Cerita tentang komunitas Kristen yang tinggal di sekitar Semenanjung Arab di masa hidup Nabi Muhammad masih diselimuti misteri. Beberapa mengatakan bahwa interaksi Nabi dengan mereka hanyalah kisah yang dibuat-buat, sementara yang lain menegaskan bahwa interaksi itu otentik dan tercatat dalam sejarah.
Pertanyaannya, siapa sebenarnya orang-orang Kristen ini? Mengapa perdebatan tentang cerita interaksi itu sampai sebegitu dramatisnya? Dan, apa pelajaran yang dapat diambil oleh orang Kristen dan Muslim saat ini dari kisah-kisah itu?
Adalah Craig Considine, seorang sarjana Islam Irlandia-Italia Amerika yang memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Segala keresahan itu ia artikulasikan dalam karyanya People of the Book: Prophet Muhammad’s Encounters with Christians.
Considine adalah seorang professor yang saat ini sangat populer di kalangan komunitas Muslim, tidak saja di US, tapi juga di berbagai belahan dunia Islam. Popularitasnya melejit sejak ia memenangkan penghargaan atas buku terlarisnya yang terbit 2020 lalu, The Humanity of Muhammad: A Christian View.
Dia telah menulis tujuh buku dan banyak artikel dalam bidang hubungan Kristen-Muslim dan studi Islam. Tulisannnya menawarkan sudut pandang segar dalam mengulas kehidupan Sang Nabi dan interaksinya dengan komunitas Kristen, sekaligus merefleksikan persaudaraan antara Kristen dan Muslim sepanjang 14 abad silam.
Considine memberikan gambaran menarik tentang masa muda Muhammad dan bagaimana sikap hidupnya untuk sampai pada sikap penghargaan terhadap umat Kristen atau komunitas dari latar belakang agama yang berbeda.
Dia menyoroti gagasan-gagasan sentral dalam visi Muhammad, yaitu umat yang inklusif, bangsa yang berakar pada hak kemanusiaan, dialog antar-agama, kebebasan hati nurani, agama, dan hak berbicara. Dalam analisis sosiologisnya, Considine menawarkan narasi terobosan yang dapat mendefinisikan kembali hubungan Kristen dan Muslim di era sekarang.
Judul “People of the Book” merujuk pada istilah ahl al-kitāb dalam al-Qur’an yang berbicara tentang umat Yahudi dan Nasrani. Terma tersebut disebut sebanyak 31 kali dan tersebar di 9 surah yang berbeda. Hal itu menunjukkan bahwa al-Qur’an juga menaruh perhatian dengan relasi Islam dengan dua agama yang mendahuluinya.
Meski demikian buku ini tidak menyoal wacana ahl al-kitāb dalam tataran tafsirnya, melainkan memfokuskan pada komunitas Kristen yang hadir dalam setiap penggalan perjalanan Nabi Muhammad SAW.
Buku People of the Book dimulai dengan kisah pertemuan Muhammad dengan Bahira, sang Pendeta Kristen, yang pertama kali mengidentifikasi tanda kenabian Muhammad. Bahira digambarkan sebagai seorang bidat (pemberontak) Kristen. Melalui pertemuan ini, dalam bukunya, Considine terus menunjukkan kesamaan antara doktrin Kristen dan Muslim, sembari berbicara tentang berbagai sekte dalam agama Kristen pada masa itu.
Pengetahuan Muhammad tentang monoteisme membuat Bahira terkesan. Ia langsung menyatakan bahwa Muhammad muda memiliki atribut-atribut kenabian. Dalam menelaah tahun-tahun pembentukan pribadi Muhammad, Considine mengistilahkannya dengan “navigator lintas budaya” yang berarti seseorang yang memiliki wawasan dan pemahaman tentang fungsi dan nilai berbagai budaya lintas ruang dan waktu.
Penyebutan itu mengisyaratkan bahwa Muhammad mempunyai wawasan ketuhanan yang juga dibawa oleh para rasul terdahulu. Wawasan inilah yang menurut Bahira tidak mungkin dimiliki oleh orang biasa yang tidak memiliki tanda kenabian.
Gambaran lain yang ditampilkan tentang rekognisi Muhammad terhadap Kristen adalah tentang fungsi dan tugas pokok klan keluarga sang Nabi, Bani Hasyim sebagai juru kunci Ka’bah. Tanggung jawab ini memungkinkan Muhammad untuk berinteraksi dengan beragam pengunjung Makkah yang datang untuk beribadah di Ka’bah. Interaksi Muhammad muda dengan beragam tradisi melalui para peziarah membuatnya menjadi orang yang ramah dan toleran terhadap keberagaman.
Interaksi Nabi Muhammad dengan Kristen juga diceritakan pasca pewahyuan “Gua Hira”. Setelah Jibril mendatangi Muhammad, Considine mengingatkan pengaruh penting Khadijah, istri Nabi Muhammad, dalam meyakinkannya bahwa dia memiliki ketabahan untuk menyampaikan pesan Tuhan kepada umat manusia.
Untuk mengkonfirmasi kenabian suaminya yang akan datang, Khadijah memanggil sepupunya Waraqah bin Naufal, seorang Kristen, yang meyakinkan Muhammad bahwa pengalamannya dengan Jibril adalah tanda bahwa Tuhan telah memilihnya sebagai utusan Tuhan. Kisah ini dihadirkan sebagai peristiwa yang menunjukkan bahwa kenabian Muhammad, salah satunya, berangkat dari peran seorang Kristen.
Setelah mengaktualisasikan fungsi kerasulan, Nabi Muhammad dan umatnya menghadapi pertentangan keras dari suku-suku Makkah yang kaya dan berkuasa. Pasca mendapatkan banyak penganiayaan, umat Muhammad mencari suaka dari Ibn Abjar, raja Kristen Abyssinia (Habasyah).
Considine menggambarkan bagaimana Ibn Abjar mengakui legitimasi Islam karena umat Islam memiliki rasa hormat yang sama terhadap Yesus dan Maria. Juga, digambarkan pula bagaimana kedua tradisi agama tersebut saling menghormati. Ia menegaskan peran penting yang dimainkan orang Kristen di masa-masa awal Islam dan bagaimana pengalaman ini makin menguatkan rasa penghargaan Muhammad terhadap orang Kristen.
Hijrah kedua umat Islam ke Yatsrib seolah menjadi titik baru relasi Islam-Kristen. Considine mengkaji bagaimana Nabi Muhammad menggunakan keterampilan kepemimpinannya yang luar biasa sebagai seorang negarawan yang adil dan karismatik untuk berinteraksi dengan beragam suku-suku lokal.
Pasal bagaimana Nabi Muhammad menyelesaikan konflik dan menetapkan Konstitusi Madinah juga menjadi salah satu poin penting dalam buku ini. Katanya, Nabi Muhammad mempromosikan masyarakat egaliter yang memberikan hak dan perlindungan yang sama kepada orang Kristen, Yahudi, dan lainnya.
Dengan demikian, konversi ke Islam tidak diperlukan karena Muhammad pada dasarnya mengakui kebebasan orang Kristen dan Yahudi untuk menyembah Tuhan dan mengekspresikan ajaran agama mereka. Buku Considine memungkinkan kita untuk melihat bagaimana pencapaian Nabi Muhammad dalam menciptakan komunitas yang setara dan adil.
Dalam hal konflik, Considine menginvestigasi banyak tensi yang muncul. Ia mengutip banyak ayat al-Qur’an tentang konteks ayat-ayat pembelaan diri dalam peperangan. Nabi melihat peperangan sebagai opsi terakhir, dan melarang memulai untuk agresi.
Segera setelah permusuhan berhenti, dia mencari negosiasi damai. Considine menunjukkan bagaimana Muhammad selalu mengupayakan perdamaian. Lebih spesifik, upaya Nabi Muhammad ini termanifestasikan dalam perjanjian luar biasa dengan orang-orang Kristen Najran untuk memastikan hidup berdampingan secara damai dan memberi mereka perlindungan setelah berabad-abad hidup dalam friksi.
Considine memberikan pemahaman tentang bagaimana sepanjang hidup Muhammad, setiap pertemuannya dengan orang Kristen menjadi momentum penguatan keterbukaan pikirannya untuk menerima semua orang. Pertemuan Muhammad dengan Kristen membantu mengembangkan visi besarnya tentang hak asasi manusia.
Di sisi lain, Considine berhasil menangkap sisi kemanusiaan al-Qur’an ketika mengatakan bahwa “tidak hanya merangkul keragaman tetapi juga mengajak pembaca untuk menemukan cara bekerja sama dengan komunitas lain yang berbeda kepercayaan dengan mereka”.
Considine dibesarkan dalam tradisi Kristen, tetapi ia tampak menghargai pengetahuan yang ia peroleh dari al-Qur’an dan kehidupan Nabi Muhammad. Buku People of the Book memberi kita catatan yang membuka mata tentang interaksi Muhammad dengan orang Kristen.
Pertemuan sejarah itu dapat menjadi panduan bagi kita yang hidup di generasi modern tentang bagaimana merangkul orang-orang dari semua latar belakang kepercayaan serta mengingatkan kita bahwa sikap inklusif dan perdamaian antara semua bangsa sudah dicontohkan oleh tokoh-tokoh terdahulu.
Buku People of the Book bisa dikatakan sebagai antitesis dari tesis “Clash of Civilizations” yang masyhur dari Huntington. Ia berusaha untuk membangun jembatan antar tradisi keagamaan dengan menampilkan momen-momen dalam sejarah di mana Islam dan Kristen hidup dalam harmoni, saling berdampingan, menghormati dan menerima sakralitas ajaran agama lain.
Pada era di mana umat beragama saling mencurigai satu sama lain ini, ruang perjumpaan yang ditampilkan oleh Nabi, sebagaimana yang dikaji Craig Considine, dapat memberikan justifikasi dalam mengembangkan pluralisme dan menguatkan dialog antar umat beragama.