
Di tengah perayaan Hari Pendidikan Nasional, sejarah dan pencapaian pendidikan alternatif berbasis komunitas seperti pesantren yang sempat terpinggirkan perlu kembali diperbincangkan. Pesantren, sejak masa kolonial berperan sebagai pusat perlawanan dan pembebasan masyarakat, justru mengalami nasib tragis di era Orde Baru.
Pemerintahan Soeharto tidak hanya meminggirkan peran politik Nahdlatul Ulama (NU), tetapi juga merancang strategi sistematis menjinakkan para kiai dan membungkam pesantren sebagai ruang otonom pendidikan dan transformasi sosial. Paska 1965, langkah awal Soeharto menundukkan NU dimulai dari fusi partai-partai politik Islam pada tahun 1973.
Masa itu, media menyebutnya “kawin paksa.” Partai NU digabungkan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), bersama Parmusi, PSII, dan Perti. Strategi ini dilakukan bukan memperkuat Islam politik, tetapi melumpuhkannya melalui birokratisasi dan pengaburan identitas ideologis atau de-ideologisasi.
Andree Feillard menjelaskan, fusi ini bagian dari strategi Orde Baru membentuk sistem politik yang lebih bisa dikendalikan kekuasaan. Dalam bukunya NU vis a vis Negara (1999), Feillard menyebut bahwa PPP dibiarkan hidup bukan untuk bersaing, tetapi “disekat, didisiplinkan, dan dijinakkan”. Dengan menyatukan seluruh partai Islam ke dalam satu wadah, Orde Baru menciptakan semacam “kandang oposisi” yang bisa diawasi sepenuhnya.
Khittah sebagai Kompromi Politik Paksa
Ketika PPP menjadi terlalu riuh, NU didesak keluar dari partai tersebut. Maka lahirlah wacana “kembali ke khittah 1926” yang dikampanyekan pada Muktamar Situbondo 1984.
NU secara formal melepaskan atribut politiknya dan kembali menjadi organisasi sosial-keagamaan. Namun, pilihan ini tidak sepenuhnya lahir dari keinginan otonom.
Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, dan Pencarian Wacana Baru (1995) menyebut bahwa “kembali ke khittah” adalah langkah taktis bertahan hidup di tengah tekanan penguasa yang begitu kuat. Kiai-kiai yang mempertahankan garis politik dituduh berupaya melawan pemerintah. Dibayang-bayangi represi militeristik, bahkan kehilangan izin operasional pesantrennya. Penguasa menggunakan narasi netralitas agama mendelegitimasi oposisi politik berbasis kelompok Islam.
Salah satu strategi Soeharto yang paling halus tapi efektif adalah kooptasi simbolik terhadap para kiai.
Para kiai karismatik dengan kekuatan basis massa didekati dan dirangkul. Tidak tanggung-tanggung, bahkan diberi panggung dan dana guna mengamankan dukungan kultural terhadap rezim.
Peneliti antropologi George Quinn dalam The Learner’s Guide to Indonesian Culture (2001) menyebut ini sebagai bentuk “political patronage in Islamic clothing”, patronase politik yang dibungkus legitimasi agama. Kiai yang bersedia tunduk pada penguasa diberi akses ke proyek pembangunan, lembaga-lembaga resmi seperti MUI dan BP7, bahkan ditawari kursi di DPR atau DPD.
Frasa political patronage in Islamic clothing bukan sekadar permainan kata, tetapi sebuah kritik tajam terhadap cara rezim otoriter Orde Baru memanipulasi simbol dan struktur keagamaan guna mengukuhkan kekuasaan. Di bawah kepemimpinan Soeharto, pendekatan ini menjadi bagian dari strategi besar depolitisisasi Islam sekaligus kooptasi pesantren dan elite kiai melalui mekanisme patronase negara yang dibungkus kesalehan semu.
Setelah peristiwa 1 Oktober 1965 dan jatuhnya Soekarno, Soeharto mewarisi negara yang rapuh dan penuh ketidakpastian. Politik kacau balau, ekonomi hancur dan masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemerintah.
Baca juga: Tuntutan Pembubaran Banser: Siasat Jalanan Orde Baru
Soeharto melihat kekuatan Islam memiliki potensi mobilisasi sosial-politik sangat besar. Namun alih-alih memberikan ruang setara bagi Islam politik untuk berkembang, ia memilih mengontrolnya dari dalam dengan cara membangun sistem patronase: memberi keuntungan material dan simbolik kepada elite agama, sambil menyingkirkan potensi kritik dari basis massa pesantren dan partai Islam.
Sejak awal 1970-an, negara mengadopsi strategi Islamisasi dari atas, sebuah proses kooptasi elite keagamaan ke dalam struktur negara. Kiai-kiai pesantren besar diberi jabatan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), proyek-proyek pembangunan pesantren digelontorkan besar-besaran, dan sejumlah ormas Islam seperti NU diundang masuk ke meja kekuasaan, namun dengan syarat loyalitas total kepada Soeharto. Inilah bentuk nyata dari political patronage in Islamic clothing: ketaatan dibalas jabatan. Kritik dibalas dengan marginalisasi. Sementara segala hal dibungkus dalam narasi Islam yang “taat pada ulil amri.”
Di sisi lain, kiai-kiai kritis seperti KH Abdurrahman Wahid, KH Sahal Mahfudz, KH Bisri Mustofa, KH Mahrus Ali dari Pesantren Lirboyo, Abuya Dimyati dari Banten, Kiai Hasan Basri dan sejumlah kiai berpengaruh lainnya menjaga jarak, diawasi ketat bahkan dihambat dan direpresi dalam mobilitas berdakwah.
Dalam banyak kasus, pesantren yang dipimpin oleh tokoh-tokoh ini mengalami tekanan struktural melalui penolakan izin pembangunan, pengawasan ketat intelijen, dan mengalami marjinalisasi dari program-program pemerintah secara dramatik.
George Quinn dalam Bandit Saints of Java (2019) menyebut praktik ini sebagai “Islamic legitimacy in service of political stability”, sebuah upaya kooptasi di mana kekuatan agama tidak lagi menjadi alat kritik struktural, melainkan alat pengukuhan status quo. Bukan hanya kiai yang dilibatkan, tetapi juga institusi keulamaan seperti MUI yang dibentuk tahun 1975. MUI bukanlah representasi otonom ulama, tetapi semacam “lembaga fatwa negara” atau “mitra pemerintah dalam pembangunan” yang seringkali mengabsahkan kebijakan penguasa, termasuk yang tidak populis, atas nama kemaslahatan dan stabilitas.
Dalam kerangka patronase ini pesantren lumpuh. Tidak lagi mengambil peran sebagai ruang perlawanan atas ketidakadilan seperti pada masa kolonial atau revolusi kemerdekaan. Sebaliknya, ia direduksi menjadi agen pembangunan yang tunduk pada program-program penguasa seperti Pelita dan P4. Sejumlah pesantren besar seperti Tebuireng dan Lirboyo memang tetap mempertahankan independensi, namun banyak pesantren lain perlahan masuk ke dalam orbit kekuasaan karena ketergantungan terhadap bantuan pemerintah.
Feillard menjelaskan, salah satu organisasi yang mendapat dukungan penuh adalah Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI), yang didirikan sejak 1956 tetapi semakin menguat pasca 1965. GUPPI menjadi kendaraan penguasa yang kemudian bekerjasama dengan Majelis Dakwah Islamiyah (MDI) Golkar mengintervensi pendidikan Islam, terutama membina madrasah-madrasah dan lembaga dakwah di luar jejaring tradisional seperti pesantren Nahdlatul Ulama (NU), yang saat itu mulai menunjukkan sikap kritis terhadap berbagai kebijakan sentralistik Orde Baru.
Melalui GUPPI, pemerintah Orde Baru menjalankan politik depolitisasi dan kooptasi terhadap pendidikan Islam dengan memberikan berbagai fasilitas, pengakuan formal, dan bantuan kepada madrasah yang tunduk pada kontrol negara. Sementara itu, pesantren-pesantren NU yang mempertahankan kemandirian kultural dan ideologisnya justru mengalami marginalisasi, baik secara administratif maupun distribusi sumber daya. GUPPI mendorong formalisasi pendidikan Islam yang seragam dan berbasis kurikulum negara, yang secara tidak langsung mengikis model pendidikan pesantren yang berbasis kitab kuning, pengajaran non-formal, dan otoritas keilmuan kiai yang independen.
Baca juga: Kelompok Minoritas Selalu Jadi Korban Stabilitas Palsu Sejak Orde Baru hingga Masa Kini
Dampak kebijakan ini adalah melemahnya posisi pesantren NU dalam medan politik pendidikan Islam. Banyak pesantren terpaksa menyesuaikan diri dengan standar birokratik negara atau menghadapi risiko kehilangan akses terhadap sumber daya. Dalam jangka panjang, peran GUPPI sebagai kepanjangan tangan negara berhasil menandingi otoritas sosial-budaya pesantren NU di berbagai daerah, terutama di luar basis tradisional Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Lebih jauh, strategi menjinakkan NU juga dilakukan.
Setelah mundurnya KH Idham Chalid dari ketua umum NU (1971), dan melemahnya kekuatan politik Islam dalam pemilu 1977, NU ditekan meninggalkan gelanggang politik praktis. Akhirnya, melalui Muktamar Situbondo 1984, NU di bawah KH Abdurrahman Wahid mengambil sikap kembali ke khittah 1926. Sebuah langkah taktis keluar dari politik praktis, namun sekaligus menjadi titik balik kooptasi Orde Baru atas NU. NU pada akhirnya berperan sebagai mitra pembangunan, bukan lagi kekuatan ideologis penyeimbang kekuasaan.
Namun, kooptasi ini bukan tanpa resistensi. Gus Dur secara konsisten menolak tunduk pada patronase Orde Baru. Ia memanfaatkan ruang sipil dan budaya membangun kembali otonomi NU. Menghidupkan diskursus Islam progresif, serta mengkritik fundamentalisme maupun otoritarianisme. Perlawanan ini menunjukkan bahwa Islamic clothing tidak selalu identik dengan loyalitas; kadang justru menjadi simbol oposisi kultural terhadap negara.
Tetapi dalam banyak kasus, patronase ini menciptakan hubungan bersifat transaksional dan merusak. Legitimasi agama dikomodifikasi, ditransaksikan selayaknya barang dagangan, sementara agenda keagamaan direduksi menjadi alat kontrol sosial. Dalam bahasa Pierre Bourdieu, negara menciptakan capital religius baru yang dapat diinvestasikan para elite agama demi memperoleh keuntungan sosial dan politik. Tentu saja sejauh mereka tidak mengganggu struktur dominasi yang ada.
Dalam konteks Indonesia kontemporer, warisan patronase ini tetap hidup. Simbol-simbol Islam, dari peci, sorban, status keturunan, hingga gelar “ustaz milenial” terus digunakan dalam kampanye politik, pembentukan citra pemimpin, dan distribusi proyek-proyek keumatan. Namun pertanyaannya tetap sama: apakah semua ini merupakan ekspresi tulus keagamaan, atau sekadar Islamic clothing yang menutupi praktik-praktik kekuasaan?
Birokratisasi Pesantren Membunuh Otonomi Pendidikan
Karel A. Steenbrink dalam bukunya Pesantren, Madrasah, Sekolah (1986) menjelaskan pesantren sebagai entitas pendidikan berbasis komunitas, memiliki cara belajar dan struktur yang khas. Namun, Orde Baru secara sistematis mencoba memasukkan pesantren ke dalam kerangka pendidikan nasional yang sentralistis dan teknokratis. Penelitian Steenbrink berlangsung 1970an menggambarkan adanya perubahan pendidikan Islam melalui Kementerian Agama di bawah kendali rezim Orde Baru.
Pesantren dipaksa “mengikuti arus modernisasi ala penguasa”, yakni menyelaraskan kurikulum mereka dengan sistem pendidikan nasional. Kitab kuning, halaqah, dan metode sorogan dianggap tertinggal dan tidak menjamin masa depan. Sebagai gantinya, pesantren mengadopsi mata pelajaran umum seperti IPA, Matematika, dan Bahasa Indonesia guna mendapat pengakuan legal.
Upaya ini bisa dikatakan sebagai “asimilasi epistemik paksa” yang menyebabkan pesantren kehilangan karakter khasnya. Penguasa tidak mengakui nilai-nilai pendidikan yang mempertimbangkan lokalitas kecuali dengan kaca mata modernisasi atas nama pembangunan.
Hegemoni Ideologi dan Represi Kultural
Langkah berikutnya adalah menghegemoni nilai dan ideologi di ruang-ruang pesantren. UU Organisasi Kemasyarakatan 1985 mewajibkan semua ormas, termasuk NU dan lembaga pendidikannya menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Penolakan berarti ancaman pembubaran. Kiai-kiai yang menolak atau ragu terhadap asas tunggal dianggap sebagai anti-negara. Ceramah mereka disensor, pengajian diawasi, dan gerakannya dibatasi. Penguasa telah membentuk hegemoni budaya, di mana otoritas tidak hanya ditegakkan dengan kekerasan, tetapi dengan menyusup ke dalam sistem nilai masyarakat.
Strategi ini sangat terlihat dalam pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975. Lembaga ini bukan hanya forum ulama, tapi alat negara untuk mendisiplinkan narasi keagamaan. Dalam struktur MUI di dalamnya duduk para petinggi ABRI aktif dan pensiunan. Sejumlah fatwa MUI kerap digunakan mendukung kebijakan pemerintah, sementara perbedaan pendapat para ulama pesantren dituduh “tidak sejalan dengan garis pembangunan”.
Orde Baru juga menggunakan ekonomi sebagai alat kontrol.
Pesantren yang kritis diputus dari akses pendanaan, sedangkan pesantren yang tunduk mendapat proyek-proyek pemerintah seperti: pembangunan jalan, masjid, irigasi, bahkan alokasi pupuk bersubsidi. Asep Suryana dalam buku Di Bawah Laras Negara: Religio-Politik Pesantren Era Orde Baru (1966-1996) mencatat bagaimana negara menggunakan bantuan pendidikan sebagai alat membungkam suara-suara alternatif. Banyak pesantren di pedesaan mengalami stagnasi karena akses yang timpang terhadap fasilitas dan dukungan negara.
Politik semacam ini membentuk ketergantungan struktural. Pesantren yang dulunya mandiri, kini berubah jadi entitas yang terpaksa “merayu negara” demi bertahan. Nilai kemandirian dan keberpihakan pada kaum lemah yang dahulu menjadi jiwa pesantren, perlahan memudar dalam pusaran kooptasi dan ketergantungan birokratis.
Baca juga: Jika Soeharto Tidak Pernah Jadi Presiden, Membayangkan RI Jadi Negara Seperti Apa
Warisan Kepedihan dan Kebangkitan
Strategi penjinakan ini memang berhasil dalam jangka pendek: NU dijauhkan dari politik praktis. Otonomi pesantren dipreteli, dan para kiai dibungkam. Namun luka yang ditinggalkan sangat dalam. Generasi santri tumbuh dalam ruang apolitis, menjauh dari wacana keadilan sosial, dan menerima apapun yang diberikan otoritas negara tanpa pertanyaan. Namun sejarah punya cara sendiri menciptakan perlawanan.
Pasca reformasi 1998, NU dan pesantren bangkit kembali sebagai kekuatan masyarakat sipil yang progresif dan dominan. Tokoh-tokoh muda NU muncul dengan gagasan Islam progresif, inklusif, demokratis, dan berpihak pada kaum marjinal. Kiai-kiai kritis kembali bersuara. Pesantren mulai mengembangkan kembali model pendidikan yang transformatif.
Namun warisan otoritarianisme Orde Baru masih membayang-bayangi. Struktur birokrasi pendidikan nasional masih belum sepenuhnya inklusif terhadap pesantren. Banyak pesantren dan madrasah kecil tetap tertinggal secara fasilitas dan sistem. Otonomi epistemik pesantren belum sepenuhnya pulih dari luka akibat dominasi dan hegemoni.
Membaca strategi Orde Baru terhadap kiai dan pesantren yang berafiliasi dengan NU adalah membuka lembar sejarah pendidikan alternatif yang direpresi kekuasaan. Selain sejarah kelam, sekaligus potret bagaimana negara kerap menjadikan pendidikan sebagai alat kekuasaan oleh penguasa, bukan dalam rangka pembebasan membangun kemandirian.
Dalam konteks Hari Pendidikan Nasional, penting bagi kita tidak larut dalam euforia simbolik. Pemerintah membuat program sekolah rakyat di mana selama ini pesantren adalah sekolah rakyat sesungguhnya di kampung dan di pedalaman, bahkan jauh lebih tua sebelum sekolah umum didirikan. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren adalah koreksi historis atas marginalisasi pendidikan Islam tradisional oleh penguasa, terutama sejak Orde Baru. UU ini secara resmi mengakui pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional tanpa memaksa mereka melebur dalam standar pendidikan formal.
Dengan pengakuan ini, pesantren memperoleh akses terhadap anggaran negara, pengakuan ijazah, dan ruang mengembangkan fungsi dakwah serta pemberdayaan sosial tanpa kehilangan metode dan tradisi khasnya seperti kajian kitab kuning dan sistem pengasuhan kiai-santri.
Namun di balik peluang tersebut, terdapat risiko kooptasi dan birokratisasi yang bisa melucuti otonomi pesantren. Negara memang memberi legitimasi, tapi juga membuka celah kontrol terhadap lembaga yang selama ini tumbuh dari akar masyarakat. Kini tantangannya adalah menata kembali pesantren dan memastikan UU ini dijalankan sebagai instrumen pemberdayaan, bukan domestikasi atau komodifikasi yang menjadikan pesantren barang dagangan.
Masa depan pesantren bergantung pada kemampuan komunitas pesantren dan NU itu sendiri untuk menjaga independensi, merespons zaman dengan inovatif, dan tetap kritis terhadap relasi kekuasaan yang coba menyusup melalui keran-keran bantuan negara yang menuntut loyalitas kepada penguasa.