Pandangan H. Agoes Salim Tentang Kebangsaan dan Kebebasan Beragama

Pandangan H. Agoes Salim Tentang Kebangsaan dan Kebebasan Beragama

Dapatkah dengan asas negara itu kita mengakui kemerdekaan keyakinan orang yang meniadakan Tuhan? Atau keyakinan agama yang mengakui Tuhan berbilangan

Pandangan H. Agoes Salim Tentang Kebangsaan dan Kebebasan Beragama

KEMENTERIAN AGAMA DALAM REPUBLIK INDONESIA

Dasar negara kita sebenarnya terjadi dari pada tiga pokok kesatuan: tanah air satu, kebangsaan satu, dan bahasa satu.

Pada hakikatnyadari pada tiga pokok kesatuan itu hanya kesatuan tanah airlah yang asli. Tentang kesatuan kebangsaan berlain-lain pendapat yang sudah dikemukakan oleh berbagai-bagai ahli pengetahuan dalam masa berlain-lain.

Memang ada satu yang ganjil dalam makna kebangsaan. Keganjilan itu amat nyata sekali dalam kata bahasa Arab, yang terlebih dekat maknanya dengan kata bangsa dan kebangsaan;yaitu logat “sya’b”. Kata itu, yangdipakai untuk qabilah (suku bangsa)besar, sehingga dapat berdiri sendiri, mengandung dua arti yang bertentangan:(1) arti “menghimpun” dan (2) arti “memisah”. Memang dua arti yang bertentangan itu termasuk dalam tabiat kebangsaan.

Seorang yang merasa termasuk, artinya terhimpun, kepada satu bangsa dengan sendirinya menganggap “asing”, yakni terpisah, tiap-tiap orang, yang tidak termasuk kepada bangsanya itu. Sebaliknya kitapun merasa diri kita “asing” atau terpisah, apabila kita berada dalam kalangan bangsa lain, bukan bangsa kita. Perasaan itu pada tingkatan berlebihan biasa dinamakan orang “tabiat semut”, oleh karena semut, yang sangat rukun dan sangat berdisiplin dalam “bangsanya” sendiri, yaitu kawan-kawannya semut yang sama sesarang, tetap bermusuh dan berkelahi apabila bertemu semut dari sarang lain.

Lebih-kurang begitu pula halnya dengan tiap-tiap bangsa hewan, misalnya anjing hutan dan sebagainya yang dalam kehidupan liar berhimpunan dalam satu-satu kawanan.
Dari pada keterangan ini dapatlah kita simpulkan, bahwa perasaan kebangsaan itu menjadi seolah-olah bagian daripada tabiat kita, sungguhpun bukan bawaan dari pada kelahiran, melainkan tumbuh dalam kehidupan pergaulan.

Pokok kesatuan yang ketiga, yaitu bahasa satu, tidak sesungguhnya menjadi syarat kesatuan bangsa. Bangsa Swiss misalnya bertanah air satu dan kebangsaan satu dan sejak berabad-abad selalu bersatu membela kemerdekaan tanah airnya dan bangsanya berhadapan dengan tiap-tiap bangsa asing yang hendak menguasainya. Itupun bangsa Swiss tetap berbahasa tiga: bahasa Prancis di barat, bahasa Jerman diutara dan timur, bahasa Italia di selatan. Bangsa Beldjika atau Belgia berbahasa dua: bahasa Vlaming di barat dan utara, bahasa Prancis di timur danselatan.

Tapi bangsa kita,Indonesia dalam pergerakan kemerdekaannya telah merasakan perlu mempunyai bahasa persatuan dalam perjuangan politiknya untuk menentang perpecahan, yang disengaja mengadakannya oleh kaum penjajah; dan lagi untuk melancarkan usaha pergerakan kita meliputi segenap bangsa dalam seluruh kepulauan kita ini. Maka telah kita jadikan kesatuan bahasa sebagai bahan persatuan dan bahasa kebangsaan sebagai satu wajib yang telah kita akui bersama-sama dengan kekuatan ikatan sumpah pergerakan pemuda kita dalam tahun 1928, dan selanjutnya diperteguh oleh pergerakan pemuda dari tahun ke tahun, sehingga dijadikan hukum dalam undang-undang negara kita.

Nyanyian kebangsaan kita memakai bahasa Indonesia. Pernyataan kemerdekaan kita diucapkan dengan bahasa Indonesia. Dan angkatan muda kita telah menerbitkan kesenian suara dan susastera dalam bahasa Indonesia.

Tapi di luar pokok kesatuan yang tiga itu, kita akui, bahkan kita jamin kemerdekaan rakyat warga negara dan penduduk sekalian dalam keyakinan agama dan politik, dalam cara pencaharian rezeki dan kebahagiaan hidup, dalam perkataan melahirkan pikiran dan pendapat,dengan lisan atau tulisan atau cetakan. Dengan hanya satu syarat, yaitu asal jangan melanggar hak-hak pergaulan atau hak-hak orang masing-masing, serta juga tidak melanggar adab kesopanan pihak ramai, dan tidak melanggar tertibkeamanan dan damai.

Dalam karangan ini kita hendak mewujudkan minat kepada kemerdekaan agama itu. Bagaimanakah kemerdekaan itu harus dipahamkan dalam negara kita, yang didasarkan kepada kepercayaan kepada Ketuhanan yang Maha Esa.

Dapatkah dengan asas negara itu kita mengakui kemerdekaan keyakinan orang yang meniadakan Tuhan? Atau keyakinan agama yang mengakui Tuhan berbilangan atau berbagi-bagi?

Tentu dan pasti! Sebab undang-undang dasar kita, sebagai juga undang-undang dasar tiap-tiap negara yang mempunyai adab dan kesopanan mengakui dan menjamin kemerdekaan keyakinan agama, sekadar dengan batas yang tersebut itu tadi, yaitu asal jangan melanggar hak-hak pergaulan dan orang masing-masing, jangan melanggar adab kesopanan ramai, tertib keamanan dan damai.

Adapun asas Ketuhanan Yang Maha Esa itu menjadi asas negara kita, sebagai hasil daripadademokrasi, yang menjadi rukun yang terutama dalam Undang-Undang Dasar negara kita. Bangsa kita hampir segenapnya beragama islam, agama tauhid yangsetegas-tegasnya. Yang beragama Nasrani atau Masehipun, dengan perbedaan ajaranaqaib banyak sedikitnya tidak orang termasuk juga agama berasas keesaan tuhan (monoteisme).

Sekarang berhadapan dengan kemerdekaan keyakinan yang mutlak itu, apakah yang menjadijabatan dan apakah yang menjadi tugas Kementerian Agama di dalam negara kitay ang bersifat negara kesatuan dan berbentuk republik?

Untuk menjawab pertanyaan itu kita harus memeriksa apakah dasar pendirian Kementerian Agama, atau lebih tegas Kementerian Urusan Agama yang barangkali tidak ada bertemu kementerian macamnya dalam umumnya negara-negara merdeka di dunia ini.

Dalam pemeriksaanitu kita akan menemui pada asalnya, bahwa tatkala Jepang masuk ia mendapati kantor urusan ibadat (Eeredienst) dalam Departemen Pengajaran dan Urusan Ibadat (Onderwijs en Eeredienst) dalam susunan pemerintahan jajahan Hindia Belanda. Jua didapatnya kantor Penasehat tentang Urusan Agama Islam dan bangsa Arab (Adviseur voor Islamietische en Arabische Zaken).

Dalam masa kekuasaan Belanda Kantor Urusan Ibadat itu mempunyai tugas pengawasan,pertama-tama atas gereja Protestan dan gereja (Missie) Katolik, juga mempunyai kedudukan resmi dan padri-pendetanya mendapat angkatan (pengakuan) daripada pemerintah dan diberi gaji dari perbendaharaan negeri.

Di samping itu kantor tadi itu ada pula urusan berkenaan dengan berbagai-bagai lembaga penyiaranagama kristen (Zending) yang tidak langsung termasuk dalam lingkungan gerejayang resmi dan yang selain mengusahakan penyiaran agamanya, mengusahakanpengajaran dan pengobatan, dengan sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit, denganmendapat bantuan belanja (subsidi) dari perbendaharaan negeri.

Pada umumnya, urusan dengan gereja (missie dan zending) dan sebagainya itu semata-mata bersifat teknis (urusan uang dan daerah pekerjaan), tidak mengenai pengajaranagama atau politik.

Berlainan sekali kedudukan kantor Penasehat Urusan Islam dan bangsa Arab itu. Kantor ini sangatbanyak mengenai politik. Tugasnya yang pertama ialah memata-matai segala gerak-gerik mengenai agama dan politik dalam kalangan kaum Islam, baik tentang ajaran dan ibadahnya, maupun pergerakan politik yang didasarkan atas agama Islam.

Adapun kekuasaan Jepang dari bermula sangat menarik minat atas pengaruh yang dapat dilakukandengan pekerjaan dua kantor tadi itu. Memang kekuasaan Jepang, isitimewa karenaia menghadapi keadaan perang, hendak menguasai dan mempengaruhi segala urusanrakyat. Oleh karena itu dari mula-mula masuknya segera diadakannya KantorUrusan Agama untuk meneruskan pekerjaan kantor-kantor dari masa Belanda tadiitu.

Terhadap kepada gereja-gereja, missie dan zending, yang umumnya termasuk urusan bangsa asing, tidak banyak perhatiannya. Kebanyakan orang-orang yang mnegerjakan urusan dalambadan itu termasuk bangsa “musuh”, yang sebahagian besar dimasukkan tawanan atau interniran dan pada umumnya sangat dibatasnya keleluasaannya bekerja.Sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit, apabila tidak ditutupnya, dijadikannyaurusan pihak kekuasaan.

Tapi terhadap kepada agama Islam pihak Jepang mengadakan politik sendiri. Dengan sengaja yang sangat dikentarakan, pihak Jepang memberi perhatian luar biasa kepada agama Islam dengan menggunakan organisasi dan pemimpin-pemimpin Islam yang sudah ada dari dulu, M.I.A.I.(Madjelis Islam A’la Indonesia) diberi kedudukan istimewa untuk dapat mengawasi pergerakan dan pengajaran Islam dalam seluruh negeri dengan jalan memasukkan segala kyai dan santri dalam pengawasan dan di bawah pimpinan M.I.A.I. itu.

Tetapi sebagaimana juga organisasi rakyat di luar urusan agama dalam PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) tak dapat diputarkan roh dan semangatnya dari kecintaantanah air dan bangsa atas dasar kebangsaan Indonesia dan kerakyatan belaka, begitu pula ternyata, bahwa M.I.A.I. tak dapat diputar roh dan semangatnya berbelok daripada agama Islam belaka. Kursus diadakan buat kyai-kyai dengan nama “Latihan Ulama” untuk memasukkan sebanyak-banyaknya propaganda dan akhirnya M.I.A.I. dari badan pimpinan dijadikan badan permusyawaratan dengan nama Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia).

Masyumi buatan Jepang itu dengan sendirinya bubar dengan jatuhnya Jepang dan hampir segala suratnya habis dibinasakan oleh pegawai-pegawai Jepang. Masyumi yang berdiri kemudian dalam kemerdekaan sebagai gabungan segala partai dan perserikatan Islam sekali-kali tidak ada hubungan dengan Masyumi yang dulu itu.

Hasil yang dapat hanyalahmembesarkan pengaruh agama atas rakyat, tapi tidak dapat mengabdikan rakyat itu untuk haluan dan tujuan Jepang. Sekolah tinggi Islam dapat berdiri menjadibibit universitas Islam yang ada kini. Gedung perpustakaan Islam diadakan yang juga terus dapat dilanjutkan dalam republik. Begitulah dengan takdir Ilahi kekuasaan Jepang atas tanah air kita, menghasilkan kemajuan yang nyata untukagama Islam dalam cara berorganisasi dan pengajaran.

Perhatian yangsudah tertaur dalam pemerintahan itu tidak dibiarkan luput kembali ketika Republik kita berdiri. Di situlah permulaan Kementerian Urusan Agama yang menyambut warisan dari kekuasaan Belanda yang dahulu dan kekuasaan Jepang yang kemudian.

Tapi politik agama dalam republik kita berlain dengan politik yang dulu-dulu. Pertama sekali iatidak bertujuan menolong membesar-besarkan usaha pihak agama lain untukmemindahkan orang Islam dari agamanya yang asli. Tapi sebaliknya tidak pula ia mengadakan larangan, apalagi hukuman atas kehidupan agama.

Terhadap agama Islam, politik Pemerintah kita tidak menilik kepadanya dengan cemburu atau curiga seperti Belanda dulu dan tidak pula bermaksud hendak membesar-besarkan kebencian dan permusuhan kalangan kaum Islam terhadap kepada “agama kaum penjajahan”.

Tapi sebagai memang sepatutnya, sebagai satu pemerintah atas bangsa yang kira-kira sembilan puluh persen atau lebih, lahir di dalam dan hidup di dalam adat Islam yang turun temurun, politik pemerintah itu menunjukkan sebanyak-banyak perhatian dan membesar-besarkan usaha untuk memajukan pelajaran agama Islam dan mendorong dan menyokong kemajuan dan perkembangan segala sifat dan kodrat yang dikehendaki oleh agama Islam untuk kebajikan (islah) dan mencapaikan kejayaan (falah) untuk tanah air dan bangsa segenapnya.

Segala itu dengan hati-hati menjaga diri pihak kekuasaan, supaya tetap menghormati kemerdekaan mutlak dari pada tiap-tiap orang berkenaan dengan agamanya, baik Islam atau lain, baik dalam aqaid atau ibadat atau syariat, mengenai diri orang masing-masing atau perkumpulan-perkumpulan agama. Dan segala itu dengan mengingat syarat-syarat yang membatasi kemerdekaan mutlak itu, seperti yang sudah diterangkan tadi.

Alhasil, Kementerian Urusan Agama negara kita, tetap harus mengingat bahwa sekalipun bangsa kita sebahagian besar sekali beragama Islam, akan tetapi negara kitatidak menetapkan agama Islam sebagai agama negara yang diwajibkan atas segala rakyat.

Bersetuju dengan asas-asas yang diajarkan dalam agama Islam, kita harus mengakui bahwa tetap adanya berbagai-bagai agama itu di atas dunia memang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana ditegaskan di dalam Quran Surat Al-Maidah, ayat 51; bahagian kedua: (Dan bagi masing-masing telah Kami adakan jalan dan petunjuk. Jika ada Allah menghendaki, niscayalah kamu dijadikan satu umat, tapi (telah ditakdirkannya sebagai tersebut tadi) supaya dicobainya kamu dalam (agama) yang telah diberikannya kepada kamu. Maka berlomba-lombalah dalam kebajikan).

Bahkan terhadap kepada mereka yang meniadakan Tuhan pun dan yang beragama Ketuhanan berbilangan atau berbagi-bagi, tidaklah Tuhan menghendaki kita melakukan paksaan, bahkan tidakpun dibenarkan kita menghadapkan celaan dan cacian, mengingat firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-An’am, ayat 108, bahagian pertama yang artinya: (Janganlah kamu mencaci siapa-siapa yang mereka seru lain dari pada Allah).

Dalam kedua-dua hal itu dinyatakan bahwa keputusan penghabisan hanya Allah Ta’ala yang akan memberinya dengan cara yang tak dapat lagi dimungkiri atau dielakkan oleh barang siapa yang bersangkutan. Dengan tegasnya sekali dinyatakan dalam satu ayat yang berikut kemudian (ayat 111), bahwa memilih kepercayaan agama itu tidak dengan bukti dan tidak dengan kehendak manusia, melainkan semata-mata bergantung kepada kehendak Allah jua:

Sambil mengingat ajaran agama Islam yang tersebut itu, yang banyak lagi ayat-ayat untuk menjelaskannya dan menegaskannya, dapatlah kita mengerti bahwa sungguh besar dan mulia jabatan dan tugas dalam lapangan Kementerian Urusan Agama. Terutama sekali penting, karena kepada kebijaksanaannya dan kecakapannya amat banyak tergantung pemeliharaan kesatuan kebangsaan kita yang perlu untuk memeliharakan dan membela kesatuan tanah air kita.

Satu dalam kebulatan kesatuan yang kokoh teguh, tidak dapat dipecah belah, dipisah-pisah atau dibagi-bagi oleh siapapun jua. Tetap merdeka! Tetap bersatu!

*Dimuat dalam Agenda Kementrian Agama, 1951/1952