Zainab binti Jahsy adalah salah satu istri Nabi Muhammad Saw sekaligus adalah contoh perempuan pada masanya yang melakukan pekerjaan di luar rumah. Selain dikenal memiliki kepribadian yang luhur dan gemar bersedekah, Zainab juga memiliki keterampilan untuk menjahit dan tidak malu untuk menunjukkan bakatnya tersebut. Diceritakan bahwa ia suka menjahit beberapa manik-manik kemudian menghasilkan aneka gelang dan kalung serta aksesoris perempuan lainnya untuk dijual di pasar setempat, seperti pasar Ukaz dan lain sebagainya.
Tak hanya membuat manik-manik, Zainab binti Jahsy juga melakukan beberapa manufakur, yaitu mengoperasikan peralatan dalam suatu medium proses untuk mengolah bahan baku dan komponen lainnya untuk diproduksi menjadi barang jadi yang memiliki nilai jual.
Baca juga: Kisah Abul Ash, Menantu Rasulullah yang Non-Muslim
Zainab juga memiliki keterampilan untuk menyamak kulit hewan, atau dalam terminologi bahasa Arab dikenal dengan istilah Dābighah. Zainab dikenal sebagai seorang penyamak kulit yang terampil, ia bahkan punya home industry sendiri yang bertempat di kediamannya.
Padahal pekerjaan menyamak kulit tersebut umumnya dilakukan oleh kalangan laki-laki sebab merupakan pekerjaan yang susah dan butuh proses yang lama. Terlebih dalam Islam, jika ingin menggunakan kulit hewan yang telah mati, maka harus disucikan sedemikan rupa agar hilang lendir serta najisnya, kemudian barulah kulit tersebut bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari.
Selain itu terdapat fakta menarik bahwa sebagian besar dari hasil pekerjaannya tersebut disedekahkan kepada kaum fakir miskin, orang-orang yang membutuhkan dan keperluan umat Islam saat itu. Tak heran jika Zainab dikenal sebagai istri Rasulullah SAW yang paling dermawan.
Rasulullah SAW sendiri pernah secara tidak langsung memberi julukan kepada Zainab dengan sebutan “tangan panjang” yang dalam bahasa Arab istilah tersebut adalah metafora dari gemar bersedekah dan memiliki sifat dermawan. Sehingga diibaratkan melalui dua tangannya tersebut, kebaikan dan keberkahan selalu berlimpah untuk orang – orang yang membutuhkan dan orang – orang di sekelilingnya.
Baca juga: Putri Pertama Nabi, Layak Difilmkan
Sebelum Islam datang, bangsa Arab Jahiliyah sangat kental dengan budaya patriarki, bahkan perempuan di era tersebut diibaratkan seperti benda yang bisa “dipakai” oleh tuannya kapapun ia mau. Selain itu, juga terdapat stigma yang beredar di masyarakat Arab pra Islam, bahwa perempuan adalah sebuah aib dan pembawa sial. Tak sedikit masyarakat saat itu membunuh bayi – bayi perempuan mereka ketika baru dilahirkan. Gambaran dari kondisi sosial saat itu juga telah direkam dalam Firman Allah SWT surat al–Naḥl ayat 58 – 59 yang artinya: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah (58). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup – hidup)?, ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu (59”.
Tak heran jika pada masa tersebut perempuan tak diberi kebebasan untuk bersuara dan meng-explore potensi mereka. Jangankan untuk menyuarakan pendapat, eksistensi mereka di tengah – tengah masyarakat saja ditolak.
Ketika Islam datang di semenanjung Arab, stigma negatif terhadap perempuan tersebut mulai hilang, sebab Islam sangat menjunjung tinggi kemuliaan perempuan dan secara perlahan memberikan mereka hak – haknya yang selama ini tidak bisa ditunaikan. Seperti turut diajak untuk berpendapat tentang suatu perkara, melakukan aktivitas – aktivitas di luar rumah seperti perang, bercocok tanam, menjadi tenaga medis, melakukan perdagangan dan kerajinan tangan untuk lebih menggali potensi yang mereka miliki sebagai wujud dari rasa syukur terhadap Allah SWT yang telah memberikan bakat dan keterampilan untuk seluruh manusia. (AN)
Wallahu a’lam.
Artikel ini kerjasama Islamidotco dan Rumah KitaB
Baca juga tulisan lain tentang muslimah bekerja di sini.