Kemacetan Ushul Fikih di Pasar Blega Madura

Kemacetan Ushul Fikih di Pasar Blega Madura

Pasar Blega itu Madura, yang masyarakatnya bergairah dalam urusan agama. Pertanyaannya, mengapa mereka yang agamis itu kok semrawut dan ngawur ketika berada di jalan raya?

Kemacetan Ushul Fikih di Pasar Blega Madura
Ilustrasi: Alwy (Islamidotco)

Blega—bukan Balige, bukan pula Belgia—merupakan nama kecamatan di Kabupaten Bangkalan. Tapi, ketika “Blega” disandingkan dengan kata “kemacetan”, maka yang dimaksud adalah “Pasar Blega dan area di sekitarnya”. Ya, sudah sejak lama, nama ini terkesan identik dengan benang kusut arus lalu lintas yang bahkan hingga presidennya gonta-ganti beberapa kali belum juga beres diuraikan.

Ada dua permasalahan kemacetan di sana. Pertama, banjir di musim tengkujuh (hujan deras); kedua, macet di kala hari pasaran (Jumat & Senin), dan; ketiga, macet panjang di kala ada perbaikan jalan.

Hari-hari belakangan ini (Juli, 2023), Blega kembali jadi gosip para pelalu-lintas. Mereka ketakutan untuk melewatinya karena ruas jalan itu—bahkan terus sampai ke Patemon—banyak titik rawan macet. Hal demikian juga terjadi beberapa bulan yang lalu. Saya pernah berjibaku dengan kemacetan hebat di sana (hal yang sama terjadi pada 2017 lalu, selama puluhan hari). Penyebab yang diberitakan adalah adanya pengecoran jalan (padahal yang dicor hanya 350-an meter saja panjangnya). Rasanya tidak masuk akal jika pengecoran jalan sependek itu dapat menimbulkan kemacetan hingga 3-4 jam di saat gawat dan antrean mobil mencapai 4,4 kilometer (yang saya lihat dan saya hitung jaraknya) dari arah Sampang menuju Bangkalan.

Bisa jadi, akan lebih panjang lagi antrean dari arah Surabaya ke arah Sampang; dari barat ke timur. Antrean dan ketersendatan arus lalu lintas, antara dari arah barat ke timur (dari arah Bangkalan ke Sampang) dengan yang dari arah timur ke barat (dari arah Sampang ke Bangkalan), tidaklah sama. Pasalnya, bahu jalan di sisi barat pasar lebih lebar sehingga banyak orang yang berani menyerobot antrean dengan risiko menyisi atau menepi tapi tetap ‘aman’.

Kala itu—atau mungkin memang sering—terjadi penumpukan kendaraan hingga tiga lapis (tiga lajur) dalam satu jalur hingga mendekati ujung antrean. Akibatnya, saat kendaraan-kendaraan tersebut hendak masuk kembali ke jalurnya, terjadi gridlock (macet total) pada bottle-neck alias leher botol (tiga lajur menyempit jadi satu lajur) di dekat pasar Blega. Hal ini berdampak pula pada ketersendatan arus lalu lintas dari lawan arah karena jalan yang semula lebar (sehingga memungkinkan mulai berakselerasi) menjadi sesak mendadak karena kendaraan yang datang dari arah berlawanan mengambil hak ruas jalan mereka.

***

Semua paragraf di atas hanyalah contoh, penting tapi tidak begitu penting. Intinya, apa yang terjadi di Pasar Blega itu boleh jadi tampak wajar-wajar saja atau dibuat seoalah-olah wajar karena kejadian semacam ini memang sering pula terjadi di berbagai tempat. Mengapa orang berpikir seperti itu? Karena begitu banyaknya contoh kemacetan dan penyerobotannya hingga seolah-olah itu hal yang biasa, dimaklumilah!

Sebetulnya, kemacetan lalu lintas akan mudah terurai apabila para pengguna jalan (semuanya, harus semuanya) bisa taat untuk tertib. Kalaupun kemacetan tetap terjadi, dampaknya tidak akan separah dan tidak semenyeng-seng-seng-sarakan seperti yang sudah-sudah. Kasus seperti di Blega ini pasti terjadi juga di tempat lain, di Indonesia, tapi, saya kira, akan jarang atau bahkan tidak akan pernah dijumpai di—sebut saja misalnya—Jerman yang penduduknya sangat terbit, apalagi di Jepang, yang pengguna jalan rayanya lebih dari sekadar tertib, melainkan tertibnya-tertib.

Konon, orang Jerman bahkan punya slogan “Orang Jerman tidak butuh pada lampu pengatur lalu lintas!”. Meskipun statemen ini seolah tampak berlebihan, tapi secara harfiah sepertinya memang begitu (saya pernah tinggal selama 9 hari di Berlin dan tidak melihat satu kali kemacetan pun, padahal setiap hari saya berjalan kaki di pedestrian, di sisi jalan raya, dan selama itu pula saya hanya mendengar 4 kali suara klakson). Cara mereka mengapresiasi ambulans dan pemadam kebakaran sangat elegan. Sementara etiket jalan raya pada orang Jepang dapat kita lihat pada—di antaranya—cara mereka memarkir kendaraan: sangat, sangat, dan saaangat tertibnya.

Mengapa kedisiplinan semacam ini dapat mereka pegang sementara kita tidak? Apakah mereka taat kepada agama atau pada supremasi hukum legal formal?

Saya kira, kedisiplinan adalah watak. Ia dibentuk melalui proses yang panjang, tidak serta-merta jadi. Lalu, bagaimana cara membentuknya? Etiket tercipta oleh budaya, khazanah turun-temurun, juga oleh kekuatan hukum: ditegakkan tanpa pandang bulu, tidak tebang-pilih, tidak tajam ke atas tapi tumpul ke bawah, tidak mudah naik-turun seperti celana kolor. Jika hukum bekerja sesuai jalurnya, maka aturan akan dipegang teguh. Lama-lama, ia akan membentuk watak masyarakatnya, lalu, lambat-laun, akan membentuk budaya dan karakter suatu masyarakat atau bahkan bangsa.

Akan tetapi, di atas persoalan itu semua, untuk menunjang terealisasinya niat baik seperti itu dibutuhkan peran penegak hukum yang berkomitmen dan jujur, yang tegas. Aparat harus mengayomi, tidak menakut-nakuti (seperti ‘musim’ vaksin dua bulan yang lalu: nama baik aparat yang berangsur pulih, eh, malah dirusak kembali oleh perilaku arogansi sebagian oknum di saat melaksanakan tugas pencegatan/penyekatan yang memperlakukan masyarakat takut karena mereka diposisikan bagaikan si tertuduh yang penuh soda, eh, dosa). Faktor lainnya, secara rasio, jumlah petugas/aparat penegak hukum harus seimbang dengan jumlah penduduknya (sayangnya, di Indonesia, rasionya tidak rasional).

Eits, sebentar! Omongan kita sudah sampai ke Berlin dan Tokyo, mari kita kembali ke Blega…

Yang dibahas di atas adalah perihal penegakan hukum dan penegak hukumnya, aparat dan petugasnya. Sekarang, kita lihat profil masyarakatnya. Blega itu Madura, pulau yang masyarakatnya terkenal agamis, sangat bergairah dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan, sangat bagus dalam membangun masjid, memiliki banyak sifat ‘sangat-sangat’ dalam urusan agama dan beragama. Pertanyaannya, mengapa mereka yang agamis itu kok semrawut dan ngawur ketika berada di jalan raya?

Boleh kita berkelit, bahwa yang melintas di Pasar Blega dan sekitarnya itu tidak semuanya orang Madura. Tapi, lewat hitung-hitungan kasar saja, dipastikan warga Madura yang melintas di sana lebih dari angka 75 % dari total pengguna jalannya. Lihat saja plat nomor kendaraan yang lewat. Belum lagi kenyataan bahwa banyak mobil plat L dan B tapi isinya orang Madura, dan suaangat sedikit yang plat M tapi orangnya non-Madura.

Berdasarkan pantauan netizen (setidaknya pada awal-awal pengecoran dan ketika saya melintas [entah kalau sekarang]), penyebab terbesar macet total di sana—selain faktor yang disebut di atas—adalah adanya “penyerobotan yang terkoordinasi”. Uraian teknisnya adalah; banyak kendaraan yang datang dari arah Bangkalan, yang berada di ekor antrian, memperoleh akses jalan pintas (lewat jalan tikus yang terletak di selatan pasar) dan mereka bisa menembus ke pertigaan di timur pasar yang notabene berada tidak jauh dari pusat kemacetan.

Biang masalahnya adalah; aksi ini berbayar: para “penerobos” berubah status menjadi “penyerobot” karena membayar.  Mereka itu mendapatkan kesempatan untuk lebih dulu masuk ke akses jalan raya dengan bantuan “pengatur lalu lintas bayangan”. Para petugas bayangan ini menyetop laju kendaraan yang lewat di jalan raya dan sudah rela antri berjam-jam lamanya, dan mengutamakan yang lewat jalur tikus.

Sekarang, kita berpikir, apakah yang salah? Adakah yang salah? Mengapa masyarakat hanya taat kepada urusan ibadah mahdhoh dan tidak peduli pada etiket di luar mushalla? Apakah karena mereka tidak tahu, bahwa menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak itu tak pandang tempat sehingga harus juga berlaku sama meskipun ada di jalan raya? Saya kira, mereka bukannya tidak tahu, tapi karena tidak-mau-tahu.

Ketika dulu, di madrasah, dibacakan kaidah yang berbunyi

“لايجوز لأحد ان يتصرّف في ملك غيره بلا إذنه”

maka contoh yang paling sering diajukan adalah larangan mencuri. Contoh tersebut memang tepat mengingat pemahaman atas teksnya adalah; “seseorang tidak diperbolehkan untuk menggunakan sesuatu yang bukan miliknya (atau bukan haknya) tanpa seizin dari si pemilik otoritas (atau orang yang berhak)”.

Sayangnya, karena kita terkadang terlalu tekstual, “larangan menggunakan sesuatu yang notabene masih milik orang lain” cenderung hanya dipahami sebagai larangan menggunakan (apalagi mengambil selamanya) milik orang lain, tapi tidak pernah diapresiasi ke ranah yang lebih luas, misalnya “larangan mengambil hak dan kesempatan milik orang lain”. Dan pada kasus kemacetan di Blega inilah ia menemukan wujudnya.

Baca juga: Fikih Lalu-Lintas: Begini Kaidah dan Dalil Bagi Pengguna Jalan Raya

Mengambil hak antrean di jalan raya (menyerobot) merupakan salah satu contoh nyata dari kaidah di atas dalam hidup sehari-hari. Yang begini-beginilah, yang justru sangat akrab dengan kehidupan kita, malah dilupakan, bahkan sering tampak permisif, dianggap bukan tindak kesalahan. Kalau kita bahas lebih lanjut, bertolak dari kaidah di atas, kasus kemacetan Blega ini bisa ditinjau dari segi penggunaan dan pengambilan hak (milik) orang lain oleh orang lainnya.

Pengguna jalan raya memiliki hak dan kewajiban untuk berjalan di sisi kiri. Mereka diberikan izin untuk berpindah ke lajur kanan apabila; pertama, hendak mendahului; kedua, terdapat rintangan di lajur kiri yang dapat membahayakan jika diterabas. Syarat tambahannya adalah; pada saat hendak menyalip, dipastikan tidak ada kendaraan lain dari lawan arah. Apabila jelas-jelas ada kendaraan dari lawan arah yang sedang melaju kencang dan jaraknya telah dekat, tapi ternyata masih tetap menyalip, maka tindakan tersebut juga dianggap sebagai suatu pelanggaran (sesuai kaidah di atas).

Sekarang, anggap saja mengambil lajur kanan untuk menyalip itu sebagai tindakan darurat karena tidak mungkin menyalip tanpa melakukan tindakan tersebut. Dalilnya;

الحاجة قد تنزل منزلة الضرورة

(Kebutuhan [hajat] terkadang menempati posisi darurat).

Akan tetapi, selesai menyalip, si pengendara tadi harus kembali ke lajurnya. Alasannya;

ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها

(Sesuatu yang diperbolehkan karena kedaruratan harus disesuaikan dengan kadar kedaruratannya).

Dengan demikian, pengguna jalan yang haknya ada pada lajur kiri dapat disebut mengambil hak orang lain ketika dia berjalan di posisi kanan tapi dalam kondisi tidak menyalip, seperti menyerobot antrean, bahkan dapat dicatat sebagai tindak perampasan hak sebanyak dua kali dalam sekali tindakan: pertama; hak orang dari lawan arah (dari depan); kedua, hak orang lain yang searah untuk mendapatkan giliran tempat di dalam antrian. Walhasil, kalau tetap nyerobot, dia akan tabrakan dengan kaidah

التصرف في ملك احد بلا اذنه فهو باطل

(menggunakan hak milik orang lain [apalagi mengambil] tanpa seizinnya adalah batal demi hukum alias tidak sah.

Untunglah, sekarang, kabarnya Pasaer Blega tidak (begitu) macet lagi. Tapi, pengecoran lanjutan dan pelebaran jembatan sepertinya sedang menunggu giliran untuk kemacetan selanjutnya. Mari kita songsong bersama.

Tapi, sebentar, mengapa pada paragraf pertama kok disebut 2 persoalan tapi uraiannya ada 3? Itu memang disengaja untuk mengetahui, apakah Anda membaca artikel ini sampai tuntas atau cuman dibaca judulnya saja. Membuat kesimpulan dari sebuah tulisan padahal yang dibaca hanya sebagian kecil, atau bahkan hanya judulnya saja, juga merupakan penyerobotan, lho, yakni penyerobotan pemahaman. [rf]