
Jika Stalin pernah menyinggung bahwa “Kematian sejuta adalah statistik,” maka kita juga patut bertanya, apakah banyak korban dari banyak tragedi di Indonesia hanya berakhir sebagai angka-angka? Sejumlah besar bencana kemanusiaan yang terjadi di Indonesia tidak benar-benar diselesaikan. Sebagian hanya dikenang sebagai kejadian buruk, bahkan penyintasnya pun tidak pernah benar-benar pulih.
Dalam urusan pemulihan dan penyelesaian konflik, Indonesia masih bisa dinilai kalah telak dari Timor Leste. Bagaimana bisa?
Pemerintahan baru Timor Leste pernah membuat Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR), sebagai bagian dari mengungkap kebenaran dan rekonsiliasi di Timor Leste atas banyak kejahatan kemanusiaan sepanjang sejarah mereka. Untuk itu komisi tersebut membuat laporan berjudul “Chega!” (yang berarti “cukup” dalam bahasa Portugis). Sepanjang membaca laporan berjilid-jilid, saya menemukan beberapa sosok-sosok penting di negeri ini.
Dalam laporannya yang final, CAVR merumuskan sejumlah rekomendasi strategis yang bersifat multilateral, tidak terbatas pada pemerintah Timor-Leste semata, melainkan juga melibatkan Indonesia dan aktor-aktor internasional. Adapun tiga rekomendasi tersebut mencakup penegakan proses hukum terhadap pelaku kejahatan HAM berat, implementasi program reparasi yang holistik bagi para korban, dan restrukturisasi kelembagaan sebagai langkah preventif untuk meminimalisasi potensi repetisi kekerasan struktural di kemudian hari.
Sedangkan di Indonesia malah sebaliknya. Negara kita masih banyak membiarkan tragedi kemanusiaan tanpa penyelesaian tuntas. Penyintas masih banyak memendam luka. Bahkan, perasaan curiga atau stereotipe atas banyak kelompok yang menjadi korban masih dibiarkan “berkeliaran.” Di antara kasus hingga hari ini belum benar-benar diselesaikan adalah kekerasan atas etnis Tionghoa di sekitar akhir tahun 1990-an.
Minggu lalu, saya bersama seorang sahabat menonton film baru karya sutradara keren, Joko Anwar, berjudul Pengepungan di Bukit Duri. Film ini berhasil menggambarkan bagaimana jika luka-luka sisa konflik antar etnis masih dibiarkan dan tidak benar-benar disembuhkan. Dan konflik yang dijadikan latar film tersebut adalah kekerasan atas etnis Tionghoa di sekitar akhir tahun 1990-an.
***
Bulan Mei tahun 1998 adalah di antara masa terkelam bangsa Indonesia modern. Di mana kala krisis moneter yang melanda Asia Tenggara, ketegangan di masyarakat berubah menjadi tragedi kemanusiaan, di mana kelompok etnis Tionghoa menjadi korban banyak kekerasan massal. Gelombang kerusuhan menyebar ke berbagai kota besar, di mana kala itu banyak properti milik warga keturunan Tionghoa menjadi sasaran amuk massa.
Etnis Tionghoa mengalami kekerasan sistematis yang terutama terwujud dalam bentuk pelanggaran hak hidup, termasuk praktik pemerkosaan massal terhadap perempuan disertai tindakan pembunuhan dan penganiayaan yang bersifat brutal. Tragedi kemanusiaan ini mencatat salah satu episode paling kelam dalam sejarah kekerasan berbasis etnis di Indonesia.
Lebih dari dua puluh tahun telah lewat, tetapi bekas luka itu masih nyata. Peristiwa Mei 1998 menunjukkan bagaimana prasangka etnis dapat dengan cepat berubah menjadi kekerasan kolektif ketika tidak dikendalikan. Memori tentang tragedi ini perlu tetap dirawat, bukan untuk menghidupkan kebencian, melainkan sebagai pengingat agar masa lalu yang suram tidak kembali terulang.
Di antara aspek yang paling saya apresiasi dari film Pengepungan di Bukit Duri adalah keberanian pembuat film dalam mengangkat persoalan kekerasan etnis, namun tetap menghindari eksploitasi berlebihan. Korban kekerasan seksual dalam konflik tersebut, hingga kini, masih sering terabaikan tanpa penyelesaian hukum yang tuntas. Film ini sukses menjadikan persoalan tersebut sebagai pilar narasi utama, menunjukkan bagaimana luka sejarah tetap aktual dan belum “sepenuhnya” pulih.
***
Keadilan dan rekonsiliasi harus berjalan beriringan. Tanpa pertanggungjawaban hukum, rekonsiliasi hanyalah lip service; tetapi tanpa rekonsiliasi sosial, perdamaian rentan retak. Jika Timor Leste berhasil membuat laporan Chega, maka kita sebagai bangsa juga harus mulai berbuat serupa. Sebab, laporan seperti Chega bisa menjadi pengingat bahwa masa kelam hanya bisa diatasi dengan transparansi, keberanian moral, dan komitmen kolektif untuk tidak mengulang sejarah.
Film Pengepungan di Bukit Duri “mungkin” hanya film fiksi, bahkan kita sudah dapat peringatan ini di awal film. Namun, kita tidak bisa membantah film tersebut telah berhasil pengalaman kita akan banyak konflik di Indonesia masih menyisakan luka, paling tidak menjadi pengalaman buruk terpendam tanpa penyelesaian hingga hari ini.
Penyelesaian dari banyak karya-karya fiksi, dari novel hingga film, mungkin pernah dilakukan. Namun, jika kita gagal melaporkan secara jujur dan membuka fakta sebenar-benarnya sebagai bahan untuk belajar dari konflik-konflik yang pernah agar tidak terulang di kemudian hari.
Pemerintah Timor Leste malah membuat pengadilan, di mana pelaku kejahatan ringan dimintai pertanggungjawaban secara partisipatif di tingkat akar rumput. Lewat pengadilan ini, para pelaku melakukan pengakuan publik di hadapan korban dan masyarakat, disertai reparasi simbolis seperti kerja sosial atau permintaan maaf, guna memulihkan kohesi sosial yang terfragmentasi.
Proses di atas malah menegaskan bahwa rekonsiliasi memerlukan pendekatan multidimensi, yang tidak hanya berfokus pada aspek hukum tetapi juga pemulihan relasi sosio-kultural. Kita sebagai bangsa malah belum banyak berbuat dalam menyelesaikan konflik-konflik kemanusiaan, diantaranya kekerasan atas etnis Tionghoa di sekitar tahun 1998-an.
Konflik kemanusiaan itu harusnya seperti rindu, “dibayar (baca: diselesaikan) tuntas.”
Fatahallahu alaina futuh al-arifin