Kisah Abul Ash, Menantu Rasulullah yang Non-Muslim

Kisah Abul Ash, Menantu Rasulullah yang Non-Muslim

Rasulullah ternyata pernah memiliki menantu non-muslim, Abul Ash namanya.

Kisah Abul Ash, Menantu Rasulullah yang Non-Muslim

Putri tertua Rasulullah SAW dengan Khadijah adalah Zainab RA. Fathimah yang merupakan putri bungsu Rasulullah SAW menganggap kakaknya Zainab seperti ibu kecilnya. Zainab dinikahkan dengan Abul Ash bin Rabi’ seorang bangsawan dari suku Quraish, putra saudara perempuan Khadijah yang bernama Halah binti Khuwalid.  Mereka menikah sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi seorang rasul.

Ketika Muhammad diangkat menjadi nabi, Zainab sedang ditinggal pergi oleh Abul Ash bin Rabi untuk berdagang. Zainab beserta saudaranya merasa bahagia mendengar bahwa ayah mereka adalah nabi utusan Allah. Mereka segera menyatakan keimanan atas kenabian ayah mereka.

Sepulangnya Abul Ash dari perjalanan dagang, Zainab segera menyampaikan kabar tersebut kepada suaminya dengan harapan suaminya mau mengikuti ajaran Rasulullah. Akan tetapi, tawaran untuk masuk Islam dari istrinya tersebut ditolak. Dia tetap teguh dengan kepercayaan nenek moyangnya. Abul Ash mengakui bahwa Muhammad, ayah mertuanya, merupakan orang yang tidak pantas diingkari, tetapi ia tak mau meninggalkan agama nenek moyangnya. Zainab bersedih. Namun ia tetap berdoa agar Allah Ta’ala akan membuka hati suaminya untuk beriman pada suatu saat nanti.

Pada perang Badar, Abul Ash ikut berperang di barisan kaum musyrikin memerangi ayah mertuanya sendiri. Bayangkan betapa perih hati Zainab saat itu. Ia harap-harap cemas keselamatan ayahnya. Pada saat yang sama, ia juga gundah dengan nyawa sang suami yang memerangi ayahnya. Akhirnya datanglah kabar atas kemenangan ummat Islam di perang badar dan kekalahan kaum musyrikin Makkah dalam peperangan itu 70 orang musyrikin tertawan, dan Abul Ash adalah salah satunya.

Sebagai seorang istri Zainab menebus  suaminya yang tertawan. Dari Makkah, Zainab mengirim sejumlah harta tebusan dan sebuah kalung dari batu Onyx Zafar. Ini kalung yang tak biasa. Kalung itu merupakan hadiah pernikahan dari sang ibunda, Khadijah.

Ketika Nabi melihat kalung itu, ingatannya melayang ke cinta sejatinya, Khadijah. Nabi SAW berseru pada kaum muslimin, jika mereka setuju Nabi SAW meminta Abul Ash dibebaskan dan kalung itu dikembalikan ke Zainab. Para sahabat menyutujinya. Abul Ash kemudian dibebaskan.

Enam tahun sudah perpisahan Zainab dan suaminya berlalu, hingga pada suatu saat Abul Ash bersama kafilah dagang yang sedang dalam perjalanan pulang dari negeri Syam menuju Mekah melewati Madinah dihadang oleh pasukan gerilya Rasulullah saw. Akhirnya, kafilah dagang yang berjumlah lebih kurang 170 orang itu bersama dengan onta-onta mereka yang mencapai seratus ekor ditawan dan digiring ke Madinah. Akan tetapi, Abul Ash dapat meloloskan diri.

Dalam kegelapan malam, dengan sembunyi-sembunyi Abul Ash bin Rabi’ mendatangi rumah Zainab. Zainab pun terkejut menerima kedatangannya. Ketika Abul Ash bin Rabi meminta kepada Zainab agar mau memberikan perlindungan kepadanya, Zainab pun menyatakan kesediaannya.

Ketika Rasulullah saw dan para sahabatnya melaksanakan shalat Shubuh terdengarlah suara Zainab berseru, “Wahai kaum muslimin, saya Zainab binti Rasulullah saw, saya telah memberikan perlindungan kepada Abul Ash, maka lindungilah ia!” Ketika Rasulullah saw selesai shalat, beliau bertanya kepada para sahabat, “Apakah kalian mendengar apa yang aku dengar?” Para sahabat menjawab, “Benar.” Beliau lalu berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu sedikit pun tentang itu sampai aku mendengar apa yang kalian dengar, sesungguhnya semua kaum muslim (sampai yang terendah tingkatannya pun) dapat memberikan perlindungan.”

Kemudian beliau pun menemui Zainab untuk mengetahui kebenaran berita itu, Zainab berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abul Ash adalah kerabat dan anak pamanku, serta anak-anakku, dan aku telah memberikan perlindungan kepadanya.” Rasulullah saw berkata, “Benar wahai putriku, muliakanlah tempatnya, dan jangan sampai ia berhubungan denganmu, sesungguhnya engkau tidak halal baginya.”

Kemudian para sahabat mengembalikan harta yang telah mereka rampas itu kepada Abul Ash. Dan ketika Abul Ash hendak berangkat ke Mekah, ia berkata kepada Zainab, “Mereka telah menawarkan kepadaku untuk masuk Islam, tetapi aku menolak sambil kukatakan, ‘Sungguh buruk diriku memulai agama baruku dengan pengkhianatan.’”

Mendengar ucapan terakhir Abul Ash tersebut terasa berdebar jantung Zainab, seakan-akan ia melihat di balik apa yang ia ucapkan ada cahaya dan harapan yang semoga saja dapat menerangi hatinya yang masih gelap dengan kekufuran.

Sesampai di Mekah Abul Ash memberikan harta-harta yang diamanahkan kepadanya kepada pemiliknya, kemudian ia berseru, “Wahai kaum Quraisy, apakah ada di antara kalian yang hartanya belum aku kembalikan?” Mereka menjawab, “Tidak ada, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, kami telah mendapatimu sebagai orang yang memegang amanah dan mulia.”

Lalu Abul Ash berkata, “Jika aku telah mengembalikan hak-hak kalian maka sekarang aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah! Demi Allah, tidak ada yang menghalangiku untuk masuk Islam sewaktu bersama Muhammad di Madinah kecuali aku takut kalian mengira bahwa aku ingin memakan harta kalian, tetapi setelah aku mengembalikan harta itu kepada kalian, dan sekarang aku telah melepaskan tanggunganku, maka aku masuk Islam.”

Setelah itu ia kembali lagi ke Madinah untuk berkumpul kembali dengan Zainab yang telah lama menantinya dengan sabar. Di Madinah ia disambut oleh kaum muslimin dengan gembira, lalu Rasulullah saw mengembalikan Zainab kepadanya, dan mereka berkumpul dan bersatu kembali dalam kebahagiaan bahkan lebih baik dari sebelumnya karena kali ini mereka dikumpulkan dalam agama tauhid. Namun kebahagiaan ini ternyata tidak lama dinikmati berdua dibanding masa sulit dan penuh kesabaran yang mereka harus jalani.

Setelah genap setahun Zainab berkumpul kembali dengan suaminya. Zainab wanita penyabar dan tegar itu telah kembali menghadap Sang Khaliq setelah berjuang menghadapi penyakit yang dideritakan semenjak keguguran kandungannya di tengah pada sahara. Zainab meninggal dalam usia relatif muda, 30 tahun. Namun begitu dewasanya sikap dan ketabahannya yang patut diteladani oleh para remaja muslimah yang datang sesudahnya.

Kepergian Zainab meninggalkan Abul Ash seorang diri mengenang masa-masa indah yang telah mereka lewati bersama dalam suka dan duka, hanya dua buah hati mereka Ali dan Umamah yang kini menjadi pelipur lara.