Perang Salib dan Warisannya Terhadap Relasi Islam-Kristen di Abad Modern

Perang Salib dan Warisannya Terhadap Relasi Islam-Kristen di Abad Modern

Perang Salib dan Warisannya Terhadap Relasi Islam-Kristen di Abad Modern

Batas Perang Salib antara satu pertempuran dengan pertempuran lainnya secara teoritis sulit ditentukan. Namun setidaknya, ada beberapa penafsiran yang menjelaskan tentang periodesasi perang. Itulah mengapa selama dua abad perang-perang salib berkecamuk, sulit diukur siapa kalah siapa menang secara absolut. Namun, dia pantas untuk selalu dikenang, bukan untuk diulang. Darinya banyak yang dapat dijadikan pembelajaran. Manusia pengobar perang, berarti mengikuti bisikan-bisikan setan, bukan ajaran-ajaran Tuhan.

Periode pertama (1095-1144 M)

Pada musim semi tahun 1095 M, sekitar 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Prancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Mereka adalah tentara salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond dan Raymond yang pada akhirnya memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan kerajaan latin I dengan Baldawin sebagai raja, pada tahun yang sama, mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan latin II di timur. Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul Maqdis pada Juli 1099 M, dan mendirikan kerajaan latin III dengan rajanya Godfrey. Setelah penaklukan Baitul Maqdis, tentara salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M), dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan kerajaan latin IV, rajanya adalah Raymond.

 Periode kedua (1144-1192 M)

Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak saat itu, berhasil menaklukan kembali Aleppo, Hamimmah, dan Edessa pada tahun 1144 M, namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya kemudian dilanjutkan oleh putranya, Nuruddin Zanki. Nuruddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M. Pada tahun 1151 M, seluruh Edessa dapat direbut kembali. Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan perang salib kedua, Paus Eugenius III, menyerukan perang suci yang disambut positif oeh raja prancis Louis VII dan raja jerman Condrad II, keduanya memimpin pasukan salib mereka dihambat oleh Nuruddin Zanki, mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya, Nuruddin wafat tahun 1174 M, pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin Al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. Pencapaian Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian, kerajaan latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.

Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum Muslimin sangat memukul perasaan tentara Salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara Salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa, raja Jerman Richard the Lion Hart, raja Inggris, dan Philip Augustus, raja Perancis. Armada ini mulai bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Akan tetapi, mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2 November 1192 M, sebuah perjanjian dibuat antara tentara Salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh Al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis tidak akan diganggu.

Periode ketiga (1219-1291 M)

Tentara salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini, mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan agar mereka bisa mendapat bantuan dari kaum Kristen Qibthi. Di tahun yang sama, 1219 M, mereka juga berhasil menduduki Dimyat. Raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah pada waktu itu, Al-Malik Al-Kamil, membuat perjanjian dengan Fredrick. Isinya antara lain; pertama, Fredrick bersedia melepaskan Dimyat, sementara Al-Malik Al-Kamil melepaskan Palestina; kedua, Fredrick menjamin keamanan kaum muslimin di Palestina, dan Fredrick tidak mengirim bantuan kepada ummat Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat di rebut kembali oleh kaum Muslimin pada tahun 1247 M, di masa pemerintahan Al-Malik Al-Shalih. Pada 1291, Akka (Acre) berhasil direbut kembali oleh pasukan Muslim yang dipimpin oleh Baybars dan Qalawun. Saat itu, Mesir dikuasai oeh Dinasti Mamalik yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah.

***

Gelombang-gelombang pasukan Salib untuk merebut Kota Suci Yerusalem dari tangan kaum Muslim, sampai sejauh saat itu, gagal total, bahkan kedudukan orang Kristen di Syria dan Palestina menjadi hilang. Keuntungan yang didapat pihak Kristen adalah pengenalan mereka terhadap peradaban, kemajuan, dan kebudayaan bangsa-bangsa Timur yang ternyata jauh lebih tinggi dari yang mereka miliki ketika itu. Hal itu kemudian memacu kesadaran Kristen untuk maju. Hasil berikutnya yang mereka peroleh adalah hubungan dagang antara Eropa-Asia/ Barat-Timur menjadi hidup dan berkembang

Selain aspek positif di atas, aspek negatifnya justru jauh lebih besar dan sampai sekarang masih menghantui memori orang-orang Kristen Barat. Dampak negatif itu adalah munculnya stereotipe negatif tentang Islam. Salah satunya adalah bagaimana pandangan orang Kristen terhadap Islam yang dibangun berdasarkan sumber-sumber literatur Barat yang ditulis selama era 1100-1350. Samuel Huntington mengistilahkan peradaban Islam tersebut sebagai “peradaban perang”, terutama perang melawan Barat. Tesis Huntington tentang Clash of Civilizations dapat dikatakan sebagai implikasi terkini dari masa perang-perang salib. Ironisnya, tesis Huntington ini juga diamini oleh sebagian kalangan Muslim.

Contoh lain bagaimana persepsi yang salah tentang Islam, misalnya kasus film ‘Submission’ yang digarap seorang politisi Belanda, Ayaan Hirsi Alib bersama seorang entertainer dan producer film, Theo van Gogh. Judul film ini jelas langsung merujuk makna Islam secara substansial, sallama atau aslam ilaih, yang berarti “tunduk, patuh, menyerahkan diri sepenuhnya”. Film itu memuat hujatan dan kecaman-kecaman kasar terhadap dunia Islam, seperti tuduhan terhadap Islam yang dikatakan telah mengabaikan hak-hak asasi Wanita.

Mereka juga menghina Al-Qur’an dengan meletakkan teks-teks ayat kitab suci di atas bagian-bagian tubuh terbuka seorang wanita seksi setengah telanjang. Lalu muncul Kare Bluitgen dengan kartun Nabi Muhammad Saw. dalam lembaran-lembaran surat kabar ‘Jyllands Posten’. Ini semua sekadar contoh bagaimana perang salib menyisakan mispersepsi tentang Islam.

Untuk merangkai kembali hubungan yang harmonis antara Barat dan Islam, maka persepsi-persepsi dan citra-citra negatif tentang Islam itu harus dinetralkan kembali. Hal yang sama berlaku bagi dunia Islam yang terkadang juga salah persepsi terhadap Barat. Bukankah dalam masa-masa damai atau gencatan senjata selama periode Perang Salib, sebenarnya kedua pihak sudah memberikan contoh yang baik melalui hubungan perdagangan dan perekonomian.

Baca Juga, Kisah Perang Salib: Konfrontasi Terbuka Antara Islam & Kristen

Dalam konteks global saat ini, kerjasama serupa juga sudah terjalin. Namun yang perlu selalu diperhatikan adalah bahwa kerjasama itu harus dijalin dalam relasi yang egalitarian dan saling menguntungkan, bukan dalam posisi superior-inferior atau subjek-objek. Kedua pihak harus mampu menghilangkan rasa curiga dan prasangka buruk satu sama lain. Kerena bagaimana pun, hubungan harmonis Kristen dan Islam akan ikut menentukan baik buruknya masa depan perdamaian dunia. Dan yang paling penting adalah perlunya pemimpin kedua komunitas agama besar tersebut untuk mengontrol fanatisme keagamaan di antara penganutnya.

*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT