Seringkali kita dihadapkan pada masalah atau tugas sehari-hari, lalu kita berpikir bagaimana memecahkan masalah tersebut. Memilih sekolah tempat kita belajar, menentukan pekerjaan, membangun rumah yang akan dijadikan tempat tinggal, memilih pasangan untuk dijadikan suami/isteri, dan seterusnya.
Kita kemudian menggunakan kemampuan akal kita untuk berpikir, menimbang, apa kelebihan dan kekurangan atas pilihan ini atau pilihan yang itu. Mempertimbangkan apa konsekuensinya, akibat atau dampak yang ditimbulkan atas pilihan atau keputusan yang telah diambil.
Persoalan akan lebih kompleks manakala persoalan yang akan dipilih dan diputuskan menyangkut orang lain, seperti: pasangan, keluarga besar, lingkungan RT. Tentu saja akan lebih rumit lagi jika lingkupnya lebih luas: kabupaten, propinsi, atau negara. Itulah kenapa seorang pemimpin, semakin tinggi level jabatannya semakin dituntut lebih cakap dalam berpikir untuk memgambil keputusan yang bersifat publik.
Demikian juga dalam mengambil keputusan terkait persoalan keagamaan, dibutuhkan pertimbangan yang matang. Melihat persoalan tidak dari kacamata yang sempit. Atau jika, persoalan yang harus diputuskan menyangkut orang banyak, maka cara mengambil keputusan tidak boleh dilakukan dengan gegabah. Seperti, hanya dengan mendengarkan pendapat dari satu pihak, dan mengabaikan pihak yang lain. Apalagi jika memutuskan sesuatu di tengah situsi konflik, seringkali keputusan yang diambil dengan gegabah seringkali memicu konflik menjadi lebih besar atau meluas.
Masih hangat dalam ingatan publik, kasus yang dialami oleh mantan gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang berujung pada vonis 2 tahun penjara. Bermula dari adanya orang yang mempermasalahkan pidato Ahok di kepulauan seribu yang dianggap melecehkan agama. Kemudian diikuti dengan munculnya pandangan keagamaan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengatakan bahwa Ahok melukai umat Islam dan melecehkan agama Islam.
Pertanyaannya, apakah MUI pada saat itu juga memanggil pihak Ahok, mendengarkan kesaksiannya, melakukan klarifikasi (tabayun)? Bukankah pendapat keagamaan yang dimunculkan MUI ke publik justru menyebabkan keterbelahan masyarakat antara yang pro dan kontra mengingat saat itu sedang menghadapi situasi pemilihan gubernur?
Banyak kasus lain yang telah diputuskan hanya dengan mendengarkan pendapat satu pihak. Pendapat tentang kasus Meiliana oleh MUI daerah diambil tanpa menghiraukan pendapat dari pihak Meiliana. Pendapat tentang Islam Nusantara diputuskan tanpa terlebih dahulu meminta penjelasan dari pihak NU yang mengusung konsep Islam Nusantara.
Orang buru-buru memvonis bersalah orang lain, dengan menggunakan argumentasi dan dalil yang memperkuat pandangannya. Ayat al-Qur’an atau Hadits dikeluarkan sebagai senjata untuk mendukung bahwa pendapat yang disertai dalil tersebut sudah paling benar.
Padahal di dalam syariat Islam, kita diperintahkan untuk mendayagunakan nalar (akal sehat) untuk melihat sesuatu. Selain dalil naqli berupa nash (ayat atau Hadits), juga perlu mendekati masalah dengan dalil ‘aqli (nalar). Untuk mengetengahkan dalil nash pun tidak boleh sembarangan, namun perlu perangkat ilmu-ilmu yang lain. Ilmu tafsir dengan berbagai perangkat lain seperti asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) atau asbabul wurud (sebab turunnya Hadits) untuk mengetahui konteks yang melingkupi teks (nash). Dari sini baru kemudian bisa dianalisis, apakah ada kesamaan konteks tersebut dengan kasus, situasi atau kondisi yang terjadi sekarang.
Dalam upaya mencari alasan hukum (‘illah), atau causa legist dalam istilah hukum, seorang ahli hukum islam jelas perlu dibekali ilmu tentang logika (manthiq) sebagai pisau analisa. Proses ini jelas menggunakan nalar manusia ahli tersebut. Seorang mujtahid tidak hanya piawai dalam menangkap pesan teks (takhrijul manath), tapi juga perlu melakukan seleksi alasan-alasan yang dikeluarkan dari teks dan mengambil yang paling sesuai (tanqih al-manath). Baru kemudian menerapkan pesan atau alasan yang sudah terseleksi tersebut pada masalah-masalah yang tidak tersebut dalam teks (tahqiq almanath.
Inilah alasan mengapa seseorang atau kelompok tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan hukum. Bahkan yang paling utama jika menghadapi suatu perkara, seseorang perlu mengumpulkan bukti-bukti yang kuat, penjelasan yang benar-benar terang dari pakar atau ahli, hasil kesaksian dari berbagai pihak (tidak satu pihak), sehingga diperoleh gambaran masalah dan landasan yang kuat dan komprehensif. Bahkan jika pun sudah diambil sebuh keputusan hukum, perlu dipertimbangkan lagi apakah perlu dipublikasikan atau tidak demi kemaslahatan masyarakat luas yang beraneka-ragam kelompok dengan berbagai kepentingan yang ada.
Di tangan para mujtahid yang alim dan mulia, keputusan hukum yang bersandar al-Qur’an dan Hadits, hadir sebagai rahmat dan membawa kemaslahatan bagi manusia. Seperti tangan seorang petani ulung yang dengan segala ilmu dan daya upayanya mampu menghasilkan buah yang manis dan lezat dari pohonnya. Wallahu a’lam.