
Jika agama direduksi sekadar menjadi fanatisme buta layaknya dukungan terhadap klub sepak bola, apa yang kemudian membedakan seorang beriman dari suporter yang membakar stadion saat timnya kalah? Dalam salah satu konten mereka, Felix Siauw dan Raymond Chin menbuat analogi bahwa memeluk agama tak jauh berbeda dari kecintaan fanatik terhadap sebuah klub, seolah-olah keduanya sama-sama produk preferensi subjektif belaka. Namun, benarkah demikian?
Ketika pemain dan suporter Real Madrid mengamuk, memaki wasit, bahkan melakukan vandalisme akibat keputusan yang dianggap merugikan, apakah kemarahan serupa bisa dibenarkan dalam konteks agama? Jelas tidak. Sebab, terlalu banyak jurang pemisah antara keyakinan religius yang melibatkan nilai transendental dan etika, dengan euforia sepak bola yang kerap berujung pada emosi sesaat. Agama bukan sekadar soal “kemenangan” atau “kekalahan,” dia terlalu disederhanakan jika diibaratkan dengan dukungan atau kecintaan atas klub bola.
Menjelaskan agama dengan sederhana dan mudah bisa saja alasan yang diajukan Felix Siauw. Namun, dalih ini tidak lantas kita menjadi serampangan. Agama jika dijelaskan dengan dalih fanatisme tersebut, malah menjatuhkan nilai-nilai suci dan sakral di dalamnya. Kok bisa?
***
Muhammad Fayyadl, penulis, menyebut agama adalah kenyataan terdekat sekaligus misteri terjauh. “Ia begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari…, tetapi agama juga kadang ( dan bahkan sering) tampil dengan segenap misterinya.” Tulis Fayyadl. Dengan kata lain, Fayyadl menyebutkan bahwa kita sebenarnya hanya memiliki “Pengalaman beragama,” yakni agama sebagaimana dialami, betapun abstrak dan tak mudahnya pengalaman tersebut dirumuskan.
Penjelasan Fayyadl selaras dengan bagaimana Derrida mengkonstruksikan perbedaan antara iman dan pengetahuan agama. Dalam iman, bagi Derrida, tak ada keinginan untuk sepenuhnya memahami Yang Lain, sebutan Derrida untuk Tuhan. Karena bagi orang yang menjalaninya, Yang Lain adalah misteri.
“Ia ada bukan untuk saya ketahui, bukan pula untuk saya jelajahi, lantaran setiap pengetahuan selalu mengandalkan objek, dan objek itu adalah Yang Lain. Padahal, tatkala seseorang menjadikan Yang Lain sebagai objeknya, maka seketika itu juga Yang Diimani tak lagi menjadi misteri” tulis Derrida.
Akhirnya, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa, “iman adalah pengalaman dengan yang tak mungkin. Pengalaman yang menjelajah menuju batas-batas terjauh dari imajinasi dan harapan kita.” Tulis Fayyadl. Menghadirkan analogi klub bola untuk menggambarkan iman kita hanya bergantung pada sisi fanatisme, bahkan sesekali buta. Agama bukan sekedar urusan emosi atau kecintaan belaka. Namun, ada sesuatu yang lebih dalam yang bisa dirasakan, walaupun “kadang” sulit dipahami.
***
Dalam konten Youtube Raymond Chin bersama Felix Siauw selama Ramadan, selain narasi politik, logika lebih banyak disebutkan sebagai fondasi beragama bagi mereka. Diskusi dengan banyak tokoh pun didorong
Bisakah kita beragama dengan nalar atau seluruhnya bersandar pada logika? Jawaban ini sebenarnya sudah dan terus ditanyakan hingga hari ini.
Kala awal masuk kuliah, saat itu ada satu buku yang sedang ngetrend di kalangan mahasiswa, yakni “Sejarah Tuhan” yang ditulis oleh Karen Amstrong. Banyak mahasiswa waktu itu menghujat dan takut membacanya. Saya pun memberanikan diri untuk membacanya. Kala khatam, saya malah mendapati apa yang disampaikan oleh Karen Amstrong tak seperti apa yang ditakuti selama ini. Apa itu? dan apa hubungannya dengan apa yang dilakukan oleh Felix Siauw?
Kesimpulan buku “Sejarah Tuhan” sebenarnya bertumpu pada narasi pemahaman manusia atas apa yang kita sebut Tuhan. Perjalanan manusia selama ribuan tahun dalam memahami Tuhan, termasuk lewat agama, yang direkam oleh Karen. Dalam buku tersebut juga dijelaskan bagaimana konsepsi akan Tuhan tak jarang berujung pada aksi-aksi kekerasan. Dan sebagian besar karena fanatisme.
Di titik inilah, analogi Felix Siauw tidak bisa dipandang remeh. Sebab, agama bisa saja terjebak pada urusan pembelaan buta. Kita akan saling banter, mengejek, bahkan bisa saja melakukan kekerasan pada mereka yang berbeda. Jika berkaca dengan penjelasan Derrida akan Tuhan dan agama. Maka kita sudah seharusnya menempatkan agama sebagai perjalanan spiritual seseorang yang sangat personal.
Pandangan Derrida mungkin terkesan mengesampingan agama. Namun, apa yang dihadirkan Derrida bisa kita pahami dengan menempatkan beragama sebagai pengalaman unik nan personal. Dia tidak bisa hanya dikotakkan dalam bungkus fanatisme belaka. Selain itu, jika agama dihadirkan dengan wajah
Analogi Felix, mungkin, terlihat logis. Agama memang memiliki sisi keberpihakan dan memeluk penuh kebenarannya. Namun di saat bersamaan juga hidup dalam bingkai kemanusiaan, di mana pengalaman dan pengetahuan seseorang akan Tuhan-nya pun memiliki sisi yang sama. Maka, berbahaya sekali jika kita mengamini apa yang disampaikan Felix kemarin. Agama bukan klub bola. Begitu.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin