Secara istilah,‘illat merupakan suatu sifat (atau keadaan, kondisi) yang melekat pada suatu hal asal yang dengannya ditetapkan suatu hukum dan karenanya kemudian diketahui dengan berdasar pada sifat (atau keadaan, kondisi) tersebut adanya ketetapan hukum tersebut. Begitu keterangan Abdul Wahab Khalaf dalam kitab ‘Ilm Ushul al-Fiqh (ilmu ushul fiqih).
Dalam pengertian populer, illat al-hukmi sering disebut konteks hukum. Ia merupakan suatu sifat, kondisi, keadaan, atau unsur tertentu (yang bisa bersifat personal, lokal, atau komunal, bisa terbatas waktu dan tempat pula), yang menjadi dasar bagi ditetapkannya suatu hukum.
Sementara, yang dimaksud “dasar bagi ditetapkannya suatu hukum” bukanlah memaksudkan sumber-sumber utama syariat (al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw) ataupun menomorduakan pilar pokok tersebut. Bukan. Melainkan konteks riil suatu sifat atau keadaan atau kondisi kehidupan yang membutuhkan suatu fatwa hukum (fiqh), yang mungkin saja belum ada hukumnya atau telah ada tetapi sifat atau kondisi terkininya telah mengalami pergeseran baru.
Karena konteks hidup manusia terus bergerak, bergeser, dinamis, dan memungkinkan tak lagi sama dengan situasi sebelumnya yang telah dipayungi suatu fiqih, boleh jadi fiqih lama dianggap tak lagi memadai atau bahkan luput dari pokok persoalannya. Ini sekaligus mengukuhkan suatu pengertian umum dalam tradisi dan ilmu Ushul Fiqih bahwa suatu pandangan fiqih lahir dari suatu konteks hukum tertentu; ia akan berubah bila konteks hukumnya juga berubah.
Contoh aktual hari ini ialah bergesernya status hukum wajib, fardhu ‘ain, shalat Jum’at berjamaah di masjid dengan cukup diganti shalat Zhuhur di rumah masing-masing akibat deraan pagebluk Corona yang mengguncang dunia.
Sebab ada keadaan khusus (pagebluk Corona) yang membutuhkan suatu fatwa hukum baru terhadap fiqih lama perihal kewajiban ‘ain shalat Jum’at berjamaah di masjid tersebut, dengan tujuan maslahat untuk mengantisipasi risiko terpaparnya para jamaah, maka dilakukanlah pengkajian Ushul Fiqih terhadap ‘illat al-hukmi tersebut dengan berdasar pada sejumlah ayat dan hadis terkait, dan hasilnya dikeluarkan fatwa di atas (shalat Jum’at boleh diganti dengan shalat Zhuhur di rumah masing-masing).
Bayangkan, kepada hukum yang sifatnya mahdhah (absolut) begitu saja kemungkinan pergeseran dan perubahan fiqhnya terbuka berdasar ‘illat al-hukmi tertentu, apalagi kepada hal-hal yang ranahnya ghairu mahdhah. Tentu jauh lebih terbuka.
Contoh lain terkait konteks khusus hukum ini.
Fiqh lama mengatakan bahwa jual beli haruslah dilakukan dengan bersihadapan antara penjual-pembeli dan barang dagangannya hadir secara lahiriah. Maqashid al-syariah-nya ialah menggaransi praktik jual-beli bersih dari tipu-daya (gharar), sehingga tercapailah pesan moral ayat al-Qur’an perihal ‘an taradhin (saling rela).
Hari ini teknologi internet menyediakan ruang jual-beli baru di marketplace. Jangkauannya sangat luas, efektif, praktis, dan hemat, serta memudahkan siapa saja untuk menjual atau membeli.
Hanya saja, ia memiliki “kekurangan” dibanding transaksi jual-beli tradisional, yakni tidak bersemukanya penjual-pembeli dan tidak mungkinnya barang dagangan dilihat langsung. Pertemuan virtual penjual-pembeli hanya difasilitasi chat antarmereka; barang dagangannya hanya diwujudkan dalam bentuk foto beserta spesifikasinya. Pihak pengelola marketplace menambahkan fitur keamanan lainnya, yakni uang yang ditransfer pembeli baru akan dicairkan ke rekening penjual bila telah dipastikan barang diterima oleh penjual dan tidak ada komplain lagi.
Bagaimana hukumnya?
Konteks hukum marketplace tersebut tentulah tak cukup lagi diakomodasi oleh fiqh jual-beli lama. Karenanya, diperlukan suatu ijtihad baru dengan berdasar kepada sumber-sumber utama syariat Islam (al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw) terkait jual-beli, dengan melibatkan pencermatan holistik kepada konteks marketplace tersebut.
Hasilnya, jual-beli di marketplace lalu difatwakan sah, halal, sebagaimana jual-beli tradisional sebelumnya, dengan catatan tidak ada gharar di dalamnya (misal barang yang diterima sesuai dengan spesifikasi yang diterakan penjual dan kondisi barang dalam keadaan bagus). Selesai. Fiqh berhasil menjawab tantangan baru zaman ini dengan cepat, bernas, dan maslahat.
Tersebab kita mengetahui bahwa kondisi-kondisi khusus yang melingkupi kehidupan riil umat Islam bisa sangat beragam, sehingga ‘illat a-hukmi-nya pun menjadi beragam, wajar belaka bila antar-kondisi khusus itu kemudian melahirkan bentuk fiqh yang beragam pula. Aspek lokalitas, kultur, sosial, tradisi, hingga tatanan politik tertentu sangat memungkinkan untuk menjelmakan konteks-konteks hukum yang juga beragam bahkan pada satu persoalan hukum yang sama. Aspek wilayah, zaman, dan khazanah lokalnya masing-masing sahih belaka untuk menempati kursi ‘illat al-hukmi tadi.
Lalu, bagaimana, umpamanya, bentuk jilbab yang sesuai syariat?
Jawaban fiqh atas contoh hukum ini akan meruahkan keragaman konteks yang luar biasa majemuknya bila ditarik kepada khazanah konteks lokal Arab Saudi, Indonesia, dan India, misal. Bahkan, antara konteks lokal Aceh, Jakarta, dan Madura pun bisa tak sama. Dan sebagainya.
Maka wajar belaka bila Anda menyaksikan fashion Islami perempuan Arab Saudi bergaya paduan abaya dan jilbab panjang lebar itu berbeda dengan gaya fashion muslimah Jakarta yang mengenakan celana jeans, hem/kaos, dengan jilbab yang tak panjang, maupun gaya jilbab ibu-ibu di pesisir Madura yang mengenakan rok, daster, jarik, dengan paduan jilbab sederhana, misal.
Keragaman fiqh itulah yang dimaksudkan oleh Ibnu Asyur di atas sebagai “…tidak hanya terbatas pada satu bentuk hukum syariat (fiqh), melainkan semua bentuk hukum syariat (fiqh) yang makna dan tujuannya ada di dalamnya.”
Maka tidaklah ilmiah, tidaklah bermoral, dan tidaklah elok bila kepada keragaman fiqh terhadap suatu aspek kehidupan masyarakat muslim ditunjamkan pernyataan: “Cara jilbab Anda salah, tidak sesuai syariat, ubahlah seperti jilbab saya yang syar’i ini….”
Mempertentangkan suatu pendapat hukum, fiqih, dengan pendapat hukum lainnya, fiqih lainnya, tidak boleh dilakukan oleh siapa pun—kecuali untuk kepentingan kajian keilmuan belaka. Sikap demikian (maaf kata) sungguhlah norak, tidak bermoral, dan benar-benar mencerminkan keawaman atau kesombongan belaka. Mendaku-daku paham fiqih diri sendiri benar, sembari menyesat-nyesatkan paham fiqih lain, merupakan perbuatan tercela. Maka hindarilah sikap demikian….
Ingat selalu prinsip yang melingkupi jagat fiqih: hanya syariat yang benar-mutlak, tetap sepanjang masa karena dari Allah Swt dan Rasul-Nya Saw. Adapun buah pemahaman, penafsiran, dan penakwilan kita semua terhadap teks-teks syariat itu adalah benar-relatif, sehingga semua fiqih bisa benar pada dirinya sendiri saja.
Satu hasil ijtihad hukum tidak boleh dipropagandakan untuk menjungkalkan hasil ijtihad hukum lainnya. Itu sungguh su’ul adab kepada para ulama yang telah melahirkan ijtihad-ijtihad hukum itu. Sekali lagi, jangan pernah bersikap begitu dalam urusan fiqh.
Lalu bagaimana jika muncul pertanyaan sejenis ini: “Maka fiqih yang mana yang benar sesungguhnya?”
Jawabannya sesederhana ini: wallahu a’lam bish shawab, sungguh hanya Allah Swt lah yang paling tahu yang mana yang benar, yang paling sesuai dengan maksud dan kehendak-Nya Swt. Kembalikan sajalah segala perbedaan fiqh di antara kita kepada otoritas mutlak Allah Swt.
Kelak, semua kita akan diberitahuNya perihal segala apa yang kita perselisihkan di PengadilanNya yang Maha Adil (ilayya marji’ukum jami’an fa-unabbi-ukum bima kuntum fihi tahtalifun, kepadaKu lah kelak kalian akan dikembalikan semua, maka Aku akan memberitahukan kepada kalian semua perihal (kebenaran) apa-apa yang kalian perselisihkan selama ini (di dunia)). Adapun di dunia, antarkita, jalankan saja perintahNya dengan kerendahan hati: fastabiqul khairat, berlomba-lombalah dalam menguarkan kebaikan-kebaikan….
Mari dengan sepenuh kesadaran rohani, kerendahan hati, dan kecerdasan intelektual, mulai sekarang jauhkan diri kita dari sergahan-sergahan sejenis ini kepada anutan fiqh dan amaliah liyan: “Itu pandangan yang salah, sesat, jauhilah; itu bertentangan dengan syariat Allah Swt; itu tak sesuai tuntunan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw yang murni; itu amaliah bid’ah dan semua pelaku bid’ah hukumnya masuk neraka; itu tak pernah dipraktikkan Rasulullah Saw, jelas itu kesesatan semata akibat memperturutkan hawa nafsu akalnya dan godaan setan….”
BACA JUGA Seluk Beluk Ushul Fiqh untuk Pemula (4): Syariat dan Maksud Tujuannya