadap tradisi keilmuan di pesantren. Inilah kekhasan yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan Islam lain di Indonesia yakni pesantren memiliki jejaring, silsilah, sanad, maupun genealogi yang berkelindan dan mementukan tingkat pemahaman dan kualitas keulamaan seseorang.

Literasi kitab kuning yang diajarkan di pesantren jumlahnya sangat banyak, namun secara umum yang banyak dimiliki dan diajarkan para kiai adala kitab-kitab fikih, terutama yang bermadzhab Syafii. Riset Martin Van Bruinessen menyatakan, kitab-kitab kuning yang yang beredar di kalangan pesantren di Indonesia didominasi kitab-kitab fikih bermadzhab Syafi’i.

Terhitung sejak abad 20 jumlahnya mencapai 900 judul yang meliputi fikih 20%, dan sisanya adalah ushuluddin 17%, bahasa Arab nahwu sharaf balaghah 12%, hadis 8%, tasawuf 7%, akhlak 6%, pedoman doa mujarrobat 5%, dan karya karya pujian kepada nabi Muhammad, qishas al-anbiya, mawlid, manaqib berjumlah 6 (Bruinessen, 1999: 228-229).

Umumnya, kajian-kajian dalam kitab kuning berisi beragam pendapat yang berbeda dari para ulama, terutama ulama fikih yang sudah menjadi entitas tersendiri di pesantren yang diikuti oleh para santri dan mayoritas umat Islam Indonesia. Keragaman dan perbedaan pendapat dalam hukum Islam atau fikih tersebut memberikan sumbangan besar bagi kehidupan dan pendidikan di pesantren.

Tentu, melalui penguasaan literasi kitab klasik atau kitab kuning yang dikembangkan oleh para ulama tersebut secara khusus para santri akan mengadopsi dan mengikuti pesan-pesan keragaman pendapat dari para ulama yang berbeda. Sehingga santri terbiasa menghadapi perbedaan dan lambat laun akan memberntuk cara pandangnya melihat perbedaan. Untuk itu, karakteristik moderat yang dimiliki pesantren tidak bisa dipisahkan dari penghormatan pendapat dari jumhur ulama mazhab yang beragam, sehingga pengetahuan tentang keragaman mazhab menjadi faktor utama dalam pengembangan moderasi beragama di Indonesia.

Pada posisi seperti ini, memahami sumber pengetahuan ajaran Islam dalam kitab kuning menjadi bagian dari indikator pembentukan nilai keislaman yang inklusif dan moderat. Keluasan dan kedalaman (tabahhuron wa ta’ammuqon) pengetahuan ajaran keislaman akan membawa individu atau kelompok muslim tertentu bersikap lebih bijak, luwes dan luas (jero elmune, bahasa Jawa). Sebaliknya, pemahaman keislaman yang tidak dibangun dari kedalaman dan keluasan akan pengetahuan ajaran Islam akan mengarah pada bentuk keislaman yang kaku, bahkan tidak menutup kemungkinan akan canderung memunculkan tensi ketegangan di masyarakat.

Kondisi ini tentu saja juga akan berdampak pada munculnya klaim kebenaran yang tidak hanya mengarah pada kesenjangan di masyarakat yang berbeda agama (non-muslim), namun juga mengarah pada sesama masyarakat muslim, sehingga realitas seperti ini akan bertolak belakang dari spirit ajaran keislaman dalam mengembangkan prinsip ummatan wasathan bagi keragaman bangsa Indonesia. Pemahaman keagamaan yang semata-mata didasarkan pada normativitas ajaran agama yang menjauh dari konteks kebangsaan tidak berbanding lurus dengan semangat pengembangan sikap toleransi.

Hatta, tindakan teror atas nama agama dan sikap reaktif berlebihan hampir tidak pernah terlintas dalam pikiran dan laku para santri yang terbiasa dengan keragaman dan perbedaan. Nah, bagaimana kalau ada lulusan pesantren yang ternyata jadi teroris? Ya mudah menjawabnya, dapat dipastikan ilmunya belum luas dan dalam. Rupanya, beragama tidak cukup bermodal semangat, tapi juga disertai ilmu yang memadai. Mungkin begitu Sahabat. (AN)

Wallahu A’lam.