Fikih Lalu Lintas: Gangguan Cegatan di Jalan Raya dan Level Keberimanan Kita

Fikih Lalu Lintas: Gangguan Cegatan di Jalan Raya dan Level Keberimanan Kita

Jika level keimanan terendah adalah menyingkirkan rintangan di jalan, lantas bagaimana hukumnya cegatan sumbangan masjid di jalan raya?

Fikih Lalu Lintas: Gangguan Cegatan di Jalan Raya dan Level Keberimanan Kita
Ilustrasi: Alwy (Islamidotco)

Pemerintah, melalui Dikyasa Lantas atau Korlantas POLRI, selalu berkampanye, memberikan arahan kepada masyarakat agar taat terhadap rambu-rambu lalu lintas. Tujuannya adalah demi keselamatan bersama. Inti dari adanya aturan-aturan lalu-lintas di jalan raya itu berpijak pada asas keadilan, sehingga semua pengguna jalan raya sama-sama merasa nyaman dan aman.

Islam pun memberikan gambaran tersirat terkait ini. Meskipun pada masa kerasulan aturan berlalu lintas di jalan raya belumlah ada, namun para ulama kontemporer menggali hukumnya dengan tetap merujuk pada Alquran dan hadis. Salah satu ayat prinsip terkait larangan membuat gangguan di jalan adalah ayat 86 dalam surah Al-A’raf.

Setiap pelalu lintas mempunyai hak menggunakan jalan karena mereka juga membayar pajak. Oleh sebab itu, mengganggu mereka secara sepihak adalah terlarang. Dengan demikian, apa pun yang menjadi rintangan di jalan raya akan bertentangan dengan prinsip hak bersama, seperti menumpuk bahan material di badan jalan, memasang cone (terkadang bahkan drum) di tengah jalan dengan asalan sebagai penghambat laju karena ada aktivitas cegatan amal atau sekolah.

Dalam rangkaian Haul Majemuk di PP Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo (P2S4) yang puncaknya adalah hari Kamis, 30 November 2023, diselenggarakan kegiatan bahsul masail. Kegiatan yang materinya dirumuskan oleh Dr. Imam Nakhe’i, Khairuddin Habziz, Kiai Mulul, serta didampingi oleh Kiai Afifuddin Muhajir sebagai musahhih telah menetapkan beberapa produk hukum, di antaranya terkait persoalan lalu lintas. Diputuskan, bahwa menarik sumbangan di tengah jalan (cegatan di jalan raya untuk pembangunan masjid, dll) adalah terlarang. Berikut ini notulensinya (dengan perbaikan redaksioanal dari saya—penulis):

“Dalam pandangan syariat Islam, jalan (dengan berbagai macam [kelas]-nya), merupakan bagian dari huquq musytarakah (hak-hak bersama). Semua orang berhak untuk memanfaatkannya. Yang dimaksud hak di sini adalah haq al-murur (hak berlalu lintas) dengan ketentuan; dipergunakan dengan cara yang benar dan proporsional.

Berhubung fungsi jalan adalah sebagai sarana berlalu lintas, maka tidak boleh digunakan untuk kepentingan lain yang mengganggu kelancaran lalu lintas, seperti menggunakannya untuk menarik sumbangan (dengan membelah jalan menjadi dua), melakukan konvoi untuk mengiringi jamaah umrah atau haji, dipergunakan untuk melaksanakan walimah pernikahan, dlsb, lebih-lebih jika lebar jalan di bawah standar, yakni tidak setimbang dengan jumlah kendaraan yang melintas.

Perlu dicatat supaya tidak terjadi salah paham, bahwa pada dasarnya, menghimpun dana untuk kepentingan masjid, madrasah, dan lain sebagainya, itu diperbolehkan. Ia menjadi terlarang (tidak boleh) jika aktivitas tersebut dilakukan dengan cara yang tidak benar, seperti mengganggu kelancaran lalu lintas.”

Bahsul masail tersebut juga membahas seputar ketaatan warga terhadap aturan lalu lintas, seperti menggunakan helm, membawa SIM & STNK, mengenakan sabuk keselamatan, tidak melawan arus, mematuhi rambu lalu lintas, dan lain-lain. Dimaklumi jika ulama berbeda pendapat dalam memandang hukum positif (القانون الوضعي) yang kebetulan selaras dengan hukum syar’i (الحكم الشرعي). Sebagian berpendapat, bahwa hukum positif tersebut bisa diklaim sebagai hukum syar’i itu sendiri. Alasannya adalah; karena keduanya—dalam perumusannya—sama-sama melibatkan logika akal sehat. Sebagian lagi menyatakan tidak bisa. Alasannya adalah; karena hukum syar’i dirumuskan tidak hanya berdasar pada logika akal sehat, yakni nalar ijtihad, melainkan harus dibangun di atas dasar dalil syar’i (Alquran & Sunnah), baik langsung maupun tidak.

Akan tetapi, meskipun terjadi perbedaan pendapat, hal tersebut tidak berpengaruh pada status “kewajiban menaati hukum positif yang membawa maslahat kepada publik serta tidak bertentangan dengan prinsip syari’at”. Artinya, kewajiban menaati hukum positif tersebut juga merupakan kewajiban syari’i karena dasarnya adalah dalil-dalil syar’i juga, yakni berpijak pada ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis yang mewajibkan taat kepada ulil amri (pemerintah) dan memenuhi perjanjian (الوفاء بالعهد), misalnya pada QS Al-Nisa’: 59 dan Al-Maidah: 1.

Atas dasar kewajiban “memenuhi perjanjian”, contohnya adalah; seseorang yang tinggal di suatu negara (atau memasuki suatu negara) wajib menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara itu sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah, karena secara tidak langsung orang itu telah mengikat perjanjian dengan Negara. Terkait ini, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantany (dalam kitab Nihayatus Zain) menulis: bahwa secara syari’at, menaati peraturan perundang-undangan yang mengandung kemaslahatan publik dan tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah (seperti peraturan lalu lintas) hukumnya adalah wajib.

Dengan ilustrasi dan penjabaran di atas, maka juga disimpulkan bahwa “hukum mengadakan karnaval (dll.) yang dapat mengganggu kelancaran lalu lintas, bahkan menyebabkan kemacetan” itu tidak boleh, meskipun pada dasarnya, konvoi atau karnaval itu boleh dilaksanakan selagi ada nilai manfaat, tidak ada maksiat, serta tidak menimbulkan gangguan yang parah (dharar fahisy), seperti gangguan yang dapat  menghilangkan kesabaran. Begitu juga dengan “cegatan amal” di jalan raya, yaitu meminta sumbangan (uang) kepada pelalu lintas di jalan umum (untuk kepentingan pembangunan masjid atau rumah ibadah lain atau perbaikan fasilitas umum lainnya) diperbolehkan selama tidak mengambil hak-hal pengguna jalan. Jadi, selama aktivitas tersebut menjamin; 1) tidak dlarar (membahayakan), 2) tidak īdzā’ (menyakiti/mengusik pengguna jalan, baik fisik atau perasaan), 3) tidak ada fitnah (seperti memandang perempuan non-mahram), serta 4) tidak tadhyīq (mengurangi space jalan). Masalahnya, amat sangat jarang ditemukan cegatan amal di jalan raya yang memenuhi kriteria-kriteria seperti di atas.

Sebetulnya, dengan logika dasar, persoalan gangguan di jalan ini dapat dengan mudah kita pahami. Mari kita mencoba ‘utak-atik’ pemahaman kita terhadap sebuah hadis riwayat Abu Hurairah tentang level keberimanan seseorang. Dijelaskan di sana, bahwa iman itu ada banyak cabangnya (antara 60 sekian atau 70 sekian [selengkapnya dapat dilihat di kitab Riyadus Sholihin, di “Babun fi Bayani Katsrati Turuqil Khair”]). Level tertinggi dari pemeringkatan ini adalah penyataan “Tidak ada tuhan selain Allah”. Sedangkan yang paling rendah adalah “menyingkirkan aral/rintangan dari tengah jalan”. Nah, bagaimana cara membuat pemahaman terbalik dari pernyataan tersebut? Pertama, apabila peringkat “keberimanan tertinggi” adalah menyatakan “tidak ada tuhan selain Allah”, maka peringkat “ketidakberimanan tertinggi” adalah pernyataan “ada Tuhan selain Allah”. Kedua, jika peringkat “keberimanan terendah” adalah “menyingkirkan aral/rintangan dari tengah jalan”, maka peringkat “ketidakberimanan terendah” adalah “memasang aral/rintangan di jalan”.

Ada kaidah berikut: الأمر بالشيءنهيٌ عن ضدِّه (perintah untuk melakukan suatu hal adalah larangan untuk melakukan kebalikannya). Dengan demikian, jika ada perintah untuk memuluskan jalan bagi orang yang melintas maka pada saat yang sama terdapat larangan untuk mengganggu jalan bagi orang yang melintas. Dari pernyataan ini, kita bisa memahami apa yang mestinya dilakukan oleh kita untuk berbuat kebaikan, yaitu lebih dulu menghindari hal-hal yang dilarang sebelum melakukan kebaikan yang dianjurkan.

Dengan demikian, formula hukum berdasarkan paparan di atas adalah sebagai berikut: Lalu lintas harus diprioritaskan. Merampas hak-hak mereka melalui gangguan-gangguan di jalan raya merupakan tindakan terlarang (haram) karena di samping mengganggu, juga membahayakan. Daripada menjadi penyebab terjadinya kecelakaan, maka hal itu sebaiknya tidak dilakukan meskipun tujuan dasarnya adalah untuk kebaikan. Alasannya adalah سدُّالدّرائع مقدّمٌ على جلْب المَصَالح  yang dapat dipahami dengan parafrasa berikut: mencegah hal-hal yang (kemungkinannya) dapat menjadi penyebab terjadinya keburukan/kerugian itu masih lebih baik daripada mengupayakan perbuatan baik.

Sebetulnya, sudah lama lahir keputusan dari bahsul masail di beberapa PCNU (antara lain Sampang dan Jember; dan terakhir dari bahsul masail di Sukorejo) perihal keharaman cegatan amal, tapi mengapa semua gangguan di atas masih terus berlangsung sampai hari ini? Kiranya, faktor terbesarnya disebabkan oleh ketidakhadiran Negara dalam masalah ini sehingga terjadilah pembiaran yang masif.

Contohnya adalah; tidak ada larangan yang tegas (atau aturan) dari pihak berwenang (Dishub dan Kepolisian), kalau pun ada, ia tidak dilaksanakan dan tidak terkontrol. Terbukti, demikianlah yang terjadi di lapangan: larangan dan aturan hanya bekerja di ranah teoretik, bukan praktik. Sialnya, di ruas beberapa jalan kolektor (bukan Jalan Nasional), ditemukan adanya pembangunan marka-garis-kejut (semacam polisi tidur tapi bergundukan tipis namun banyak; penghambat laju alias speed bump kecil) dalam jumlah banyak. Nah, yang membuat seperti ini jelas bukan warga/masyarakat biasa, melainkan orang yang berwenang dan pasti atas perintah dari yang berwenang alias pemerintah, padahal—setahu saya—nyaris semua elemen lalu lintas yang melewatinya merasa sangat terganggu. Tapi, apa daya mereka?

Kesalahan, pelanggaran, atau kebatilan yang dilakukan oleh orang kebanyakan (karena dibiarkan dan tidak ada sanksi hukum), lambat laun akan tampak seolah-olah sebagai suatu kelaziman. Ketika semua itu dibiarkan berlarut-larut, maka muncullah asumsi seolah-olah: seolah-olah hal itu dimaklumi, seolah-olah itu biasa, seoalah-olah ia bukanlah kesalahan. Ini nyata terjadi, terutama di jalan raya, sebagaimana kita melihat begitu banyak orang yang menyalip lewat kiri di ruas jalan yang sempit, atau menerobos lampu merah, padahal semua itu adalah tindakan terlarang namun sekarang seakan dianggap biasa saja. Maka, pada fase ini, sesungguhnya kita sudah berada di ujung tanduk marwah kemanusiaan dan keberimanan:  mengaku manusia tapi kelakuannya kerap tidak manusiawi, mengaku beriman tapi melanggarnya tak henti-henti.